SOAL
1.
Konsep
waktu-suhu yang berlaku pada hewan
poikilotermik sangat berguna aplikasinya dalam pengendalian hama
pertanian, khususnya dari golongan
serangga. Jelaskan arti konsep waktu secara singkat, dan berikan contoh
ulasannya terkait dengan kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di
Probolinggo Tahun 2010.
2.
Jelaskan
pemanfaatan konsep kelimpahan,
intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan dalam
kaitannya dengan penetapan hewan langka!
3.
Jelaskan
aplikasi konsep interaksi populasi, khususnya parasitisme dan parasitoidisme,
dalam pengendalian biologis. Berikan contohnya!
4.
Nilai sikap dan karakter apa yang harus ditumbuhkan
pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan? Berikan contoh
riilnya!
5.
Uraikan
satu contoh pemanfaatan indikator hewan untuk monitoring kondisi lingkungan
secara mendetail, mulai dari jenis, prinsip dan praktik pemanfaatannya!
6.
Apakah
manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas konservasi? Berikan salah
satu contoh hewan langka, lakukan kajian tentang relungnya. (dalam satu kelas,
hewan yang dikaji tidak boleh sama)!
JAWABAN
- Suhu
merupakan salah satu faktor lingkungan yang dominan mempengaruhi kehidupan
hewan. Suhu lingkungan memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada hewan.
Adanya variasi suhu lingkungan memiliki peranan potensial dalam menentukan
proses kehidupan, penyebaran serta kelimpahan populasi hewan. Dari sudut pandang ekologi, suhu
lingkungan sangat penting terutama bagi hewan poikiloterm untuk aktivitas
dan pengaruh terhadap laju perkembangannya. Sehingga, hewan poikiloterm
memerlukan kombinasi faktor suhu lingkungan dan faktor waktu untuk
pertumbuhannya (Ainul, 2013). Hewan poikiloterm tidak dapat tumbuh dan
berkembang jika suhu lingkungannya berada diatas atau dibawah batas
ambangnya, karena suhu
tubuh menentukan kerja enzim enzim yang membantu metabolisme di dalam
tubuh hewan tersebut. Dalam suatu kisaran suhu tertentu, antara laju
perkembangan dengan suhu lingkungan terdapat hubungan linier. Hewan-hewan poikiloterm
memiliki lama waktu perkembangan yang berbeda-beda. Dengan kata lain,
pernyataan berapa lamanya waktu perkembangan selalu perlu disertai dengan
pernyataan pada suhu berapa berlangsungnya proses perkembangan itu, karena
pada hewan poikiloterm, waktu (berlangsungnya proses perkembangan)
merupakan fungsi dari suhu lingkungan, maka kombinasi waktu-suhu yang
seringkali dinamakan waktu fisiologis itu mempunyai arti penting. Contoh:
Apabila diketahui, misalnya suhu ambang terjadinya perkembangan pada
sejenis belalang adalah 16oC dan pada suhu 20oC
(yaitu 4oC di atas suhu ambang) lamanya waktu yang diperlukan
untuk menetas hanya 17,5 hari, maka pada suhu 30oC (yaitu 14oC
di atas suhu ambang) lama waktu yang diperlukan untuk perkembangan telur
dari jenis belalang untuk menetas adalah 5 hari (Yayuk, 2012). Aplikasi konsep waktu–suhu sangat berguna untuk pengendalian hama
pertanian karena waktu-suhu penting artinya untuk memahami hubungan antara
waktu dengan dinamika populasi hewan poikiloterm. Dengan mengetahui konsep
waktu-suhu maka dapat mengetahui atau memprediksi kapan akan terjadi
peledakan populasi.
Peledakan populasi itu sendiri dapat terjadi jika suatu spesies dimasukkan
ke dalam suatu daerah yang baru, dimana terdapat sumber-sumber yang belum
dieksploitir oleh manusia dan tidak ada interaksi negatif (misalnya
predator, parasit), dimana sebenarnya predator dan parasit memainkan
peranan dalam menahan peledakan populasi dan memang menekan laju
pertumbuhan populasi. Konsep
waktu suhu pada pertanian digunakan untuk pengendalian hama dengan mempercepat atau menghambat laju perkembangannya. Pengendalian tersebut dapat dilakukan
pengendalian mekanis dan fisik. Pengendalian fisik adalah tindakan
pengendalian yang dilakukan dengan menggunakan suhu tinggi atau suhu
rendah. Teknik pengendalian ini bertujuan mengurangi
populasi hama dengan cara mengganggu fisiologi serangga atau mengubah
lingkungan menjadi kurang sesuai bagi hama. Peledakan populasi serangga
dalam jumlah besar yang terjadinya hampir tiap tahun pada waktu yang
berbeda beda, merupakan suatu fenomena alam. Kejadian tersebut bila
ditelaah lebih lanjut akan terlihat bahwa terjadinya peledakan populasi
itu berdasarkan pada jumlah hari derajat yang sama di atas suhu ambang
perkembangan jenis serangga tersebut. Dengan menggunakan konsep waktu-suhu
yang diwujudkan dalam bentuk jumlah hari-derajat, maka fenomena alam
akibat proses perkembangan seperti peledakan populasi dapat diramalkan
kapan akan terjadi. Dengan mengetahui jumlah hari-derajat perkembangan
suatu jenis serangga hama, maka akan dapat ditentukan lebih tepat, kapan
waktu dan teknik pemberantasan hama tersebut, karena memberantas telur
atau pupa berbeda dengan memberantas hewan dewasanya. Salah satu contoh peledakan populasi
serangga yaitu pada kasus ulat
bulu yang menyerbu tanaman mangga di Probolinggo Tahun 2010. berdasarkan
jurnal ulat bulu tanaman mangga
di probolinggo diidentifikasi bahwa jenis ulat
bulu yang menyerang tanaman mangga di probolinggo lebih dari satu jenis,
tetapi semuanya tergolong ke dalam famili lymantriidae ordo lepidoptera
genus lymantria adalah salah satu hama utama tanaman mangga di asia
tenggara dan india. Keakuratan
informasi tentang jenis ulat bulu yang menyerang tanaman mangga sangat
penting dalam pengambilan keputusan untuk menetapkan cara pengendalian
yang tepat (yuliantoro, 2012). Pada waktu tertentu aktivitas serangga tinggi, akan
tetapi pada suhu yang lain akan berkurang (menurun). Pada umunya kisaran
suhu yang efektif adalah suhu minimum 150C, suhu optimum 250C
dan suhu maksimum 450C. Pada suhu yang optimum kemampuan
serangga untuk melahirkan keturunan besar dan kematian (mortalitas)
sebelum batas umur akan sedikit. Kasus meledaknya ulat bulu di probolinggo
terlihat bahwa peledakan tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh suhu. Jika
dikaitkan dengan konsep waktu-suhu, maka dapat terlihat bahwa pada suhu
optimum saja ulat akan berkembang biak dengan jumlah yang besar apalagi
jika suhu semakin tinggi hingga berada dibawah ambang batas maksimum, Dapat
dibayangkan bahwa ulat tersebut berkembang biak akan lebih besar lagi dan melebihi
suhu optimumnya. Semakin bertambahnya suhu tersebut, maka perkembangbiakan
ulat bulu semakin besar pula sampai tidak terkontrol dan terjadilah
peledakan populasi. Bertambahnya suhu tersebut dapat terlihat karena curah
hujan di Probolinggo saat itu sedang
tinggi. Menurut Gubernur Jatim, H Soekarwo (2011),
menyatakan bahwa adanya fenomena ulat bulu di Probolinggo itu lebih karena
factor cuaca. Artinya, curah hujan yang selama ini cukup tinggi membuat
daun di sekitar pohon mangga membusuk dan menyebabkan munculnya organisme
baru, seperti larva dan ulat. Sehingga, pihaknya memerintahkan
penanganannya pada Dinas Pertanian Jatim untuk mengambil langkah
pencegahan agar wabah tak terus berkembang. Oleh karena itu, dengan
memanfaatkan konsep waktu-suhu maka dapat diprediksi kapan akan terjadi
peledakan populasi ulat bulu seperti kasus di Probolinggo di waktu yang
berbeda dengan melihat kisaran waktu dan suhu lingkungan ulat bulu
tersebut.
- Kerapatan
populasi merupakan ukuran populasi dalam hubungannya dengan satuan ruang,
biasanya dinyatakan dengan banyaknya individu atau biomasa populasi
persatuan luas atau volume yang disebut
dengan kelimpahan populasi (Vivi, 2012). Tinggi rendahnya jumlah individu populasi
suatu spesies hewan menunjukkan besar kecilnya ukuran populasi atau
tingkat kelimpahan populasi itu. Area suatu populasi tidak dapat
ditentukan batasannya secara pasti, sehingga kelimpahan (ukuran) populasi
pun tidak mungkin dapat ditentukan.
Kelimpahan populasi suatu spesies mengandung dua aspek yang berbeda, yaitu
aspek intensitas dan aspek prevalensi. Intensitas menunjukkan aspek tinggi
rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies, sedangkan prevalensi
menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam
konteks daerah yang lebih luas. Suatu spesies hewan yang prevalensinya
tinggi (=prevalen) dapat lebih sering dijumpai dan spesies yang
prevalensinya rendah, yang daerah penyebarannya terbatas (terlokalisasi)
hanya ditemui di tempat tertentu. Dispersi merupakan merupakan pola
penjarakan antar individu dalam perbatasan populasi. Dispersi memiliki
beberapa pola penjarakan yaitu random, bergerombol dan seragam. Pola
dispersi bergerombol yaitu individu-individu hidup mengelompok dalam
topok. Pola disperse seragam atau uniform yaitu pola berjarak sama
diakibatkan dari interaksi langsung antara individu-individu dalam
populasi. Pola dispersi acak yaitu penjarakan yang tidak bisa diprediksi,
posisi setiap individu tidak bergantung pada individu lain. Frekunditas
adalah laju reproduksi aktual suatu organisme atau populasi yang diukur
berdasarkan jumlah gamet, biji, ataupun propagula aseksual. Dalam bidang
demografi, frekunditas adalah kapasitas reproduksi potensial suatu
individu ataupun populasi. Frekunditas berada dibawah kontrol genetik
maupun lingkungan dan merupakan ukuran utama kebugaran biologi suatu
spesies. Kelulushidupan hewan adalah perbandingan antara jumlah individu
yang hidup pada akhir percobaan dengan jumlah individu yang hidup pada
awal percobaan. Kelulushidupan juga merupakan peluang hidup dalam suatu
saat tertentu. Faktor yang mempengaruhinya adalah biotik (kompetitor,
parasit, umur, kepadatan populasi, dan kemampuan adaptasi) dan abiotik
(sifat fisika dan sifat kimia dari lingkungan). Pemanfaatan konsep
kelimpahan, intensitas dan prevalensi, dispersi, frekunditas, dan
kelulushidupan pada hewan langka dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
kelimpahan hewan tersebut, intensitas dan prevalensinya, sehingga dapat diketahui
pola-pola dispersi atau perjarakan hewan langka tersebut berkaitan dengan
frekunditas (reproduksi) hewan langka dalam suatu populasi.
- Dalam
suatu populasi terjadi beberapa interaksi antar spesies yang hidup
bersama, baik interaksi yang terjadi bersifat positif ataupun negative.
Antar spesies yang hidup dalam suatu komunitas memiliki rasa saling
membutuhkan satu sama lain dan juga hidup saling melengkapi sehingga
sangat memungkinkan banyak interaksi-interaksi yang terjadi diantara mereka. Parasitisme merupakan
salah satu bentuk interaksi antar spesies dalam suatu populasi.
Parasitisme adalah hubungan antar spesies yang salah satu spesiesnya
dirugikan oleh individu dari spesies lain. Interaksi ini bersifat negative
karena merugikan salah satu dari kedua spesies. Umumnya parasitisme terjadi karena keperluan nutrisi dan bersifat
spesifik. Ukuran parasit biasanya lebih kecil dari inangnya. Terjadinya
parasitisme memerlukan kontak secara fisik maupun metabolik serta waktu
kontak yang relatif lama. Contohnya adalah bakteri Bdellovibrio yang
memparasit bakteri E. coli. Aplikasi konsep interaksi ini memiliki
peranan untuk pengendalian biologis. Menurut Odum (1993), parasit-parasit
ini memiliki peranan didalam menahan serangga herbivore pada kepadatan
yang rendah, tetapi mereka dapat tidak efektif apabila populasi inang
meledak atau “lolos” dari kendali yang tergantung pada kepadatan. Dengan
memanfaatkan beberapa bakteri untuk pengendalian, sehingga bentuk
interaksi ini dapat dijadikan sebagai bentuk pengendalian biologis. Parasitoidisme
merupakan bentuk interaksi yang bersifat negative seperti interaksi
parasitisme. Parasitoid
adalah sekelompok insect yang dikelompokkan dengan dasar perilaku bertelur
betina dewasa dan pola perkembangan larva selanjutnya. Terutama untuk
insect dari ordo Hymenoptera, dan juga meliputi banyak Diptera. Mereka
hidup bebas pada waktu dewasa, tetapi betinanya bertelur di dalam, pada
atau dekat insect lain. Larva parasitoid berkembang di dalam (atau jarang
pada) individu inang yang masih tingkat pre-dewasa. Pada awalnya hanya
sedikit kerusakan yang tampak ditimbulkan terhadap inangnya, tetapi
akhirnya hampir dapat mengkonsumsi seluruh inangnya dan dengan demikian
makan dapat membunuh inang tersebut sebelum atau sesudah stadium kepompong
(pupa). Jadi parasitoid dewasa, bukan inang dewasa yang akan muncul dari
kepompong. Sering hanya satu parasitoid yang berkembang dari tiap inang,
tetapi pada beberapa kejadian beberapa individu hidup bersama dalam satu
inang. Jelasnya parasitoid hidup bersama akrab dengan individu inang
tunggal (seperti pada parasit), mereka tidak menyebabkan kematian segera
atas inang seperti pada parasite (Rani, 2011). Parasitoidisme juga
memiliki peranan dalam pengendalian hama secara biologis karena
parasitoid-parasitoid ini berperan sebagai musuh alami, contohnya kasus
ulat bulu di Probolinggo juga terkait dengan bentuk interaksi
parasitoidisme. Beberapa peneliti kasus tersebut menyatakan bahwa
peledakan ulat bulu tersebut juga karena kurangnya musuh alami ulat
seperti parasitoid-parasitoid dan pemangsa lainnya.
- Nilai sikap dan karakter yang harus ditumbuhkan
pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan yaitu sikap tanggung jawab dan karakter mencintai dan menyayangi
hewan sehingga nantinya nilai dan karakter tersebut dapat mengajarkan
siswa untuk memiliki rasa ingin melestarikan dan melindungi hewan-hewan
langka yang terancam punah dari ancaman-ancaman berupa perburuan liar oleh
manusia. Selain itu, dengan menumbuhkan rasa tanggung jawab pada diri
siswa, rasa itu akan mengajarkan siswa untuk melestarikan hewan-hewan yang
memiliki peranan untuk simbiosis dengan tumbuhan yang nantinya hasil
simbiosis tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia dari ulah manusia yang
mengakibatkan buruknya kondisi hewan-hewan saat ini. Perburuan manusia terhadap
hewan-hewan yang memiliki fungsi dan peran untuk bersimbiosis dengan
tumbuhan akan berdampak negative juga terhadap manusia yang nantinya
nutrisi dan pemanfaatan dari hasil simbiosis tersebut tidak lagi ada jika
hewannya diburu. Sehingga, dengan ditanamkannya sikap dan karakter
tersebut sejak dini maka siswa dan siswi dapat mencegah dan mengendalikan
manusia untuk tidak berburu hewan demi kepentingan pribadi dan merusak
populasi hewan yang dapat berdampak terhadap kepunahan hewan tersebut.
- Salah satu contoh hewan yang dapat dimanfaatkan
sebagai bioindikator untuk monitoring
kondisi lingkungan adalah lintah (Hirudo
medicinalis). Secara umum istilah biomonitoring
dipakai sebagai alat/cara yang penting dan merupakan metode baru untuk
menilai suatu dampak pencemaran lingkungan (Fadhil, 2010). Istilah yang
lebih spesifik adalah monitoring biologi (Biological Monitoring). Di dalam
praktek penggunaan monitoring biologi (MB) adalah untuk memonitor populasi
yang terpapar oleh bahan polutan di tempat kerja maupun di lingkungan. Salah satu cara yang digunakan untuk memantau perubahan yang terjadi
di dalam suatu ekosistem adalah pemanfaatan bioindikator. Bioindikator
ekologis adalah mahluk yang diamati penampakannya untuk dipakai sebagai
petunjuk tentang keadaan kondisi lingkungan dan sumber daya pada
habitatnya. Bioindikator yang dapat digunakan untuk memantau keadaan
polusi di suatu tempat sebaiknya memenuhi kriteria, yaitu (1) organisme
yang dijadikan sebagai bioindikator memiliki kisaran toleransi yang sempit
terhadap perubahan lingkungan, (2) organisme yang dijadikan
sebagai bioindikator memiliki kebiasaan hidup menetap di suatu tempat atau
pemencarannya terbatas, (3) organisme yang dijadikan sebagai bioindikator
mudah dilakukan pengambilan sampel dan merupakan organisme yang umum
dijumpai di lokasi pengamatan, (4) akumulasi dari polutan tidak
mengakibatkan kematian pada organisme yang dijadikan sebagai
bioindikator, (5) organisme yang dijadikan sebagai bioindikator lebih
disukai yang berumur panjang, sehingga dapat diperoleh individu contoh
dari berbagai stadium atau dari berbagai tingkatan umur. Dengan kriteria tersebut, salah
satu biota yang dapat digunakan sebagai parameter biologi (bioindikator)
dalam menentukan kondisi suatu perairan adalah hewan makrozoobentos
(lintah). Sebagai organisme yang hidup di perairan, hewan makrozoobentos
sangat peka terhadap perubahan kualitas air tempat hidupnya sehingga akan
berpengaruh terhadap komposisi dan kelimpahannya. Hal ini tergantung pada
toleransinya terhadap perubahan lingkungan, sehingga organisme ini sering
dipakai sebagai bioindikator tingkat pencemaran suatu perairan. Makroinvertebrata
khususnya lintah lebih banyak dipakai dalam pemantauan kualitas air karena
memenuhi beberapa kriteria, antara lain: (1) sifat hidupnya yang relatif
menetap/tidak berpindah-pindah, meskipun kualitas air tidak mengalami
perubahan, (2) dapat dijumpai pada beberapa zona habitat akuatik, dengan
berbagai kondisi kualitas air, (3) masa hidupnya cukup lama, sehingga
keberadaannya memungkinkan untuk merekam kualitas lingkungan di sekitarnya,
(4) terdiri atas beberapa jenis yang memberi respon berbeda terhadap
kualitas air, (5) relatif lebih mudah untuk dikenali dibandingkan dengan
jenis mikroorganisme, (6) mudah dalam pengumpulan/pengambilannya, karena
hanya dibuthkan alat yang sederhana yang dapat dibuat sendiri. Sebagai
organisme dasar perairan, lintah (Hirudo medicinalis) mempunyai
habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian,
perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat
mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Hal ini baik digunakan
sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena lintah selalu mengadakan
kontak langsung dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Kelompok
hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor
lingkungan dari waktu ke waktu karena Lintah (Hirudo medicinalis)
terus menerus terdedah oleh air yang kualitasnya berubah-ubah. Oleh karena
itu, lintah merupakan contoh hewan bioindikator untuk monitoring kondisi
lingkungan perairan.
- Manfaat mempelajarai relung untuk aktivitas
konservasi yaitu dengan mengetahui relungnya maka dapat diketahui pula
relung sebagai fungsi komunitasnya yang meliputi keragaman makanan dan
musuhnya, kondisi fisik lingkungannya, dan relung aktivitasnya. Manfaat
mempelajari relung juga penting untuk digunakan sebagai dasar acuan
memahami dan mengatasi masalah kondisi dan sumberdaya yang membatasi atau
secara potensial membatasi suatu populasi hewan (Sukarsono, 2012). Manfaat
relung untuk konservasi yaitu dapat melindungi dan melestarikan
hewan-hewan langka yang terancam statusnya, baik pelestarian in-situ maupun ex-situ. Salah satu hewan langka yaitu burung elang jawa.
Elang jawa merupakan salah satu jenis burung pemangsa endemic yang
penyebarannya terbatas pada hutan alam di Pulau Jawa. Jenis ini termasuk
dalam kategori satwa langka yang terancam punah dan termasuk dalam daftar
satwa yang dilindungi. Hasil yang telah diperoleh dalam penelitian
terdahulu, adalah berupa data awal tentang kawasan Muria yang meliputi
keanekaragaman jenis burung dan tumbuhan. Tim peneliti mengidentifikasi 68
jenis burung, yang salah satu diantaranya adalah Elang Jawa (Spizaetus
Bartelsi). Burung yang dikenal sebagai burung Garuda itu, menjadi
endemik Jawa dan dilindungi dari ancaman kepunahan (Muria, 2005). Berbagai aktivitas manusia telah mengganggu keberlangsungan hidup
elang jawa terutama terhadapa kelestarian habitatnya yang telah
terfragmentasi. Sebagai pemangsa puncak dalam rantai makanan, maka
kehidupan elang jawa sangat tergantung pada tropic di level bawahnya.
Dengan melihat kenyataan semakin terbatasnya habitat maka perlu dipelajari
kemampuan daya dukung habitat melalui pendekatan terhadap potensi pakan
elang jawa. Walaupun ada tumpang tindih antara elang hitam dan elang jawa
dalam penggunaan sumberdaya ruang dan waktu tetapi setiap jenis elang
tersebut mempunyai relung (niche) dan prefrensi terhadap jenis mangsa yang
berbeda. Pola aktivitas elang jawa dalam berburu mangsa berbeda dengan
elang-elang yang lain yaitu waktu perburuan mangsa elang jawa adalah
diantara jam 07.30-16.00 WIB. Mangsa terbesar elang jawa adalah mamalia
kecil dari jenis tupai/bajing (Utami, 2002).
DAFTAR
PUSTAKA
·
Baliadi,
Yuliantoro, dkk. 2012. Ulat Bulu Tanaman Mangga Di Probolinggo:
Identifikasi, Sebaran, Tingkat Serangan, Pemicu, Dan Cara Pengendalian (jurnal online), Jurnal Litbang Pertanian, 31(2), http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3312125.pdf
. Diakses 16 April 2012
·
Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim. 2011. Kementan
Teliti Penyebab Wabah Ulat Bulu di Probolinggo (online) http://www.jatimprov.go.id Diakses 17 April 2013
·
Fadhil. 2010. Biomonitoring
Dan Biomarker Lingkungan (online) http://fadhilhayat.wordpress.com/2010/12/23/biomonitoring-biomarker-lingkungan/
Diakses 16 April 2013
·
Kurniasih, Rani. 2011. Pemangsaan, Herbivora, Parasitoidisme Dan Parasitisme (online) file:///D:/blog/pemangsaan-herbivora-parasitoidisme-dan.html
Diakses 16 April 2013
·
Muria. 2005. Kawasan Colo Belum Digarap Serius
(online) http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/08/mur08.htm Diakses 16 April 2013
(online) http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/08/mur08.htm Diakses 16 April 2013
·
Prihatnawati, Yayuk. 2012. Aplikasi Konsep Waktu –
Suhu Pada Hewan Poikiloterm Dalam Pengendalian Hama Pertanian (makalah online) Diakses 16 April 2013
·
Odum,
Eugene P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi
(Edisi ketiga). Yogyakarta:Gadjah Mada University Press
·
Sukarsono.
2012. Ekologi Hewan. Malang: UMM
Press
·
Utami, Beta Dwi. 2002. Kajian
Potensi Pakan Elang Jawa Di Gunung Salak (Skripsi online), Jurusan
Konservasi sumberdaya Hutan Fakultas kehutanan Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/16398/E02bdu_abstract.pdf?sequence=1
Diakses 16 April 2013
·
Yaqin, Mustafa Ainul. 2013. Aplikasi
Konsep Waktu Suhu Pada Hewan Poikiloterm Dalam Pengendalian Hama Pertanian (online)
http://ainulbio.wordpress.com/2013/03/09/aplikasi-konsep-waktu-suhu-pada-hewan-poikiloterm-dalam-pengendalian-hama-pertanian/?blogsub=confirming#subscribe-blog
Diakses 16 April 2013
·
Vivi. 2012. Menaksir
Kelimpahan Populasi
(online) http://dhevhy4ever.blogspot.com/2012/05/menaksir-kelimpahan-populasi-dengan.html
Diakses 17 April 2013