Minggu, 21 April 2013

Ekologi Hewan UTS

 

SOAL

1.        Konsep waktu-suhu yang berlaku pada hewan  poikilotermik sangat berguna aplikasinya dalam pengendalian hama pertanian, khususnya dari golongan serangga. Jelaskan arti konsep waktu secara singkat, dan berikan contoh ulasannya terkait dengan kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di Probolinggo Tahun 2010.
2.        Jelaskan pemanfaatan konsep kelimpahan, intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan dalam kaitannya dengan penetapan hewan langka!
3.        Jelaskan aplikasi konsep interaksi populasi, khususnya parasitisme dan parasitoidisme, dalam pengendalian biologis. Berikan contohnya!
4.        Nilai sikap dan karakter apa yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan? Berikan contoh riilnya!
5.        Uraikan satu contoh pemanfaatan indikator hewan untuk monitoring kondisi lingkungan secara mendetail, mulai dari jenis, prinsip dan praktik pemanfaatannya!
6.        Apakah manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas konservasi? Berikan salah satu contoh hewan langka, lakukan kajian tentang relungnya. (dalam satu kelas, hewan yang dikaji tidak boleh sama)!

JAWABAN
  1. Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang dominan mempengaruhi kehidupan hewan. Suhu lingkungan memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada hewan. Adanya variasi suhu lingkungan memiliki peranan potensial dalam menentukan proses kehidupan, penyebaran serta kelimpahan populasi hewan. Dari sudut pandang ekologi, suhu lingkungan sangat penting terutama bagi hewan poikiloterm untuk aktivitas dan pengaruh terhadap laju perkembangannya. Sehingga, hewan poikiloterm memerlukan kombinasi faktor suhu lingkungan dan faktor waktu untuk pertumbuhannya (Ainul, 2013). Hewan poikiloterm tidak dapat tumbuh dan berkembang jika suhu lingkungannya berada diatas atau dibawah batas ambangnya, karena suhu tubuh menentukan kerja enzim enzim yang membantu metabolisme di dalam tubuh hewan tersebut. Dalam suatu kisaran suhu tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu lingkungan terdapat hubungan linier. Hewan-hewan poikiloterm memiliki lama waktu perkembangan yang berbeda-beda. Dengan kata lain, pernyataan berapa lamanya waktu perkembangan selalu perlu disertai dengan pernyataan pada suhu berapa berlangsungnya proses perkembangan itu, karena pada hewan poikiloterm, waktu (berlangsungnya proses perkembangan) merupakan fungsi dari suhu lingkungan, maka kombinasi waktu-suhu yang seringkali dinamakan waktu fisiologis itu mempunyai arti penting. Contoh: Apabila diketahui, misalnya suhu ambang terjadinya perkembangan pada sejenis belalang adalah 16oC dan pada suhu 20oC (yaitu 4oC di atas suhu ambang) lamanya waktu yang diperlukan untuk menetas hanya 17,5 hari, maka pada suhu 30oC (yaitu 14oC di atas suhu ambang) lama waktu yang diperlukan untuk perkembangan telur dari jenis belalang untuk menetas adalah 5 hari (Yayuk, 2012). Aplikasi konsep waktu–suhu sangat berguna untuk pengendalian hama pertanian karena waktu-suhu penting artinya untuk memahami hubungan antara waktu dengan dinamika populasi hewan poikiloterm. Dengan mengetahui konsep waktu-suhu maka dapat mengetahui atau memprediksi kapan akan terjadi peledakan populasi. Peledakan populasi itu sendiri dapat terjadi jika suatu spesies dimasukkan ke dalam suatu daerah yang baru, dimana terdapat sumber-sumber yang belum dieksploitir oleh manusia dan tidak ada interaksi negatif (misalnya predator, parasit), dimana sebenarnya predator dan parasit memainkan peranan dalam menahan peledakan populasi dan memang menekan laju pertumbuhan populasi. Konsep waktu suhu pada pertanian digunakan untuk pengendalian hama dengan mempercepat atau menghambat laju perkembangannya. Pengendalian tersebut dapat dilakukan pengendalian mekanis dan fisik. Pengendalian fisik adalah tindakan pengendalian yang dilakukan dengan menggunakan suhu tinggi atau suhu rendah. Teknik pengendalian ini bertujuan mengurangi populasi hama dengan cara mengganggu fisiologi serangga atau mengubah lingkungan menjadi kurang sesuai bagi hama. Peledakan populasi serangga dalam jumlah besar yang terjadinya hampir tiap tahun pada waktu yang berbeda beda, merupakan suatu fenomena alam. Kejadian tersebut bila ditelaah lebih lanjut akan terlihat bahwa terjadinya peledakan populasi itu berdasarkan pada jumlah hari derajat yang sama di atas suhu ambang perkembangan jenis serangga tersebut. Dengan menggunakan konsep waktu-suhu yang diwujudkan dalam bentuk jumlah hari-derajat, maka fenomena alam akibat proses perkembangan seperti peledakan populasi dapat diramalkan kapan akan terjadi. Dengan mengetahui jumlah hari-derajat perkembangan suatu jenis serangga hama, maka akan dapat ditentukan lebih tepat, kapan waktu dan teknik pemberantasan hama tersebut, karena memberantas telur atau pupa berbeda dengan memberantas hewan dewasanya.  Salah satu contoh peledakan populasi serangga yaitu pada kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di Probolinggo Tahun 2010. berdasarkan jurnal ulat bulu tanaman mangga di probolinggo diidentifikasi bahwa jenis ulat bulu yang menyerang tanaman mangga di probolinggo lebih dari satu jenis, tetapi semuanya tergolong ke dalam famili lymantriidae ordo lepidoptera genus lymantria adalah salah satu hama utama tanaman mangga di asia tenggara dan india.  Keakuratan informasi tentang jenis ulat bulu yang menyerang tanaman mangga sangat penting dalam pengambilan keputusan untuk menetapkan cara pengendalian yang tepat (yuliantoro, 2012). Pada waktu tertentu aktivitas serangga tinggi, akan tetapi pada suhu yang lain akan berkurang (menurun). Pada umunya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum 150C, suhu optimum 250C dan suhu maksimum 450C. Pada suhu yang optimum kemampuan serangga untuk melahirkan keturunan besar dan kematian (mortalitas) sebelum batas umur akan sedikit. Kasus meledaknya ulat bulu di probolinggo terlihat bahwa peledakan tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh suhu. Jika dikaitkan dengan konsep waktu-suhu, maka dapat terlihat bahwa pada suhu optimum saja ulat akan berkembang biak dengan jumlah yang besar apalagi jika suhu semakin tinggi hingga berada dibawah ambang batas maksimum, Dapat dibayangkan bahwa ulat tersebut berkembang biak akan lebih besar lagi dan melebihi suhu optimumnya. Semakin bertambahnya suhu tersebut, maka perkembangbiakan ulat bulu semakin besar pula sampai tidak terkontrol dan terjadilah peledakan populasi. Bertambahnya suhu tersebut dapat terlihat karena curah hujan di Probolinggo saat itu  sedang tinggi. Menurut Gubernur Jatim, H Soekarwo (2011), menyatakan bahwa adanya fenomena ulat bulu di Probolinggo itu lebih karena factor cuaca. Artinya, curah hujan yang selama ini cukup tinggi membuat daun di sekitar pohon mangga membusuk dan menyebabkan munculnya organisme baru, seperti larva dan ulat. Sehingga, pihaknya memerintahkan penanganannya pada Dinas Pertanian Jatim untuk mengambil langkah pencegahan agar wabah tak terus berkembang. Oleh karena itu, dengan memanfaatkan konsep waktu-suhu maka dapat diprediksi kapan akan terjadi peledakan populasi ulat bulu seperti kasus di Probolinggo di waktu yang berbeda dengan melihat kisaran waktu dan suhu lingkungan ulat bulu tersebut.
  2. Kerapatan populasi merupakan ukuran populasi dalam hubungannya dengan satuan ruang, biasanya dinyatakan dengan banyaknya individu atau biomasa populasi persatuan luas atau volume yang disebut dengan kelimpahan populasi (Vivi, 2012). Tinggi rendahnya jumlah individu populasi suatu spesies hewan menunjukkan besar kecilnya ukuran populasi atau tingkat kelimpahan populasi itu. Area suatu populasi tidak dapat ditentukan batasannya secara pasti, sehingga kelimpahan (ukuran) populasi pun tidak mungkin dapat ditentukan. Kelimpahan populasi suatu spesies mengandung dua aspek yang berbeda, yaitu aspek intensitas dan aspek prevalensi. Intensitas menunjukkan aspek tinggi rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies, sedangkan prevalensi menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam konteks daerah yang lebih luas. Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi (=prevalen) dapat lebih sering dijumpai dan spesies yang prevalensinya rendah, yang daerah penyebarannya terbatas (terlokalisasi) hanya ditemui di tempat tertentu. Dispersi merupakan merupakan pola penjarakan antar individu dalam perbatasan populasi. Dispersi memiliki beberapa pola penjarakan yaitu random, bergerombol dan seragam. Pola dispersi bergerombol yaitu individu-individu hidup mengelompok dalam topok. Pola disperse seragam atau uniform yaitu pola berjarak sama diakibatkan dari interaksi langsung antara individu-individu dalam populasi. Pola dispersi acak yaitu penjarakan yang tidak bisa diprediksi, posisi setiap individu tidak bergantung pada individu lain. Frekunditas adalah laju reproduksi aktual suatu organisme atau populasi yang diukur berdasarkan jumlah gamet, biji, ataupun propagula aseksual. Dalam bidang demografi, frekunditas adalah kapasitas reproduksi potensial suatu individu ataupun populasi. Frekunditas berada dibawah kontrol genetik maupun lingkungan dan merupakan ukuran utama kebugaran biologi suatu spesies. Kelulushidupan hewan adalah perbandingan antara jumlah individu yang hidup pada akhir percobaan dengan jumlah individu yang hidup pada awal percobaan. Kelulushidupan juga merupakan peluang hidup dalam suatu saat tertentu. Faktor yang mempengaruhinya adalah biotik (kompetitor, parasit, umur, kepadatan populasi, dan kemampuan adaptasi) dan abiotik (sifat fisika dan sifat kimia dari lingkungan). Pemanfaatan konsep kelimpahan, intensitas dan prevalensi, dispersi, frekunditas, dan kelulushidupan pada hewan langka dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kelimpahan hewan tersebut, intensitas dan prevalensinya, sehingga dapat diketahui pola-pola dispersi atau perjarakan hewan langka tersebut berkaitan dengan frekunditas (reproduksi) hewan langka dalam suatu populasi.
  3. Dalam suatu populasi terjadi beberapa interaksi antar spesies yang hidup bersama, baik interaksi yang terjadi bersifat positif ataupun negative. Antar spesies yang hidup dalam suatu komunitas memiliki rasa saling membutuhkan satu sama lain dan juga hidup saling melengkapi sehingga sangat memungkinkan banyak interaksi-interaksi yang terjadi  diantara mereka. Parasitisme merupakan salah satu bentuk interaksi antar spesies dalam suatu populasi. Parasitisme adalah hubungan antar spesies yang salah satu spesiesnya dirugikan oleh individu dari spesies lain. Interaksi ini bersifat negative karena merugikan salah satu dari kedua spesies. Umumnya parasitisme terjadi karena keperluan nutrisi dan bersifat spesifik. Ukuran parasit biasanya lebih kecil dari inangnya. Terjadinya parasitisme memerlukan kontak secara fisik maupun metabolik serta waktu kontak yang relatif lama. Contohnya adalah bakteri Bdellovibrio yang memparasit bakteri E. coli. Aplikasi konsep interaksi ini memiliki peranan untuk pengendalian biologis. Menurut Odum (1993), parasit-parasit ini memiliki peranan didalam menahan serangga herbivore pada kepadatan yang rendah, tetapi mereka dapat tidak efektif apabila populasi inang meledak atau “lolos” dari kendali yang tergantung pada kepadatan. Dengan memanfaatkan beberapa bakteri untuk pengendalian, sehingga bentuk interaksi ini dapat dijadikan sebagai bentuk pengendalian biologis. Parasitoidisme merupakan bentuk interaksi yang bersifat negative seperti interaksi parasitisme. Parasitoid adalah sekelompok insect yang dikelompokkan dengan dasar perilaku bertelur betina dewasa dan pola perkembangan larva selanjutnya. Terutama untuk insect dari ordo Hymenoptera, dan juga meliputi banyak Diptera. Mereka hidup bebas pada waktu dewasa, tetapi betinanya bertelur di dalam, pada atau dekat insect lain. Larva parasitoid berkembang di dalam (atau jarang pada) individu inang yang masih tingkat pre-dewasa. Pada awalnya hanya sedikit kerusakan yang tampak ditimbulkan terhadap inangnya, tetapi akhirnya hampir dapat mengkonsumsi seluruh inangnya dan dengan demikian makan dapat membunuh inang tersebut sebelum atau sesudah stadium kepompong (pupa). Jadi parasitoid dewasa, bukan inang dewasa yang akan muncul dari kepompong. Sering hanya satu parasitoid yang berkembang dari tiap inang, tetapi pada beberapa kejadian beberapa individu hidup bersama dalam satu inang. Jelasnya parasitoid hidup bersama akrab dengan individu inang tunggal (seperti pada parasit), mereka tidak menyebabkan kematian segera atas inang seperti pada parasite (Rani, 2011). Parasitoidisme juga memiliki peranan dalam pengendalian hama secara biologis karena parasitoid-parasitoid ini berperan sebagai musuh alami, contohnya kasus ulat bulu di Probolinggo juga terkait dengan bentuk interaksi parasitoidisme. Beberapa peneliti kasus tersebut menyatakan bahwa peledakan ulat bulu tersebut juga karena kurangnya musuh alami ulat seperti parasitoid-parasitoid dan pemangsa lainnya.
  4. Nilai sikap dan karakter yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan yaitu sikap tanggung jawab dan karakter mencintai dan menyayangi hewan sehingga nantinya nilai dan karakter tersebut dapat mengajarkan siswa untuk memiliki rasa ingin melestarikan dan melindungi hewan-hewan langka yang terancam punah dari ancaman-ancaman berupa perburuan liar oleh manusia. Selain itu, dengan menumbuhkan rasa tanggung jawab pada diri siswa, rasa itu akan mengajarkan siswa untuk melestarikan hewan-hewan yang memiliki peranan untuk simbiosis dengan tumbuhan yang nantinya hasil simbiosis tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia dari ulah manusia yang mengakibatkan buruknya kondisi hewan-hewan saat ini. Perburuan manusia terhadap hewan-hewan yang memiliki fungsi dan peran untuk bersimbiosis dengan tumbuhan akan berdampak negative juga terhadap manusia yang nantinya nutrisi dan pemanfaatan dari hasil simbiosis tersebut tidak lagi ada jika hewannya diburu. Sehingga, dengan ditanamkannya sikap dan karakter tersebut sejak dini maka siswa dan siswi dapat mencegah dan mengendalikan manusia untuk tidak berburu hewan demi kepentingan pribadi dan merusak populasi hewan yang dapat berdampak terhadap kepunahan hewan tersebut.
  5. Salah satu contoh hewan yang dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator untuk monitoring kondisi lingkungan adalah lintah (Hirudo medicinalis). Secara umum istilah biomonitoring dipakai sebagai alat/cara yang penting dan merupakan metode baru untuk menilai suatu dampak pencemaran lingkungan (Fadhil, 2010). Istilah yang lebih spesifik adalah monitoring biologi (Biological Monitoring). Di dalam praktek penggunaan monitoring biologi (MB) adalah untuk memonitor populasi yang terpapar oleh bahan polutan di tempat kerja maupun di lingkungan. Salah satu cara yang digunakan untuk memantau perubahan yang terjadi di dalam suatu ekosistem adalah pemanfaatan bioindikator. Bioindikator ekologis adalah mahluk yang diamati penampakannya untuk dipakai sebagai petunjuk tentang keadaan kondisi lingkungan dan sumber daya pada habitatnya. Bioindikator yang dapat digunakan untuk memantau keadaan polusi di suatu tempat sebaiknya memenuhi kriteria, yaitu (1) organisme yang dijadikan sebagai bioindikator memiliki kisaran toleransi yang sempit terhadap perubahan lingkungan, (2) organisme yang dijadikan sebagai bioindikator memiliki kebiasaan hidup menetap di suatu tempat atau pemencarannya terbatas, (3) organisme yang dijadikan sebagai bioindikator mudah dilakukan pengambilan sampel dan merupakan organisme yang umum dijumpai di lokasi pengamatan, (4) akumulasi dari polutan tidak mengakibatkan kematian  pada organisme yang dijadikan sebagai bioindikator, (5) organisme yang dijadikan sebagai bioindikator lebih disukai yang berumur panjang, sehingga dapat diperoleh individu contoh dari berbagai stadium atau dari berbagai tingkatan umur. Dengan kriteria tersebut, salah satu biota yang dapat digunakan sebagai parameter biologi (bioindikator) dalam menentukan kondisi suatu perairan adalah hewan makrozoobentos (lintah). Sebagai organisme yang hidup di perairan, hewan makrozoobentos sangat peka terhadap perubahan kualitas air tempat hidupnya sehingga akan berpengaruh terhadap komposisi dan kelimpahannya. Hal ini tergantung pada toleransinya terhadap perubahan lingkungan, sehingga organisme ini sering dipakai sebagai bioindikator tingkat pencemaran suatu perairan. Makroinvertebrata khususnya lintah lebih banyak dipakai dalam pemantauan kualitas air karena memenuhi beberapa kriteria, antara lain: (1) sifat hidupnya yang relatif menetap/tidak berpindah-pindah, meskipun kualitas air tidak mengalami perubahan, (2) dapat dijumpai pada beberapa zona habitat akuatik, dengan berbagai kondisi kualitas air, (3) masa hidupnya cukup lama, sehingga keberadaannya memungkinkan untuk merekam kualitas lingkungan di sekitarnya, (4) terdiri atas beberapa jenis yang memberi respon berbeda terhadap kualitas air, (5) relatif lebih mudah untuk dikenali dibandingkan dengan jenis mikroorganisme, (6) mudah dalam pengumpulan/pengambilannya, karena hanya dibuthkan alat yang sederhana yang dapat dibuat sendiri. Sebagai organisme dasar perairan, lintah (Hirudo medicinalis) mempunyai habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Hal ini baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena lintah selalu mengadakan kontak langsung dengan limbah yang masuk ke habitatnya.  Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu karena Lintah (Hirudo medicinalis) terus menerus terdedah oleh air yang kualitasnya berubah-ubah. Oleh karena itu, lintah merupakan contoh hewan bioindikator untuk monitoring kondisi lingkungan perairan.
  6. Manfaat mempelajarai relung untuk aktivitas konservasi yaitu dengan mengetahui relungnya maka dapat diketahui pula relung sebagai fungsi komunitasnya yang meliputi keragaman makanan dan musuhnya, kondisi fisik lingkungannya, dan relung aktivitasnya. Manfaat mempelajari relung juga penting untuk digunakan sebagai dasar acuan memahami dan mengatasi masalah kondisi dan sumberdaya yang membatasi atau secara potensial membatasi suatu populasi hewan (Sukarsono, 2012). Manfaat relung untuk konservasi yaitu dapat melindungi dan melestarikan hewan-hewan langka yang terancam statusnya, baik pelestarian in-situ maupun ex-situ. Salah satu hewan langka yaitu burung elang jawa. Elang jawa merupakan salah satu jenis burung pemangsa endemic yang penyebarannya terbatas pada hutan alam di Pulau Jawa. Jenis ini termasuk dalam kategori satwa langka yang terancam punah dan termasuk dalam daftar satwa yang dilindungi. Hasil yang telah diperoleh dalam penelitian terdahulu, adalah berupa data awal tentang kawasan Muria yang meliputi keanekaragaman jenis burung dan tumbuhan. Tim peneliti mengidentifikasi 68 jenis burung, yang salah satu diantaranya adalah Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi). Burung yang dikenal sebagai burung Garuda itu, menjadi endemik Jawa dan dilindungi dari ancaman kepunahan (Muria, 2005). Berbagai aktivitas manusia telah mengganggu keberlangsungan hidup elang jawa terutama terhadapa kelestarian habitatnya yang telah terfragmentasi. Sebagai pemangsa puncak dalam rantai makanan, maka kehidupan elang jawa sangat tergantung pada tropic di level bawahnya. Dengan melihat kenyataan semakin terbatasnya habitat maka perlu dipelajari kemampuan daya dukung habitat melalui pendekatan terhadap potensi pakan elang jawa. Walaupun ada tumpang tindih antara elang hitam dan elang jawa dalam penggunaan sumberdaya ruang dan waktu tetapi setiap jenis elang tersebut mempunyai relung (niche) dan prefrensi terhadap jenis mangsa yang berbeda. Pola aktivitas elang jawa dalam berburu mangsa berbeda dengan elang-elang yang lain yaitu waktu perburuan mangsa elang jawa adalah diantara jam 07.30-16.00 WIB. Mangsa terbesar elang jawa adalah mamalia kecil dari jenis tupai/bajing (Utami, 2002).


DAFTAR PUSTAKA

·         Baliadi, Yuliantoro, dkk. 2012. Ulat Bulu Tanaman Mangga Di Probolinggo: Identifikasi, Sebaran, Tingkat Serangan, Pemicu, Dan Cara Pengendalian (jurnal online), Jurnal Litbang Pertanian, 31(2), http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3312125.pdf . Diakses 16 April 2012
·         Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim. 2011. Kementan Teliti Penyebab Wabah Ulat Bulu di Probolinggo (online) http://www.jatimprov.go.id Diakses 17 April 2013
·         Fadhil. 2010. Biomonitoring Dan Biomarker Lingkungan (online) http://fadhilhayat.wordpress.com/2010/12/23/biomonitoring-biomarker-lingkungan/ Diakses 16 April 2013
·         Kurniasih, Rani. 2011. Pemangsaan, Herbivora, Parasitoidisme Dan Parasitisme (online) file:///D:/blog/pemangsaan-herbivora-parasitoidisme-dan.html Diakses 16 April 2013
·         Muria. 2005. Kawasan Colo Belum Digarap Serius
(online)
http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/08/mur08.htm Diakses 16 April 2013
·         Prihatnawati, Yayuk. 2012. Aplikasi Konsep Waktu – Suhu Pada Hewan Poikiloterm Dalam Pengendalian Hama Pertanian (makalah online) Diakses 16 April 2013
·         Odum, Eugene P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi (Edisi ketiga). Yogyakarta:Gadjah Mada University Press
·         Sukarsono. 2012. Ekologi Hewan. Malang: UMM Press
·         Utami, Beta Dwi. 2002. Kajian Potensi Pakan Elang Jawa Di Gunung Salak (Skripsi online), Jurusan Konservasi sumberdaya Hutan Fakultas kehutanan Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/16398/E02bdu_abstract.pdf?sequence=1 Diakses 16 April 2013
·         Yaqin, Mustafa Ainul. 2013. Aplikasi Konsep Waktu Suhu Pada Hewan Poikiloterm Dalam Pengendalian Hama Pertanian (online) http://ainulbio.wordpress.com/2013/03/09/aplikasi-konsep-waktu-suhu-pada-hewan-poikiloterm-dalam-pengendalian-hama-pertanian/?blogsub=confirming#subscribe-blog Diakses 16 April 2013
·         Vivi. 2012. Menaksir Kelimpahan Populasi (online) http://dhevhy4ever.blogspot.com/2012/05/menaksir-kelimpahan-populasi-dengan.html Diakses 17 April 2013

Selasa, 09 April 2013

Studi Populasi dan Perilaku Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) di Taman Nasional Ujung Kulon


Taman Nasional Ujung Kulon merupakan salah satu kawasan pelestarian alam terpenting di Indonesia karena memiliki keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna dan berbagai tipe vegetasi dan rnerupakan sebuah habitat yang ideal bagi kelangsungan hidup satwa. Salah satu rauna yang terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon dan merupakan primata endemik di Jawa Barat adalah Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798).

Owa Jawa telah ditetapkan sebagai salah satu satwa yang dilindungi berdasarkan Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar Nomor 266 tahun 1931, yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolomal Belanda (Dit. PPA, 1978), SK Mentan No. 541 Kpts/Um/1972 dan Peraturan Pemerintab RI No.7 tabun 1999, disebutkan semua jenis primata Famili Hylobatidae, termasuk Owa Jawa merupakan satwa yang dilindungi. Dalam Red Data Book The international Union for The Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), Owa Jawa termasuk dalam kategori endangered species atau genting yaitu jenis-jenis satwa yang terancam kepunahan dan tidak akan dapat bertahan tanpa upaya perlindungan yang ketat untuk menyelamatkan kelangsungan hidupnya. Selain itu, Owa Jawa dicantumkan dalam Appendix I yang diterbitkan oIeh The Convention on International Trade for Endangered Species of Flora and Fauna (CITES).

Kondisi populasi dan Perilaku Owa Jawa di Resort Cibiuk dan Reuma Jengkol Sub Seksi Taman Jaya Taman Nasional Ujung Kulon.

Jumlah dan Kondisi Populasi Owa Jawa Pengamatan dan pengambilan data dengan menggunakan kombinasi metode Line Transect dan Triangle Count yang dilakukan pada dua jalur pengamatan dimana digunakan ulangan masing-masing pada Jalur 0 (Resort Cibiuk) sebanyak 7 kali ulangan dan pada Jalur 1 (Resort Reuma Jengkol) dilakukan ulangan sebanyak 8 kali.

Dari hasil penghitungan didapatkan bahwa jumlah populasi Owa Jawa pada jalur 0 berjumlah rata-rata 4 individu (3,82 individu hasil perhitungan) pada tiap kelompoknya dengan kepadatannya 3 (2,9) grup/km2 sehingga didapatkan perkiraan jumlah indidunya sebanyak 11 (11,08) individu yang menempati tiap km-nya. Sedangkan pada jalur 1 yang merupakan Resort Reuma Jengkol memiliki kelimpahan rata-rata 3 (2,75) individu pada tiap-tiap kelompoknya dongan kepadatan 3 (2,67) grup/km2 dan pada tiap-tiap km2nya ditempati oleh 7 (7,34) individu.


Perilaku Owa Jawa

1. Aktivitas Bersuara, aktivitas bersuara pada Owa Jawa merupakan aktivitas awal dan utama yang membedakannya dengan jenis primata lainnya, biasanya aktivitas bersuara ini dilakukan oIeh Owa Jawa dengan tujuan yang berbeda-beda dilihat kapan, dimana dan mengapa ak'tivitas bersuara ini bisa terjadi. Suara pada Pagi Hari (Morning calI) dilakukan umumnya.pada waktu pagi hari setelah Owa Jawa melakukan istirahat panjangnya. Dilakukan pada pohon tidur atau pada pohon yang terletak tidak jauh dari pohon tidurnya oleh individu betina dewasa. Suara Tanda Bahaya (Alarm CalI) yang terjadi pada suatu kondisi dimana suatu kelompok Owa Jawa berada dalam keadaan bahaya karena ada predator, meIindWlgi daerah tcritorinya. adanya kompetitor. Suara yang dihasilkan pada keadaan alarm call ini berbeda dengan suara yang keluar pada morning call dimana intensitas dan frekwensinya tidak teratur cenderung rapat dan tinggi, perbedaan antara suara panjang dan suara pendek tidak terlalu terlihat. Suara Pada Kondisi Tertentu (Conditional Call) dalarn kondisi lain ada waktu dimana suatu individu Owa Jawa mengeluarkan suara tanpa alasan tertentu, suara yang dihasilkan pada conditional call ini bervariasi kadang teratur kadang tidak teratur, dilakukan oleh owa muda. Waktu terjadinya conditional call ini tidak tentu kadang terjadi diluar aktivitas hariannya.

2. Aktivitas Makan, dapat dilakukan oleh kelompok Owa Jawa di tempat pohon tidurnya dan di pohon pakan lainnya. Aktivitas makan yang diIakukan pada tempat pohon tidumya dikarenakan sumber pakan pada pohon tersebut masih terdapat secara melimpah sehingga kelompok tersebut tidak perlu berpindah ke pohon lainnya. Jenis makanan yang dimakan pada suatu pohon pakan oleh owa antara lain terdiri dari: daun muda atau pucuk daun, biji, buah, bunga serta beberapa jenis serangga kecil ataupun burung-burung kecil.

3. Aktivitas Bergerak Dalam melakukan pergerakan, Owa Jawa menggunakan lokomotor yang ada pada tubuhnya dengan beberapa cara, antara lain: Bergantung/ Berayun (Brakhiasi) Brakhiasi dapat dilakukan secara lambat pada keadaan normal, yaitu pada kondisi beraktivitas sosial dalam kelompok, mencari makan atau perjalanan biasa. Gerakan dilakukan tanpa melontarkan tubuh. Kecepatan rata-rata dalam melakukan brakhiasi adalah 1 sampai dengan 10 m/dt. Gerakan ini dapat juga dilakukan secara cepat kecepatan mcncapai rata-rata 32 m/dt. Melompat (Jumping) Gerakan melompat ini didahului dengan mengayunkan tubuh ke arah bawah kemudian tangan dan kaki dipakai sehagai penopang dan pelontar tubuh kc arah atas. Gerakan melompat keatas ini biasanya didahului juga dengan gerakan lain seperti berayun (brakhiasi). Memanjat (Climbing) Gerakan ini dilakukan Owa Jawa dalam upaya berpindah ketempat yang lebih rendah atau lebih tinggi secara vertikal dalam pohon yang sama melalui cabang yang besar atau batang pohon dalam satu pohon. Berjalan (Walking) Gerakan ini dilakukan Owa Jawa untuk berpindah ke tempat yang relatif datar (horizontal) pada pohon dengan cabang atau batang yang besar. Gerakan berjalan dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan tangan (Quadrapedal) atau tanpa bantuan tangan (Bipedal). Fungsi tangan sebagai penyeimbang tubuh.

4. Aktivitas Istirahat Dalam rangkaian aktivitas hariannya. istirahat dilakukan diantara aktivitas makan, bergerak, maupun aktivitas sosialnya (istirahat pendek) karena memang waktu istirahat yang digunakan relatif singkat yang berkisar antara 15 menit sampai dengan 62 menit selama satu periode istirahat. Istirahat yang dilakukan diluar aktivitas hariannya dapat dikatakan sebagai istirahat panjang karena memakan waktu yang lama, dilakukan ketika hari mulai gelap sekitar pukul 16.54 sampai 17.12.

5. Aktivitas Sosial (Perilaku Sosial) Bentuk aktivitas sosial yang ditunjukkan oleh Owa Jawa secara individu dalam kelompok antara lain adalah berkutu-kutuan (grooming) yang biasanya dilakukan oleh individu jantan dewasa, betina dewasa dan muda; bersuara (vocalization), serta bermain yang biasanya dilakukan oleh individu muda dan bayi (Ladjat, 1995). Menurut De Vore dan Elmer (1987) bermain pada individu anak merupakan aktivitas yang sangat penting. Perilaku sosial yang terlihat antar kelompok Owa Jawa dapat berupa bersuara (vocalization) yang dilakukan dengan tujuan agar kelompok owa lain mengetahui teritori dari keIompok owa yang lain. Perilaku ini juga dapat terlihat untuk perilaku sosial dengan kelompok satwa lain yaitu pada kondisi dimana pada saat aktivitas makan terjadi, ada kelompok satwa lain seperti burung rangkong, lutung atau monyet ekor panjang, masuk kedalam teritori suatu kelompok Owa Jawa. Dapat dikatakan perilaku sosial yang terjadi antar kelompok Owa Jawa dan perilaku sosial yang terjadi antara kelompok Owa Jawa dengan kelompok satwa lainnya sangat berkaitan dengan teritori Owa Jawa dan aktivitas yang dilakukan oleh individu dalam kelompok tersebut.

Kondisi Habitat

1. Analisis Kondisi Vegetasi Dari analisis vegetasi yang dilakukan kemudian dihitung Indeks Nilai Penting (INP) untuk mengetahui komposisi dan kelimpahan jenis yang ada. Didapatkan pada jalur 0 (Resort Cibiuk) 5 jenis vegetasi pada tingkat pohon yang ada elidominasi dari pohon Kondang dengan INP sebe,ar 36,20, Kihiang (16,86), Kiamis (12,90), Kiganik (12,24), dan Cangearatan dengan INP sebesar 9,62. Sedangkan untuk 5 jenis vegetasi pada tingkat Tiang didominasi oleb Pulus, Kijahe, Kisegel, Cangcaratan dan Bisoro. Pada tingkat pancang Jalur 0 didominasi oleb jenis Songgom, Kijaha, Kilaja, Dahu dan Sulangkar dan Untuk jenis-jenis vegetasi pada tingkat semai atau liana didominasi oleb jenis Songgom, Kijaha, Kimerak, Hata dan Kigadel. Pada Jalur T (Resort Reuma Iengkol) 5 jenis vegetasi pada tingkat pobon yang ada didominasi dari pobon Lame dengan INP sebesar 35,93, Palahlar (32,66), Kiganik (30,80), Kikacang (20,40), dan Kipoleng dengan INP sebesar 19,75. Sedangkan untuk 5 jenis vegetasi pada tingkat Tiang didominasi oleb Buluh, Heueit, Peuris, Dahu dan Hampat. Pada tingkat paneang Ialur T didominasi oleb jenis Kimerak, Langkap, Rotan, Kakaduan dan Onyam dan Untuk jenis-jenis vegetasi pada tingkat semai atau liana didominasi oleh jenis Rotan, Kimerak, Kakaduan dan Kiendog.

2. Keanekaragaman Jenis Vegetasi Di ketahui pada jalur 0 (Resort Cibiuk) keanekaragaman jenis vegetasinya yang ada pada tingkat semai ditemukan sebanyak 45 jenis, pada tingkat pancang berbasil diidentifikasi sebanyak 56 jenis, untuk tingkat tiang sebanyak 34 jenis dan pada tingkat pobon ditemukan sebanyak 50 jenis yang tersebar diseluruh jalur pengamatan. Pada jalur 1 diketahui terdapat keanekaragaman jenis pada tingkat semai sebanyak 32 jenis, untuk tingkat pancang ditemukan 40 jenis, pada tingkat tiang terdapat 27 jenis dan pada tingkat pohon berhasil ditemukan 37 jenis pobon. Dari perbandingan yang ada pada masing-masing tingkat pertumbuhan yang ada pada jalur-jalur pengamatan, jelas sekali terlihat perbedaan keanekaragaman jenis yang ada dimana pada jalur 0 (Resort Cibiuk) memiliki keanekaragaman jenis yang lebih tinggi bila dibanelingkan dengan keanekaragarnan jenis yang ada pada jalur 1 (Resort Reuma jengkol). Bila dilihat dari keanekaragaman jenis tumbuhan yang ada pada kedua lokasi tersebut. Dapat dikatakan bahwa kondisi vegetasinya terutama tumbuhan pakannya masih dalam keadaan baik dimana banyak tumbuhan pakan yang mendominasi dengan INP berkisar diatas 10 %

notes:
ini merupakan ringkasan skripsi yang dilakukan penulis pada tahun 2001
source:
"http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/15881"

Kamis, 04 April 2013

Sekilas Tentang Owa Jawa

          Owa Jawa (Hylobates moloch) merupakan primata yang berukuran kecil dengan panjang tubuh hanya sekitar 80 cm. Tubuhnya lebih kecil, langsing, dan seksi dibandingkan dengan kera lainnya yang cenderung gendut. Pada bagian tubuh Owa Jawa ditutupi dengan bulu yang berwarna abu-abu keperakan sedangkan pada bagian muka berkulit hitam pekat. Owa jawa tidak mempunyai ekor.
 
            Owa Jawa (Hylobates moloch) termasuk jenis kera pohon sejati (arboreal monkey) karena hampir sepanjang hidupnya primata ini tidak pernah turun dari atas pohon. Uniknya, meski dikenal sebagai raja pohon, Owa Jawa justru termasuk kera yang berjalan dengan tegak alias tidak menggunakan keempat tangan dan kakinya, melainkan mengandalkan kedua kakinya untuk berjalan.
          Owa Jawa termasuk satwa yag beraktifitas di siang hari. Mulai aktif pada pagi hari sekitar pukul 05.00 dan mencapai puncaknya antara pukul 08.30-12.00. Aktifitasnya akan mulai lagi sekitar pukul 14.30-17.30 sampai menemukan pohon yang dapat digunakan sebagai tidur. Salah satu kebiasaan khas Owa Jawa adalah mengeluarkan nyanyian (suara-suara khas) pada pagi hari ketika memulai aktifitasnya.
Makanan Owa Jawa meliputi buah-buahan, dedaunan, dan terkadang makan serangga sebagai tambahan protein. Owa jawa dalam mencari makan selalu berpindah-pindah secara berkelompok menjelajah dari satu pohon ke pohon lainnya dalam daerah teritorialnya. Primata langka dan terancam kepunahan ini dalam kehidupannya bersifat monogami, yaitu hanya mempunyai satu pasangan semasa hidupnya.