Rabu, 08 Mei 2013

Owa Jawa Hewan Yang Setia

Owa jawa (Hylobates moloch) adalah sejenis primata anggota suku Hylobatidae. Dengan populasi tersisa antara 1.000 – 2.000 ekor saja, kera ini adalah spesies owa yang paling langka di dunia. Owa jawa menyebar terbatas (endemik) di Jawa bagian barat. Owa jawa tidak memiliki ekor, dan tangannya relatif panjang dibandingkan dengan besar tubuhnya. Tangan yang panjang ini diperlukannya untuk berayun dan berpindah di antara dahan-dahan dan ranting di tajuk pohon yang tinggi, tempatnya beraktifitas sehari-hari. Warna tubuhnya keabu-abuan, dengan sisi atas kepala lebih gelap dan wajah kehitaman.

Kera ini hidup dalam kelompok-kelompok kecil semacam keluarga inti, terdiri dari pasangan hewan jantan dan betina, dengan satu atau dua anak-anaknya yang masih belum dewasa. Owa jawa merupakan pasangan yang setia, monogami. Rata-rata owa betina melahirkan sekali setiap tiga tahun, dengan masa mengandung selama 7 bulan. Anak-anaknya disusui hingga usia 18 bulan, dan terus bersama keluarganya sampai dewasa, yang dicapainya pada umur sekitar 8 tahun. Owa muda kemudian akan memisahkan diri dan mencari pasangannya sendiri.


Owa jawa adalah hewan diurnal dan arboreal, sepenuhnya hidup di atas tajuk pepohonan. Terutama memakan buah-buahan, daun dan bunga-bungaan, kelompok kecil owa jawa menjelajahi kanopi hutan dengan cara memanjat dan berayun dari satu pohon ke lain pohon dengan mengandalkan kelincahan dan kekuatan lengannya. Berat tubuhnya rata-rata mencapai 8 kg.
Kelompok ini akan berupaya mempertahankan teritorinya, biasanya luasnya mencapai 17 hektare, dari kehadiran kelompok lain. Pagi-pagi sekali, dan juga di waktu-waktu tertentu di siang dan sore hari, owa betina akan memperdengarkan suaranya untuk mengumumkan wilayah teritorial keluarganya. Dari suara yang bersahut-sahutan antar kelompok, dan terdengar hingga jarak yang jauh ini, para peneliti dapat memperkirakan jumlah kelompok owa yang ada, dan selanjutnya menduga jumlah individunya.

Spesies ini hanya didapati di bagian barat Pulau Jawa, yakni di hutan-hutan dataran rendah dan hutan pegunungan bawah. Penyebaran paling timur adalah di wilayah Gunung Slamet serta di jajaran Pegunungan Dieng sebelah barat di wilayah Pekalongan.

Populasi Owa Jawa Masih Banyak di Ujung Kulon

REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG -- Populasi owa jawa, salah satu hewan yang harus diprioritaskan pelestariannya, di kawasan Taman Nasional Ujung Kulong (TNUK) Pandeglang, Provinsi Banten, masih banyak.

"Dari hasil pantauan kita, populasi owa jawa masih banyak, dengan habitat utamanya di Gunung Honje, yang masih masuk dalam kawasan TNUK," kata Humas Balai Taman Nasional Ujung Kulon Pandeglang Indra di Pandeglang, Kamis (7/3).

Owa jawa, kata dia, binatang jenis primata dan merupakan hewan endemik TNUK yang oleh pemerintah dimasukkan menjadi salah satu dari 14 hewan yang harus diprioritasnya pelestariannya.

"Pemerintah menetapkan 14 jenis hewan yang harus diprioritaskan pelestariannya, dan tiga diantaranya hidup di kawasan TNUK, yakni badak jawa atau badak bercula satu, banteng dan owa jawa," katanya.

Indra menjelaskan masih banyaknya populasi owa jawa di TNUK karena ketersediaan pakannya cukup, juga aman dari gangguan yang mengancam keberadaannya, termasuk dari tangan jahil manusia.

"Keberadaan owa jawa juga bisa dijadikan indikasi dari kondisi kawasan. Kalau hewan itu masih banyak maka kawasan masih aman dari gangguan hutan seperti pembalakan liar, dan sebaliknya kalau binatang itu sedikit berarti kawasan sudah tidak aman lagi," katanya.

Saat ini, kata dia, populasi owa jawa di TNUK masih banyak, berarti bisa disimpulkan kawasan taman nasional yang merupakan hutan tropis terbesar di Pulau Jawa tersebut masih aman dari berbagai macam gangguan hutan.

Balai TNUK, kata dia, telah membentuk tim peduli satwa yang anggotanya dari petugas Balai TNUK dari masyarakat dengan tugas utama melakukan pengawasan terhadap populasi dan perilaku satwa di kawasan itu.

"Tim tersebut sudah kita latih untuk melakukan pengawasan terhadap satwa yang ada di TNUK, terutama badak jawa, banteng dan owa jawa," ujarnya menjelaskan.

OWA JAWA, Mereka Semakin Terancam !

diposting oleh yayasan Owa jawa Rabu, 22 Desember 2010 11:53

 Owa Jawa (Hylobates moloch) - Javan Silvery Gibbon, merupakan salah satu jenis primata endemik di Indonesia yang hanya tinggal di hutan-hutan pulau Jawa khususnya di Jawa bagian barat dan sebagian Jawa Tengah. Makanannya berupa buah, daun dan serangga. Satu keluarga owa jawa umumnya terdiri dari sepasang induk dan beberapa anak yang tinggal dalam teritori mereka. Nyanyian indah betina owa jawa di pagi hari masih terdengar diantara kabut hutan pegunungan di pulau Jawa. Sayangnya, nyanyian mereka akan hilang selamanya apabila tekanan terhadap kehidupan mereka di alam tidak pernah berhenti.
Dalam daftar satwa terancam (IUCN-species threatened red list), owa jawa termasuk kategori terancam punah (endangered species). Kehidupan mereka di alam semakin mengkhawatirkan karena kehilangan habitat alami hingga mencapai 96%. Beberapa hasil survei perkiraan populasi di alam, tersisa lebih kurang 4,000 individu yang berada di hutan-hutan konservasi dan terdapat populasi kecil yang terpisah dan terisolasi yang membuka peluang bagi mereka mengalami kepunahan. Ancaman kepunahan semakin tinggi dengan dengan adanya praktek perburuan dan perdagangan dimana lebih dari 100 individu owa jawa telah dijadikan sebagai satwa peliharaan (pet). Fakta inilah yang mendorong Yayasan Owa Jawa untuk melakukan tindakan nyata dalam upaya penyelamatan satwa ini dari kepunahan. Kini sebagian dari mereka yang pernah menjadi satwa peliharaan tersebut telah diselamatkan dan diupayakan untuk dapat kembali ke alam melalui program rehabilitasi di Javan Gibbon Center, yang merupakan salah satu program Yayasan Owa Jawa.

Untuk melakukan kegiatan ex-situ sebagai upaya konservasi terhadap owa jawa, perlu adanya beberapa kerjasama antar pihak yang memiliki perhatian akan kelestarian owa jawa. Program perencanaan dalam usaha konservasi owa jawa telah beberapa kali dilakukan dalam pertemuan-pertemuan para ahli primata tingkat nasional maupun international. Rangkaian berbagai pertemuan-pertemuan tersebut yang merupakan dasar atau cikal bakal terbentuknya Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa atau yang lebih dikenal sebagai Javan Gibbon Center (JGC).

Pada bulan Mei 1994 di Cisarua Bogor, berkumpul lebih dari 50 ahli primata dalam suatu lokakarya PHVA (Population and Habitat Viability Analysis) untuk owa jawa dan surili yang difasilitasi oleh  IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group. Lokakarya tersebut merupakan kerjasama antara para ahli primata Indonesia, baik dari kalangan pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga konservasi ex-situ, maupun lembaga international seperti  Fota Wildlife Park, Silvery Gibbon Project-Perth Zoo, Conservation International, European Endangered Species Program, American Zoo and Aquarium Association, and the London, Twycross, Paignton, Edinburgh, Duisburg, Minnesota and Milwaukee County Zoos  (Supriatna et al, 1994). Rekomendasi dari lokakarya tersebut antara lain perlu adanya studbook untuk owa jawa, persiapan manual penanganan owa jawa di ex-situ, pelatihan bagi lokal staf untuk kesehatan dan tehnik penanganan satwa, pengembangan populasi dalam penangkaran, dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap konservasi owa jawa dan habitatnya (Supriatna et al, 1994).

Menindaklanjuti hasil lokakarya PHVA tersebut, pada bulan Agustus tahun 1997  telah diadakan lokakarya untuk membahas khusus tentang penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa, yang hasilnya merupakan pengalaman-pengalaman dari para peneliti mengenai populasi, penyakit owa jawa, serta pengalaman dari berbagai pihak yang melakukan konservasi ex-situ bagi keluarga owa pada umumnya. Spesifik topik dalam diskusi meliputi kriteria pemilihan lokasi, prosedur karantina dan kebijakan dokter hewan, disain kandang, nutrisi, sumber populasi, rehabilitasi dan program pendidikan dan penelitian. Para ahli dalam pertemuan tersebut mendukung diadakannya pusat penyelamatan dan rehabilitasi untuk owa jawa sebagai upaya konservasi ex-situ (Supriatna dan Manullang, 1997). Selanjutnya upaya mewujudkan program penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa, juga diperkuat oleh para ahli primata didalam kongres IPS (International Primatological Society) ke 18 yang berlangsung pada tahun 2001 di Adelaide, Australia, yang kemudian melahirkan kerjasama antara Conservation International Indonesia dan Silvery Gibbon Project-Perth Zoo dalam program penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa di Indonesia.

Owa Jawa Berhasil Melahirkan di JGC

diposting oleh yayasan Owa jawa Rabu, 22 Desember 2010 11:47

 Pertama kalinya, pasangan owa Jawa (Hilobates moloch) yang di rehabilitasi di Lokasi The Javan Gibbon Centre, atau Pusat Rehabilitasi Owa Jawa, yang terletak di Bodogol, Taman Nagional Gunung Gede Pangrango, Bogor, melahirkan.

Jabang bayi owa yang ditunggu tersebut  lahir dengan selamat hari Rabu, 21 Juli 2010 pukul 4 dini hari.

Seperti diketahui, owa jawa merupakan satwa langka yang dilindungi dan mempunyai perilaku berpasangan setia seumur hidup (monogamy), dan tidak mudah memasangakan owa jawa di habitat bukan aslinya.

Bayi owa jawa yang baru lahir tersebut berasal dari pasangan owa jawa yang saat ini masih dalam proses rehabilitasi sebelum dilepasliarkan ke habitat alaminya. Pasangan owa jawa yang menjadi induk dari bayi  tersebut adalah diberi nama Jowo dan Bombom.  Kedua pasangan ini sebelum berada di JGC, mereka berasal dari Pusat Perawatan Satwa (PPS) Cikananga yang sebelumnya menjadi peliharaan masyarakat di Bandung.

Jowo berkelamin jantan diperkiran lahir pada tahun 2002 dan Bombon berkelamin betina dengan perkiraan lahir pada tahun 1998. Mereka berada di JGC sejak bulan April 2008. “Pada saat berada di JGC mereka belum menjadi pasangan, dan di JGC lah mereka dipertemukan melalui proses penjodohan,” ujar Anton Ario, Program Manager Conservation International yang juga bertugas mengawasi dan sebagai ahli primata owa Jawa di JGC.

Anton menjelaskan, kedua pasangan ini dijodohkan di kandang pada bulan Juni 2008, mereka resmi menjadi pasangan setelah diketahui saling memiliki kecocokan. Sejak itulah mereka menempati kandang pasangan di JGC. Selama berada dalam kandang pasangan, mereka terus menunjukkan peningkatan ikatan dalam berhubungan, hal tersebut ditandai dengan terjadinya kopulasi sehingga menghasilkan pembuahan.

Sejak bulan Januari 2010, diketahu Bombom tidak lagi mengalami menstruasi, dan setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter hewan JGC, Bombom dinyatakan bunting. Pengawasan terhadap Bombom terus ditingkatkan oleh staf JGC setelah mengetahui kebuntingan Bombom. 

“Perlu pengawasan mengingat owa Jawa termasuk satwa yang memiliki sensitifitas tinggi akan gangguan. Terhitung 7 bulan masa kehamilan, akhirnya terjadi Bombom melahirkan di pusat  rehabilitasi (JGC).” Hal ini tentu menggembirakan,   setelah terjadi dua kali kegagalan kelahiran oleh 2 individu betina lainnya di JGC yang mengalami keguguran.” Tambah Jatna Supriatna, ahli primata yang juga sebagai Vice President Conservation International.

JGC  bekerjasama dengan Yayasan Owa Jawa (Javan Gibbon Foundation),  Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Conservation International serta Margot Marsh Foundation, menyelenggarakan rehabilitasi dalam upaya mengembalikan owa Jawa yang di sita dari masyarakat, untuk dikembalikan ke alam.
Kini, satu keluarga owa Jawa telah terbentuk. Apabila bayi tersebut telah memasuki usia 1 tahun, kemungkinan besar keluarga baru tersebut akan dilepasliarkan untuk memulai kehidupan baru di habitat alami.

Habitat dan Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat

Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch Audebert 1797) merupakan salah satu jenis primata endemik yang dimiliki Indonesia, dengan wilayah penyebaran yang meliputi Jawa Barat dan Jawa Tengah.  Berdasarkan kategori IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) tahun 2000, Owa Jawa terancam punah dengan kategori kritis (critically endangered), artinya menghadapi resiko kepunahan sangat tinggi di alam.  Hal ini terjadi karena populasi Owa Jawa di alam mengalami tekanan akibat degradasi habitatnya (Eudey et al. 2000).
Tingkat keterancaman yang tinggi dari owa jawa di alam menyebabkan perlunya pengelolaan berdasarkan data yang lengkap terhadap habitat alami  dan populasi owa jawa yang ada. Habitat Owa Jawa merupakan kawasan hutan tropika dari dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian 0 – 1.600 m (Massicot 2001; CI Indonesia 2000).  Beberapa penelitian terdahulu (Kappeler 1984; Asquith et al. 1995; Nijman & Sozer 1995; Nijman & van Balen 1998; CI Indonesia 2000; Nijman 2004) telah mengidentifikasi beberapa kawasan hutan di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang merupakan habitat alami Owa Jawa, dimana sebagian besar di antaranya merupakan kawasan konservasi.  Salah satu habitat alami bagi Owa Jawa di Provinsi Jawa Barat adalah kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP).
Sebagai kawasan konservasi, TNGP merupakan habitat alami yang tepat dan aman bagi Owa Jawa mengingat kawasan ini mendapatkan perlindungan dan pengelolaan khusus sebagai taman nasional dan memiliki sumber daya yang memadai untuk mendukung populasi Owa Jawa yang ada.  Untuk itu, pengelolaan TNGP perlu dilakukan dengan cermat dimana keputusan manajemen diambil berdasarkan data dan informasi yang komperehensif, terkini dan akurat.  Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan populasi dan habitat Owa Jawa di TNGP.
Adapun tujuan  penelitian ini adalah untuk: (1) Menganalisis habitat Owa Jawa; (2) Mengkaji data dan informasi mengenai populasi Owa Jawa; (3) Mengkaji permasalahan habitat dan populasi yang berpengaruh terhadap keberadaan Owa Jawa di TNGP.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Propinsi Jawa Barat, yang meliputi 7 resort, yaitu: Resort Cisarua, Cimungkat, Bodogol, Situ Gunung, Selabintana, Gunung Putri, dan Cibodas. Pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan September 2007 sampai dengan Desember 2007.
Pengumpulan dan Analisis Data
Karakteristik Habitat
Analisis Vegetasi
Plot-plot penelitian ditempatkan pada beberapa resort yang mewakili seluruh wilayah pengelolaan yang ada serta dibagi berdasarkan zona pemanfaatan dan zona inti.  Pengumpulan data vegetasi di kawasan hutan TNGP dilakukan dengan menggunakan metode jalur berpetak (Soerianegara dan Indrawan 1998).
Pada lokasi penelitian diletakkan sebanyak 66 plot sampel, 33 pada zona inti dan 33 pada zona pemanfaatan. Pencatatan jenis vegetasi meliputi berbagai tingkat pertumbuhan: semai, pancang, tiang, pohon. Identifikasi dan analisa pohon pakan dan pohon tidur juga dilakukan di sepanjang jalur penelitian.
Selanjutnya, dari data tersebut dihitung Indeks Nilai Penting (INP), Keanekaragaman Jenis Vegetasi (H’), dan Kemerataan Jenis Vegetasi (J’).  INP untuk vegetasi tingkat pancang, tiang, dan pohon merupakan penjumlahan dari nilai-nilai kerapatan relatif (KR), dominasi relatif  (DR), dan frekuensi relatif (FR) atau INP = KR + FR + DR, sedangkan untuk vegetasi tingkat semai, INP = KR + FR.
Untuk mengukur keanekaragaman jenis vegetasi akan digunakan pendekatan indeks Keragaman Shannon-Wiener (Krebs 1978; Santosa 1995) dengan persamaan sebagai berikut: H’ = – ∑ Pi (ln Pi) ; dimana : H’ =  indeks Keragaman Shannon-Wiener, Pi =  proporsi jumlah individu ke-i (n) terhadap jumlah individu total (N), yaitu ni/N
Untuk mengukur tingkat kemerataan jenis tumbuhan pada seluruh petak contoh pengamatan akan digunakan pendekatan Indeks Kemerataan Pielou (1975) (Santosa, 1995) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: Dmax = ln S  dan J’ = H’ / Dmax ; dimana Dmax :  dominansi, S :  jumlah jenis, J’ :  nilai evenness (0-1), dan H’ :  indeks keragaman Shannon-Wiener
Karakteristik Populasi
Jalur Pengamatan Populasi
Pengamatan karakteristik populasi Owa Jawa dilakukan melalui survei dengan menggunakan metode jalur (line transect method) pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan sebelumnya. Penentuan lokasi pengamatan dilakukan berdasarkan informasi dari penelitian-penelitian sebelumnya serta informasi petugas Balai dan penduduk lokal, sehingga lokasi penelitian diharapkan mewakili seluruh habitat Owa Jawa di TNGP.
Jalur-jalur pengamatan ditempatkan di setiap lokasi secara acak dengan panjang jalur antara 2 – 3,5 km.  Lebar jalur pengamatan adalah 50 m ke arah kedua sisi jalur atau lebar total 100 m (0,1 km).
Distribusi Populasi
Distribusi populasi Owa Jawa di areal penelitian diperoleh dengan mengolah data perjumpaan yang diperoleh dengan menggunakan GPS receiver, kemudian dipetakan dengan menggunakan program ArcView GIS 3.3.,  Analisis data dilakukan secara deskriptif.
Kepadatan Populasi
Kepadatan populasi Owa Jawa ditentukan dengan menggunakan data jumlah individu dan kelompok Owa Jawa yang ditemukan pada jalur-jalur pengamatan dan dibagi dengan luas jalur pengamatan secara keseluruhan.  Adapun formulanya adalah sebagai berikut:  D= ∑ ind / Ltot, dimana D=Kepadatan (individu/km2), ∑ ind= Jumlah individu suatu jenis (individu), Ltot = Luas total jalur pengamatan (km2), Luas total plot pengamatan (areal penelitian) diperoleh dari: Ltot =       (P)(l)(ul), dimana Ltot =Luas total jalur pengamatan (km2),  P=Panjang jalur (km), l= Lebar jalur (km), u=Jumlah ulangan
Estimasi Populasi
Estimasi populasi Owa Jawa ditentukan dengan mengalikan angka kepadatan individu dan kelompok Owa Jawa yang ditemukan pada jalur-jalur pengamatan (line transect sampling) (Subcommittee on Conservation of Natural Population 1981) dengan luas habitat representative yang telah diperoleh sebelumnya oleh TNGP, yaitu 5.399 ha atau 53,99 km2.  Adapun formulasinya adalah sebagai berikut: P = D.LREP, dimana P=Estimasi populasi (individu), D=Kepadatan populasi (individu / km2), dan LREP=Luas habitat representatif ( 53,99 km2)
Komposisi Kelompok
Komposisi kelompok dirangkum berdasarkan data populasi yang diperoleh pada saat pengamatan populasi Owa Jawa di jalur-jalur pengamatan.  Data yang digunakan adalah jumlah total individu, jumlah jantan dan betina, serta pendugaan kelas umur satwa.  Analisis komposisi kelompok dilakukan secara deskriptif.
Tingkah Laku
Pengamatan dan pengumpulan data aktivitas Owa Jawa dilakukan dengan menggunakan metode scan sampling (Altman 1974) yaitu pencatatan tingkah laku setiap individu kelompok yang menjadi target pengamatan pada interval waktu 5 menit selama 4 jam pada pagi hari dan 4 jam pada sore hari.  Data tingkah laku individu dan kelompok Owa Jawa dianalisis secara deskriptif untuk menjelaskan fenomena yang ditemui selama penelitian dilakukan.
Permasalahan Habitat dan Populasi Owa Jawa di TNGP
Permasalahan habitat dan populasi Owa Jawa di TNGP yang ditemui atau diketahui, baik secara langsung (hasil pengamatan langsung) maupun secara tidak langsung (hasil wawancara dengan para pihak atau dari laporan tertulis) selama kegiatan penelitian dihimpun dan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Habitat
Komposisi Vegetasi
Pada lokasi penelitian di kawasan TNGP ditemukan 121 jenis vegetasi di zona inti dan 103 jenis vegetasi di zona pemanfaatan.  Adapun pada tingkat pohon ditemukan 61 jenis pohon di zona inti dan 59 jenis di zona pemanfaatan.  Jumlah jenis pohon yang lebih banyak ditemukan di zona inti daripada jumlah jenis pohon yang ditemukan di zona pemanfaatan menunjukkan bahwa zona inti di kawasan TNGP merupakan kawasan yang masih belum banyak mengalami gangguan akibat berbagai aktivitas manusia, sehingga jenis-jenis pohon di zona inti ini dapat terjaga kelestariannya.
Jenis pohon yang mendominasi zona inti dan memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi secara berturut-turut adalah sebagai berikut: Schima wallichii (41,88 %), Lithocarpus indutus (26,09 %), Castanopsis javanica (15,50 %), Elaeocarpus pierrei (13,14 %), dan Vernonia arborea (12,92 %).  Jenis pohon yang mendominasi zona pemanfaatan dan memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi secara berturut-turut adalah sebagai berikut: Castanopsis javanica (49,03 %), Schima wallichii (42,23 %), Agathis dammara (29,26 %), Altingia excelsa (16,76 %), Elaeocarpus pierrei (15,35 %).
Pohon di zona inti yang memiliki dominansi terbesar adalah Schima wallichii, yaitu sebesar 3,92 m2/ha dengan dominansi relatif sebesar 16,24 %, sedangkan jenis pohon di zona pemanfaatan yang memiliki dominansi terbesar adalah Castanopsis javanica, yaitu sebesar 6,94 m2/ha dengan dominansi relatif sebesar 22,48 %.
Diketahui ada lima jenis pohon pakan dan satu jenis pohon tidur yang mendominasi zona inti dengan INP tertinggi, yaitu Schima wallichii, Lithocarpus indutus, Castanopsis javanica, Elaeocarpus pierrei, dan Vernonia arborea.  Pada zona pemanfaatan, ada empat jenis pohon pakan dan satu jenis pohon tidur dengan INP tertinggi, yaitu Castanopsis javanica, Schima wallichii, Altingia excelsa dan Elaeocarpus pierrei (pohon pakan) serta Altingia excelsa yang merupakan pohon tidur Owa Jawa.  Dominansi pohon pakan dan pohon tidur Owa Jawa di zona inti dan di zona pemanfaatan mengindikasikan bahwa kondisi habitat Owa Jawa di kawasan TNGP masih baik.
Dilihat dari keanekaragaman jenis pohon yang terdapat di kawasan TNGP berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’), maka diketahui bahwa keanekaragaman jenis pohon pada zona inti (3,60), lebih tinggi dibandingkan zona pemanfaatan (3,29) (Tabel 1).  Semakin tinggi keanekaragaman jenis vegetasi pada suatu kawasan, maka semakin stabil pula kondisi vegetasi di kawasan tersebut.  Demikian pula sebaliknya, semakin rendah keanekaragaman jenis vegetasi pada suatu kawasan, maka semakin rentan pula kondisi vegetasi di kawasan tersebut.
Tabel 1.  Parameter Vegetasi Tingkat Pohon sebagai Habitat Owa Jawa di TNGP
Zona Parameter Nilai
Zona Inti Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
Indeks Kemerataan Jenis
61 3,60
0,88
Zona Pemanfaatan Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
Indeks Kemerataan Jenis
59 3,29
0,81
Indeks Kemerataan Jenis Pohon (J’) yang dimiliki oleh zona inti (0,88) lebih tinggi dibandingkan dengan zona pemanfaatan (0,81)(Tabel 1).  Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis pohon pada zona inti lebih merata penyebarannya dibandingkan dengan zona pemanfaatan.  Jenis pepohonan yang menyebar merata dalam suatu kawasan membuat kawasan tersebut lebih stabil sebagai habitat Owa Jawa, utamanya pada jenis-jenis yang merupakan pohon pakan dan pohon tidur.
Pohon Pakan dan Pohon Tidur Owa Jawa
Diketahui bahwa pada kawasan TNGP terdapat 44 jenis pohon pakan Owa Jawa yang merupakan anggota dari 24 Famili.  Bagian vegetasi yang dijadikan makanan Owa Jawa adalah daun muda, buah, dan bunga.  Pada zona inti TNGP terdapat 34 jenis pohon pakan sedangkan pada zona pemanfaatan terdapat 33 jenis.
Pada lokasi penelitian terdapat 17 jenis vegetasi yang merupakan tempat tidur Owa Jawa, yang tergolong ke dalam 7 familia.  Pada zona inti TNGP terdapat 14 jenis pohon tidur sedangkan pada zona pemanfaatan terdapat 12 jenis.
Permudaan Vegetasi
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa jumlah jenis vegetasi di zona inti pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang secara berturut-turut adalah 65 jenis, 82 jenis, dan 45 jenis.  Sedangkan jumlah jenis vegetasi di zona pemanfaatan pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang secara berturut-turut adalah 62 jenis, 63 jenis, dan 39 jenis.  Lebih banyaknya jumlah jenis vegetasi pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona inti apabila dibandingkan dengan jumlah jenis vegetasi pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona pemanfaatan, menunjukkan bahwa kondisi vegetasi di zona inti lebih stabil daripada kondisi vegetasi di zona pemanfaatan.  Hal tersebut dikarenakan lebih kecilnya tingkat gangguan terhadap vegetasi yang terdapat di zona inti daripada tingkat gangguan terhadap vegetasi yang terdapat di zona pemanfaatan.
Lebih stabilnya kondisi vegetasi yang terdapat di zona inti daripada kondisi vegetasi yang terdapat di zona pemanfaatan juga dapat terlihat dari nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona inti yang lebih besar apabila dibandingkan dengan nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona pemanfaatan.
Berdasarkan hasil penelitian juga dapat diketahui nilai indeks kemerataan jenis vegetasi pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang di zona inti secara berturut-turut adalah sebesar 0,89; 0,91; dan 0,93.  Sedangkan nilai indeks kemerataan jenis vegetasi pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang di zona pemanfaatan secara berturut-turut adalah sebesar 0,91; 0,92; dan 0,92.  Secara keseluruhan, nilai indeks kemerataan jenis vegetasi pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi baik di zona inti maupun di zona pemanfaatan cenderung tinggi.  Nilai indeks kemerataan jenis vegetasi yang cenderung tinggi ini mengindikasikan bahwa keseimbangan komunitas jenis di kawasan tersebut yang berfungsi sebagai habitat Owa Jawa cenderung seimbang dan stabil.
Berdasarkan hasil penelitian ini, Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa vegetasi sumber pakan dan tempat tidur Owa Jawa tersedia pada semua tingkat permudaan, hal tersebut menunjukan regenerasi pohon pakan dan pohon tidur yang cukup baik sehingga dapat menjamin pemenuhan kebutuhan hidup Owa Jawa di TNGP.
Karakteristik Populasi
Distribusi Populasi
Keberadaan Owa Jawa dapat diidentifikasi di seluruh lokasi penelitian, baik pada zona inti maupun zona pemanfaatan, kecuali pada resort Selabintana dan Gunung Putri.  Dari 18 jalur yang diamati, Owa Jawa dapat diidentifikasi pada 11 jalur sedangkan pada 7 jalur lainnya tidak teridentifikasi.  Tidak teridentifikasinya Owa Jawa pada beberapa jalur, utamanya  di wilayah Selabintana dan Gunung Putri, diduga disebabkan oleh berbagai hal seperti: (1) perambahan kawasan, (2) aktivitas manusia ataupun pengunjung yang meningkat serta (3) adanya perubahan wilayah jelajah dari kelompok yang sebelumnya ada.  Hasil pengamatan di lokasi menunjukkan bahwa distribusi Owa Jawa tersebar pada beberapa ketinggian yaitu mulai ketinggian 700 sampai 1.600 m dpl (Situ Gunung, Cimungkat, Bodogol, Cisarua, Cibodas).  Frekuensi tertinggi perjumpaan Owa Jawa adalah di ketinggian 700 – 806,4 m dpl pada wilayah Bodogol.
Kepadatan Populasi
Kepadatan populasi Owa jawa secara keseluruhan di lokasi penelitian adalah 6,43 individu/km2 dan 1,93 kelompok/km2.  Kepadatan tertinggi pada tingkat resor terdapat pada resor Bodogol, yaitu 17,08 individu/km2 dan 5,00 kelompok/km2.  Kepadatan Owa Jawa pada Zona Inti, untuk individu 7,14 individu/km2 dan untuk kelompok 2,30 kel/km2, lebih tinggi dibandingkan dengan Zona Pemanfaatan, untuk individu 5,69 individu/km2 dan untuk kelompok 1,54 kelompok/km2.
Estimasi Populasi
Berdasarkan hasil perhitungan kepadatan populasi Owa Jawa di TNGP secara keseluruhan (individu 6,43 individu/km2 dan kelompok 1,93 kelompok/km2), maka estimasi populasi Owa Jawa di TNGP adalah 347 individu dan 105 kelompok.
Ukuran dan Komposisi Kelompok
Ukuran kelompok Owa Jawa berada pada kisaran 2 – 5 individu/kelompok.    Kelompok berukuran 2 individu dan 4 individu mempunyai jumlah terbanyak (masing-masing 4 kelompok) dengan persentase 30,77 %.  Tidak ada kelompok berukuran lebih dari 5 individu yang ditemui selama penelitian.  Rata-rata ukuran kelompok di TNGP adalah 3,23 individu/kelompok secara keseluruhan, 2,88 individu/kelompok untuk zona Inti dan 3,80 individu/kelompok untuk zona Pemanfaatan.  Berdasarkan kelompok umur, induk jantan dan induk betina mempunyai persentase terbesar dibandingkan muda dan anak, masing-masing sebesar 30,95 % (atau 1,86 individu per lokasi).  Berdasarkan lokasi, persentase individu terbesar ada di Bodogol sebesar 47,62 %.  Ada 13 kelompok Owa Jawa yang ditemui pada 5 resor di TNGP.
Permasalahan Habitat dan Populasi Owa Jawa di TNGP
Beberapa permasalahan yang terjadi di dalam kawasan dan mengancam keberadaan habitat dan populasi Owa Jawa di TNGP diantaranya adalah : (1) Illegal Logging di dalam kawasan hutan TNGP ; (2) Perambahan kawasan hutan TNGP ; (3) Aktivitas pengunjung di dalam dan sekitar kawasan TNGP; (4) Perburuan liar di kawasan hutan TNGP; (5) Pengambilan kayu bakar oleh masyarakat sekitar; (6) Pengambilan hasil hutan bukan kayu dari dalam kawasan TNGP.
Rekomendasi Pengelolaan
Pengelolaan Owa Jawa mutlak dilakukan mengingat Owa Jawa merupakan salah satu jenis primata endemik yang sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungannya.  Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dalam pengelolaan Owa Jawa di TNGP dapat direkomendasikan tiga hal utama kegiatan pengelolaan yang dapat menjamin kelestarian habitat dan populasi Owa Jawa di TNGP, yaitu: (1) Pengelolaan kawasan TNGP, yang meliputi kegiatan restorasi kawasan yang terdegradasi dan terfragmentasi, restorasi kawasan yang bervegetasi sejenis agar dapat kembali pada kondisi aslinya, peningkatan pengamanan kawasan, pelaksanaan pemantauan rutin/monitoring terhadap populasi Owa Jawa; (2) Pengelolaan masyarakat sekitar TNGP yang dilakukan melalui pengembangan daerah penyangga (buffer zone) di luar kawasan TNGP dengan tipe penyangga hutan dan tipe penyangga ekonomi; dan (3) Pengelolaan pengunjung TNGP, yang meliputi kegiatan pengaturan pengunjung yang lebih ketat, pembinaan terhadap pengunjung mengenai tata cara beraktivitas yang ramah lingkungan di dalam kawasan, dan pengalihan jalur-jalur wisata yang berada pada daerah jelajah Owa Jawa ke lokasi lain.
Simpulan
  1. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) merupakan habitat yang sesuai bagi populasi Owa Jawa, karena hutan di kawasan tersebut memiliki tajuk yang relatif tertutup, tajuk pohon memiliki percabangan horizontal, dan ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur yang relatif memadai untuk menunjang keberadaan populasi Owa Jawa.
  2. Estimasi populasi Owa Jawa di TNGP adalah 347 individu .
  3. Pada umumnya, kepadatan populasi Owa Jawa di zona inti lebih tinggi daripada di zona pemanfaatan.  Lebih rendahnya kepadatan populasi Owa Jawa di zona pemanfaatan disebabkan oleh aktivitas manusia serta fragmentasi habitat.  Adapun kepadatan tertinggi populasi Owa Jawa dapat dijumpai di wilayah Bodogol.
  4. Keberadaan populasi Owa Jawa di TNGP tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas habitat, tetapi dipengaruhi pula oleh aktivitas manusia di dalamnya.
Saran
  1. Perlu adanya kajian terhadap lokasi -lokasi yang sebelumnya terdapat populasi Owa Jawa namun pada saat ini tidak ditemukan lagi populasi Owa Jawa tersebut (khususnya Resort Selabintana) agar dapat diketahui faktor-faktor penyebabnya, sehingga dapat digunakan untuk mengantisipasi hal tersebut di lokasi lainnya.
  2. Penelitian lanjutan tentang habitat preferensial Owa Jawa dan pola penggunaan ruang dan waktu bagi Owa Jawa perlu untuk segera dilakukan agar dapat menunjang pengelolaan Owa Jawa di kawasan konservasi, khususnya di kawasan TNGP.
  3. Perlu dilakukan pengamatan populasi Owa Jawa secara kontinyu (time series) dan perlu dilakukan penyusunan database populasi Owa Jawa, sehingga dapat dipantau perubahan populasi Owa Jawa yang terjadi.
  4. Perlu adanya komitmen dan kerjasama secara terpadu diantara stakeholders yang terkait dengan kegiatan pelestarian Owa Jawa agar kegiatan pelestarian Owa Jawa tersebut dapat direncanakan dan diimplementasikan dengan tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Altman J. 1974. Observational Study of Behavior : Sampling Methods. Illinois, USA : Alle Laboratory of Animal Behavior.
Asquith NM.  1995. Javan Gibbon Conservation: Why habitat protection is crucial. Tropical Biodiversity 3:63-65.
[CI Indonesia] Conservation International Indonesia. 2000. Javan gibbon website. http://www.conservation.or.id/javangibbon.
Eudey A, Members of the Primate Specialist Group.  2000. Hylobates moloch. In: IUCN 2006. 2006 IUCN Red List of Threatened Species. <www.iucnredlist.org>. Downloaded  30 August 2007.
[IUCN] World Conservation Union.  2000.  Red List: Criterias and Categories (ver. 2.3.).  Website : http://www.iucnredlist.orgDownloaded: Maret 2007.
Kappeler M. 1984. Diet and Feeding Behaviour of the Moloch gibbon. Diacu dalam : Preuschoft et al. (eds): Evolutionary and Behavioural Biology. Scotland : Edinburgh University Press.
Krebs J.C. 1978. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abudance. Harper and Row Publisher.
Massicot P. 2006. Animal info – Silvery gibbon. http://www.animalinfo.org/ species/primate/hylomolo.htm. Downloaded: 8 Juni 2007.
Nijman V, Sozer R. 1995. Recent observations of the Grizzled leaf monkey (Presbytis comata) and an extension of the range of the javan gibbon (Hylobates moloch) in Central Java. Tropical Biodiversity  3(1):45-48.
Nijman V, van Balen B.  1998. A faunal survey of Dieng Mountains, Central Java, Indonesia: Distribution and conservation of endemic primate taxa. Oryx 32:145.
Nijman V. 2004. Conservation of the Javan gibbon Hylobates moloch: population estimates, local extinctions, and conservation priorities. The Raffles Bulletin of Zoology 52(1):271-280.
Santosa Y. 1995. Konsep Ukuran Keanekaragaman Hayati di Hutan Tropika. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor : Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Subcommittee on Conservation of Natural Population.  1981. Techniques For the Study of Primate Population Ecology. Washington, DC: National Academic Press.

Minggu, 21 April 2013

Ekologi Hewan UTS

 

SOAL

1.        Konsep waktu-suhu yang berlaku pada hewan  poikilotermik sangat berguna aplikasinya dalam pengendalian hama pertanian, khususnya dari golongan serangga. Jelaskan arti konsep waktu secara singkat, dan berikan contoh ulasannya terkait dengan kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di Probolinggo Tahun 2010.
2.        Jelaskan pemanfaatan konsep kelimpahan, intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan dalam kaitannya dengan penetapan hewan langka!
3.        Jelaskan aplikasi konsep interaksi populasi, khususnya parasitisme dan parasitoidisme, dalam pengendalian biologis. Berikan contohnya!
4.        Nilai sikap dan karakter apa yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan? Berikan contoh riilnya!
5.        Uraikan satu contoh pemanfaatan indikator hewan untuk monitoring kondisi lingkungan secara mendetail, mulai dari jenis, prinsip dan praktik pemanfaatannya!
6.        Apakah manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas konservasi? Berikan salah satu contoh hewan langka, lakukan kajian tentang relungnya. (dalam satu kelas, hewan yang dikaji tidak boleh sama)!

JAWABAN
  1. Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang dominan mempengaruhi kehidupan hewan. Suhu lingkungan memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada hewan. Adanya variasi suhu lingkungan memiliki peranan potensial dalam menentukan proses kehidupan, penyebaran serta kelimpahan populasi hewan. Dari sudut pandang ekologi, suhu lingkungan sangat penting terutama bagi hewan poikiloterm untuk aktivitas dan pengaruh terhadap laju perkembangannya. Sehingga, hewan poikiloterm memerlukan kombinasi faktor suhu lingkungan dan faktor waktu untuk pertumbuhannya (Ainul, 2013). Hewan poikiloterm tidak dapat tumbuh dan berkembang jika suhu lingkungannya berada diatas atau dibawah batas ambangnya, karena suhu tubuh menentukan kerja enzim enzim yang membantu metabolisme di dalam tubuh hewan tersebut. Dalam suatu kisaran suhu tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu lingkungan terdapat hubungan linier. Hewan-hewan poikiloterm memiliki lama waktu perkembangan yang berbeda-beda. Dengan kata lain, pernyataan berapa lamanya waktu perkembangan selalu perlu disertai dengan pernyataan pada suhu berapa berlangsungnya proses perkembangan itu, karena pada hewan poikiloterm, waktu (berlangsungnya proses perkembangan) merupakan fungsi dari suhu lingkungan, maka kombinasi waktu-suhu yang seringkali dinamakan waktu fisiologis itu mempunyai arti penting. Contoh: Apabila diketahui, misalnya suhu ambang terjadinya perkembangan pada sejenis belalang adalah 16oC dan pada suhu 20oC (yaitu 4oC di atas suhu ambang) lamanya waktu yang diperlukan untuk menetas hanya 17,5 hari, maka pada suhu 30oC (yaitu 14oC di atas suhu ambang) lama waktu yang diperlukan untuk perkembangan telur dari jenis belalang untuk menetas adalah 5 hari (Yayuk, 2012). Aplikasi konsep waktu–suhu sangat berguna untuk pengendalian hama pertanian karena waktu-suhu penting artinya untuk memahami hubungan antara waktu dengan dinamika populasi hewan poikiloterm. Dengan mengetahui konsep waktu-suhu maka dapat mengetahui atau memprediksi kapan akan terjadi peledakan populasi. Peledakan populasi itu sendiri dapat terjadi jika suatu spesies dimasukkan ke dalam suatu daerah yang baru, dimana terdapat sumber-sumber yang belum dieksploitir oleh manusia dan tidak ada interaksi negatif (misalnya predator, parasit), dimana sebenarnya predator dan parasit memainkan peranan dalam menahan peledakan populasi dan memang menekan laju pertumbuhan populasi. Konsep waktu suhu pada pertanian digunakan untuk pengendalian hama dengan mempercepat atau menghambat laju perkembangannya. Pengendalian tersebut dapat dilakukan pengendalian mekanis dan fisik. Pengendalian fisik adalah tindakan pengendalian yang dilakukan dengan menggunakan suhu tinggi atau suhu rendah. Teknik pengendalian ini bertujuan mengurangi populasi hama dengan cara mengganggu fisiologi serangga atau mengubah lingkungan menjadi kurang sesuai bagi hama. Peledakan populasi serangga dalam jumlah besar yang terjadinya hampir tiap tahun pada waktu yang berbeda beda, merupakan suatu fenomena alam. Kejadian tersebut bila ditelaah lebih lanjut akan terlihat bahwa terjadinya peledakan populasi itu berdasarkan pada jumlah hari derajat yang sama di atas suhu ambang perkembangan jenis serangga tersebut. Dengan menggunakan konsep waktu-suhu yang diwujudkan dalam bentuk jumlah hari-derajat, maka fenomena alam akibat proses perkembangan seperti peledakan populasi dapat diramalkan kapan akan terjadi. Dengan mengetahui jumlah hari-derajat perkembangan suatu jenis serangga hama, maka akan dapat ditentukan lebih tepat, kapan waktu dan teknik pemberantasan hama tersebut, karena memberantas telur atau pupa berbeda dengan memberantas hewan dewasanya.  Salah satu contoh peledakan populasi serangga yaitu pada kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di Probolinggo Tahun 2010. berdasarkan jurnal ulat bulu tanaman mangga di probolinggo diidentifikasi bahwa jenis ulat bulu yang menyerang tanaman mangga di probolinggo lebih dari satu jenis, tetapi semuanya tergolong ke dalam famili lymantriidae ordo lepidoptera genus lymantria adalah salah satu hama utama tanaman mangga di asia tenggara dan india.  Keakuratan informasi tentang jenis ulat bulu yang menyerang tanaman mangga sangat penting dalam pengambilan keputusan untuk menetapkan cara pengendalian yang tepat (yuliantoro, 2012). Pada waktu tertentu aktivitas serangga tinggi, akan tetapi pada suhu yang lain akan berkurang (menurun). Pada umunya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum 150C, suhu optimum 250C dan suhu maksimum 450C. Pada suhu yang optimum kemampuan serangga untuk melahirkan keturunan besar dan kematian (mortalitas) sebelum batas umur akan sedikit. Kasus meledaknya ulat bulu di probolinggo terlihat bahwa peledakan tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh suhu. Jika dikaitkan dengan konsep waktu-suhu, maka dapat terlihat bahwa pada suhu optimum saja ulat akan berkembang biak dengan jumlah yang besar apalagi jika suhu semakin tinggi hingga berada dibawah ambang batas maksimum, Dapat dibayangkan bahwa ulat tersebut berkembang biak akan lebih besar lagi dan melebihi suhu optimumnya. Semakin bertambahnya suhu tersebut, maka perkembangbiakan ulat bulu semakin besar pula sampai tidak terkontrol dan terjadilah peledakan populasi. Bertambahnya suhu tersebut dapat terlihat karena curah hujan di Probolinggo saat itu  sedang tinggi. Menurut Gubernur Jatim, H Soekarwo (2011), menyatakan bahwa adanya fenomena ulat bulu di Probolinggo itu lebih karena factor cuaca. Artinya, curah hujan yang selama ini cukup tinggi membuat daun di sekitar pohon mangga membusuk dan menyebabkan munculnya organisme baru, seperti larva dan ulat. Sehingga, pihaknya memerintahkan penanganannya pada Dinas Pertanian Jatim untuk mengambil langkah pencegahan agar wabah tak terus berkembang. Oleh karena itu, dengan memanfaatkan konsep waktu-suhu maka dapat diprediksi kapan akan terjadi peledakan populasi ulat bulu seperti kasus di Probolinggo di waktu yang berbeda dengan melihat kisaran waktu dan suhu lingkungan ulat bulu tersebut.
  2. Kerapatan populasi merupakan ukuran populasi dalam hubungannya dengan satuan ruang, biasanya dinyatakan dengan banyaknya individu atau biomasa populasi persatuan luas atau volume yang disebut dengan kelimpahan populasi (Vivi, 2012). Tinggi rendahnya jumlah individu populasi suatu spesies hewan menunjukkan besar kecilnya ukuran populasi atau tingkat kelimpahan populasi itu. Area suatu populasi tidak dapat ditentukan batasannya secara pasti, sehingga kelimpahan (ukuran) populasi pun tidak mungkin dapat ditentukan. Kelimpahan populasi suatu spesies mengandung dua aspek yang berbeda, yaitu aspek intensitas dan aspek prevalensi. Intensitas menunjukkan aspek tinggi rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies, sedangkan prevalensi menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam konteks daerah yang lebih luas. Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi (=prevalen) dapat lebih sering dijumpai dan spesies yang prevalensinya rendah, yang daerah penyebarannya terbatas (terlokalisasi) hanya ditemui di tempat tertentu. Dispersi merupakan merupakan pola penjarakan antar individu dalam perbatasan populasi. Dispersi memiliki beberapa pola penjarakan yaitu random, bergerombol dan seragam. Pola dispersi bergerombol yaitu individu-individu hidup mengelompok dalam topok. Pola disperse seragam atau uniform yaitu pola berjarak sama diakibatkan dari interaksi langsung antara individu-individu dalam populasi. Pola dispersi acak yaitu penjarakan yang tidak bisa diprediksi, posisi setiap individu tidak bergantung pada individu lain. Frekunditas adalah laju reproduksi aktual suatu organisme atau populasi yang diukur berdasarkan jumlah gamet, biji, ataupun propagula aseksual. Dalam bidang demografi, frekunditas adalah kapasitas reproduksi potensial suatu individu ataupun populasi. Frekunditas berada dibawah kontrol genetik maupun lingkungan dan merupakan ukuran utama kebugaran biologi suatu spesies. Kelulushidupan hewan adalah perbandingan antara jumlah individu yang hidup pada akhir percobaan dengan jumlah individu yang hidup pada awal percobaan. Kelulushidupan juga merupakan peluang hidup dalam suatu saat tertentu. Faktor yang mempengaruhinya adalah biotik (kompetitor, parasit, umur, kepadatan populasi, dan kemampuan adaptasi) dan abiotik (sifat fisika dan sifat kimia dari lingkungan). Pemanfaatan konsep kelimpahan, intensitas dan prevalensi, dispersi, frekunditas, dan kelulushidupan pada hewan langka dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kelimpahan hewan tersebut, intensitas dan prevalensinya, sehingga dapat diketahui pola-pola dispersi atau perjarakan hewan langka tersebut berkaitan dengan frekunditas (reproduksi) hewan langka dalam suatu populasi.
  3. Dalam suatu populasi terjadi beberapa interaksi antar spesies yang hidup bersama, baik interaksi yang terjadi bersifat positif ataupun negative. Antar spesies yang hidup dalam suatu komunitas memiliki rasa saling membutuhkan satu sama lain dan juga hidup saling melengkapi sehingga sangat memungkinkan banyak interaksi-interaksi yang terjadi  diantara mereka. Parasitisme merupakan salah satu bentuk interaksi antar spesies dalam suatu populasi. Parasitisme adalah hubungan antar spesies yang salah satu spesiesnya dirugikan oleh individu dari spesies lain. Interaksi ini bersifat negative karena merugikan salah satu dari kedua spesies. Umumnya parasitisme terjadi karena keperluan nutrisi dan bersifat spesifik. Ukuran parasit biasanya lebih kecil dari inangnya. Terjadinya parasitisme memerlukan kontak secara fisik maupun metabolik serta waktu kontak yang relatif lama. Contohnya adalah bakteri Bdellovibrio yang memparasit bakteri E. coli. Aplikasi konsep interaksi ini memiliki peranan untuk pengendalian biologis. Menurut Odum (1993), parasit-parasit ini memiliki peranan didalam menahan serangga herbivore pada kepadatan yang rendah, tetapi mereka dapat tidak efektif apabila populasi inang meledak atau “lolos” dari kendali yang tergantung pada kepadatan. Dengan memanfaatkan beberapa bakteri untuk pengendalian, sehingga bentuk interaksi ini dapat dijadikan sebagai bentuk pengendalian biologis. Parasitoidisme merupakan bentuk interaksi yang bersifat negative seperti interaksi parasitisme. Parasitoid adalah sekelompok insect yang dikelompokkan dengan dasar perilaku bertelur betina dewasa dan pola perkembangan larva selanjutnya. Terutama untuk insect dari ordo Hymenoptera, dan juga meliputi banyak Diptera. Mereka hidup bebas pada waktu dewasa, tetapi betinanya bertelur di dalam, pada atau dekat insect lain. Larva parasitoid berkembang di dalam (atau jarang pada) individu inang yang masih tingkat pre-dewasa. Pada awalnya hanya sedikit kerusakan yang tampak ditimbulkan terhadap inangnya, tetapi akhirnya hampir dapat mengkonsumsi seluruh inangnya dan dengan demikian makan dapat membunuh inang tersebut sebelum atau sesudah stadium kepompong (pupa). Jadi parasitoid dewasa, bukan inang dewasa yang akan muncul dari kepompong. Sering hanya satu parasitoid yang berkembang dari tiap inang, tetapi pada beberapa kejadian beberapa individu hidup bersama dalam satu inang. Jelasnya parasitoid hidup bersama akrab dengan individu inang tunggal (seperti pada parasit), mereka tidak menyebabkan kematian segera atas inang seperti pada parasite (Rani, 2011). Parasitoidisme juga memiliki peranan dalam pengendalian hama secara biologis karena parasitoid-parasitoid ini berperan sebagai musuh alami, contohnya kasus ulat bulu di Probolinggo juga terkait dengan bentuk interaksi parasitoidisme. Beberapa peneliti kasus tersebut menyatakan bahwa peledakan ulat bulu tersebut juga karena kurangnya musuh alami ulat seperti parasitoid-parasitoid dan pemangsa lainnya.
  4. Nilai sikap dan karakter yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan yaitu sikap tanggung jawab dan karakter mencintai dan menyayangi hewan sehingga nantinya nilai dan karakter tersebut dapat mengajarkan siswa untuk memiliki rasa ingin melestarikan dan melindungi hewan-hewan langka yang terancam punah dari ancaman-ancaman berupa perburuan liar oleh manusia. Selain itu, dengan menumbuhkan rasa tanggung jawab pada diri siswa, rasa itu akan mengajarkan siswa untuk melestarikan hewan-hewan yang memiliki peranan untuk simbiosis dengan tumbuhan yang nantinya hasil simbiosis tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia dari ulah manusia yang mengakibatkan buruknya kondisi hewan-hewan saat ini. Perburuan manusia terhadap hewan-hewan yang memiliki fungsi dan peran untuk bersimbiosis dengan tumbuhan akan berdampak negative juga terhadap manusia yang nantinya nutrisi dan pemanfaatan dari hasil simbiosis tersebut tidak lagi ada jika hewannya diburu. Sehingga, dengan ditanamkannya sikap dan karakter tersebut sejak dini maka siswa dan siswi dapat mencegah dan mengendalikan manusia untuk tidak berburu hewan demi kepentingan pribadi dan merusak populasi hewan yang dapat berdampak terhadap kepunahan hewan tersebut.
  5. Salah satu contoh hewan yang dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator untuk monitoring kondisi lingkungan adalah lintah (Hirudo medicinalis). Secara umum istilah biomonitoring dipakai sebagai alat/cara yang penting dan merupakan metode baru untuk menilai suatu dampak pencemaran lingkungan (Fadhil, 2010). Istilah yang lebih spesifik adalah monitoring biologi (Biological Monitoring). Di dalam praktek penggunaan monitoring biologi (MB) adalah untuk memonitor populasi yang terpapar oleh bahan polutan di tempat kerja maupun di lingkungan. Salah satu cara yang digunakan untuk memantau perubahan yang terjadi di dalam suatu ekosistem adalah pemanfaatan bioindikator. Bioindikator ekologis adalah mahluk yang diamati penampakannya untuk dipakai sebagai petunjuk tentang keadaan kondisi lingkungan dan sumber daya pada habitatnya. Bioindikator yang dapat digunakan untuk memantau keadaan polusi di suatu tempat sebaiknya memenuhi kriteria, yaitu (1) organisme yang dijadikan sebagai bioindikator memiliki kisaran toleransi yang sempit terhadap perubahan lingkungan, (2) organisme yang dijadikan sebagai bioindikator memiliki kebiasaan hidup menetap di suatu tempat atau pemencarannya terbatas, (3) organisme yang dijadikan sebagai bioindikator mudah dilakukan pengambilan sampel dan merupakan organisme yang umum dijumpai di lokasi pengamatan, (4) akumulasi dari polutan tidak mengakibatkan kematian  pada organisme yang dijadikan sebagai bioindikator, (5) organisme yang dijadikan sebagai bioindikator lebih disukai yang berumur panjang, sehingga dapat diperoleh individu contoh dari berbagai stadium atau dari berbagai tingkatan umur. Dengan kriteria tersebut, salah satu biota yang dapat digunakan sebagai parameter biologi (bioindikator) dalam menentukan kondisi suatu perairan adalah hewan makrozoobentos (lintah). Sebagai organisme yang hidup di perairan, hewan makrozoobentos sangat peka terhadap perubahan kualitas air tempat hidupnya sehingga akan berpengaruh terhadap komposisi dan kelimpahannya. Hal ini tergantung pada toleransinya terhadap perubahan lingkungan, sehingga organisme ini sering dipakai sebagai bioindikator tingkat pencemaran suatu perairan. Makroinvertebrata khususnya lintah lebih banyak dipakai dalam pemantauan kualitas air karena memenuhi beberapa kriteria, antara lain: (1) sifat hidupnya yang relatif menetap/tidak berpindah-pindah, meskipun kualitas air tidak mengalami perubahan, (2) dapat dijumpai pada beberapa zona habitat akuatik, dengan berbagai kondisi kualitas air, (3) masa hidupnya cukup lama, sehingga keberadaannya memungkinkan untuk merekam kualitas lingkungan di sekitarnya, (4) terdiri atas beberapa jenis yang memberi respon berbeda terhadap kualitas air, (5) relatif lebih mudah untuk dikenali dibandingkan dengan jenis mikroorganisme, (6) mudah dalam pengumpulan/pengambilannya, karena hanya dibuthkan alat yang sederhana yang dapat dibuat sendiri. Sebagai organisme dasar perairan, lintah (Hirudo medicinalis) mempunyai habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Hal ini baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena lintah selalu mengadakan kontak langsung dengan limbah yang masuk ke habitatnya.  Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu karena Lintah (Hirudo medicinalis) terus menerus terdedah oleh air yang kualitasnya berubah-ubah. Oleh karena itu, lintah merupakan contoh hewan bioindikator untuk monitoring kondisi lingkungan perairan.
  6. Manfaat mempelajarai relung untuk aktivitas konservasi yaitu dengan mengetahui relungnya maka dapat diketahui pula relung sebagai fungsi komunitasnya yang meliputi keragaman makanan dan musuhnya, kondisi fisik lingkungannya, dan relung aktivitasnya. Manfaat mempelajari relung juga penting untuk digunakan sebagai dasar acuan memahami dan mengatasi masalah kondisi dan sumberdaya yang membatasi atau secara potensial membatasi suatu populasi hewan (Sukarsono, 2012). Manfaat relung untuk konservasi yaitu dapat melindungi dan melestarikan hewan-hewan langka yang terancam statusnya, baik pelestarian in-situ maupun ex-situ. Salah satu hewan langka yaitu burung elang jawa. Elang jawa merupakan salah satu jenis burung pemangsa endemic yang penyebarannya terbatas pada hutan alam di Pulau Jawa. Jenis ini termasuk dalam kategori satwa langka yang terancam punah dan termasuk dalam daftar satwa yang dilindungi. Hasil yang telah diperoleh dalam penelitian terdahulu, adalah berupa data awal tentang kawasan Muria yang meliputi keanekaragaman jenis burung dan tumbuhan. Tim peneliti mengidentifikasi 68 jenis burung, yang salah satu diantaranya adalah Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi). Burung yang dikenal sebagai burung Garuda itu, menjadi endemik Jawa dan dilindungi dari ancaman kepunahan (Muria, 2005). Berbagai aktivitas manusia telah mengganggu keberlangsungan hidup elang jawa terutama terhadapa kelestarian habitatnya yang telah terfragmentasi. Sebagai pemangsa puncak dalam rantai makanan, maka kehidupan elang jawa sangat tergantung pada tropic di level bawahnya. Dengan melihat kenyataan semakin terbatasnya habitat maka perlu dipelajari kemampuan daya dukung habitat melalui pendekatan terhadap potensi pakan elang jawa. Walaupun ada tumpang tindih antara elang hitam dan elang jawa dalam penggunaan sumberdaya ruang dan waktu tetapi setiap jenis elang tersebut mempunyai relung (niche) dan prefrensi terhadap jenis mangsa yang berbeda. Pola aktivitas elang jawa dalam berburu mangsa berbeda dengan elang-elang yang lain yaitu waktu perburuan mangsa elang jawa adalah diantara jam 07.30-16.00 WIB. Mangsa terbesar elang jawa adalah mamalia kecil dari jenis tupai/bajing (Utami, 2002).


DAFTAR PUSTAKA

·         Baliadi, Yuliantoro, dkk. 2012. Ulat Bulu Tanaman Mangga Di Probolinggo: Identifikasi, Sebaran, Tingkat Serangan, Pemicu, Dan Cara Pengendalian (jurnal online), Jurnal Litbang Pertanian, 31(2), http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3312125.pdf . Diakses 16 April 2012
·         Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim. 2011. Kementan Teliti Penyebab Wabah Ulat Bulu di Probolinggo (online) http://www.jatimprov.go.id Diakses 17 April 2013
·         Fadhil. 2010. Biomonitoring Dan Biomarker Lingkungan (online) http://fadhilhayat.wordpress.com/2010/12/23/biomonitoring-biomarker-lingkungan/ Diakses 16 April 2013
·         Kurniasih, Rani. 2011. Pemangsaan, Herbivora, Parasitoidisme Dan Parasitisme (online) file:///D:/blog/pemangsaan-herbivora-parasitoidisme-dan.html Diakses 16 April 2013
·         Muria. 2005. Kawasan Colo Belum Digarap Serius
(online)
http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/08/mur08.htm Diakses 16 April 2013
·         Prihatnawati, Yayuk. 2012. Aplikasi Konsep Waktu – Suhu Pada Hewan Poikiloterm Dalam Pengendalian Hama Pertanian (makalah online) Diakses 16 April 2013
·         Odum, Eugene P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi (Edisi ketiga). Yogyakarta:Gadjah Mada University Press
·         Sukarsono. 2012. Ekologi Hewan. Malang: UMM Press
·         Utami, Beta Dwi. 2002. Kajian Potensi Pakan Elang Jawa Di Gunung Salak (Skripsi online), Jurusan Konservasi sumberdaya Hutan Fakultas kehutanan Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/16398/E02bdu_abstract.pdf?sequence=1 Diakses 16 April 2013
·         Yaqin, Mustafa Ainul. 2013. Aplikasi Konsep Waktu Suhu Pada Hewan Poikiloterm Dalam Pengendalian Hama Pertanian (online) http://ainulbio.wordpress.com/2013/03/09/aplikasi-konsep-waktu-suhu-pada-hewan-poikiloterm-dalam-pengendalian-hama-pertanian/?blogsub=confirming#subscribe-blog Diakses 16 April 2013
·         Vivi. 2012. Menaksir Kelimpahan Populasi (online) http://dhevhy4ever.blogspot.com/2012/05/menaksir-kelimpahan-populasi-dengan.html Diakses 17 April 2013

Selasa, 09 April 2013

Studi Populasi dan Perilaku Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) di Taman Nasional Ujung Kulon


Taman Nasional Ujung Kulon merupakan salah satu kawasan pelestarian alam terpenting di Indonesia karena memiliki keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna dan berbagai tipe vegetasi dan rnerupakan sebuah habitat yang ideal bagi kelangsungan hidup satwa. Salah satu rauna yang terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon dan merupakan primata endemik di Jawa Barat adalah Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798).

Owa Jawa telah ditetapkan sebagai salah satu satwa yang dilindungi berdasarkan Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar Nomor 266 tahun 1931, yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolomal Belanda (Dit. PPA, 1978), SK Mentan No. 541 Kpts/Um/1972 dan Peraturan Pemerintab RI No.7 tabun 1999, disebutkan semua jenis primata Famili Hylobatidae, termasuk Owa Jawa merupakan satwa yang dilindungi. Dalam Red Data Book The international Union for The Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), Owa Jawa termasuk dalam kategori endangered species atau genting yaitu jenis-jenis satwa yang terancam kepunahan dan tidak akan dapat bertahan tanpa upaya perlindungan yang ketat untuk menyelamatkan kelangsungan hidupnya. Selain itu, Owa Jawa dicantumkan dalam Appendix I yang diterbitkan oIeh The Convention on International Trade for Endangered Species of Flora and Fauna (CITES).

Kondisi populasi dan Perilaku Owa Jawa di Resort Cibiuk dan Reuma Jengkol Sub Seksi Taman Jaya Taman Nasional Ujung Kulon.

Jumlah dan Kondisi Populasi Owa Jawa Pengamatan dan pengambilan data dengan menggunakan kombinasi metode Line Transect dan Triangle Count yang dilakukan pada dua jalur pengamatan dimana digunakan ulangan masing-masing pada Jalur 0 (Resort Cibiuk) sebanyak 7 kali ulangan dan pada Jalur 1 (Resort Reuma Jengkol) dilakukan ulangan sebanyak 8 kali.

Dari hasil penghitungan didapatkan bahwa jumlah populasi Owa Jawa pada jalur 0 berjumlah rata-rata 4 individu (3,82 individu hasil perhitungan) pada tiap kelompoknya dengan kepadatannya 3 (2,9) grup/km2 sehingga didapatkan perkiraan jumlah indidunya sebanyak 11 (11,08) individu yang menempati tiap km-nya. Sedangkan pada jalur 1 yang merupakan Resort Reuma Jengkol memiliki kelimpahan rata-rata 3 (2,75) individu pada tiap-tiap kelompoknya dongan kepadatan 3 (2,67) grup/km2 dan pada tiap-tiap km2nya ditempati oleh 7 (7,34) individu.


Perilaku Owa Jawa

1. Aktivitas Bersuara, aktivitas bersuara pada Owa Jawa merupakan aktivitas awal dan utama yang membedakannya dengan jenis primata lainnya, biasanya aktivitas bersuara ini dilakukan oIeh Owa Jawa dengan tujuan yang berbeda-beda dilihat kapan, dimana dan mengapa ak'tivitas bersuara ini bisa terjadi. Suara pada Pagi Hari (Morning calI) dilakukan umumnya.pada waktu pagi hari setelah Owa Jawa melakukan istirahat panjangnya. Dilakukan pada pohon tidur atau pada pohon yang terletak tidak jauh dari pohon tidurnya oleh individu betina dewasa. Suara Tanda Bahaya (Alarm CalI) yang terjadi pada suatu kondisi dimana suatu kelompok Owa Jawa berada dalam keadaan bahaya karena ada predator, meIindWlgi daerah tcritorinya. adanya kompetitor. Suara yang dihasilkan pada keadaan alarm call ini berbeda dengan suara yang keluar pada morning call dimana intensitas dan frekwensinya tidak teratur cenderung rapat dan tinggi, perbedaan antara suara panjang dan suara pendek tidak terlalu terlihat. Suara Pada Kondisi Tertentu (Conditional Call) dalarn kondisi lain ada waktu dimana suatu individu Owa Jawa mengeluarkan suara tanpa alasan tertentu, suara yang dihasilkan pada conditional call ini bervariasi kadang teratur kadang tidak teratur, dilakukan oleh owa muda. Waktu terjadinya conditional call ini tidak tentu kadang terjadi diluar aktivitas hariannya.

2. Aktivitas Makan, dapat dilakukan oleh kelompok Owa Jawa di tempat pohon tidurnya dan di pohon pakan lainnya. Aktivitas makan yang diIakukan pada tempat pohon tidumya dikarenakan sumber pakan pada pohon tersebut masih terdapat secara melimpah sehingga kelompok tersebut tidak perlu berpindah ke pohon lainnya. Jenis makanan yang dimakan pada suatu pohon pakan oleh owa antara lain terdiri dari: daun muda atau pucuk daun, biji, buah, bunga serta beberapa jenis serangga kecil ataupun burung-burung kecil.

3. Aktivitas Bergerak Dalam melakukan pergerakan, Owa Jawa menggunakan lokomotor yang ada pada tubuhnya dengan beberapa cara, antara lain: Bergantung/ Berayun (Brakhiasi) Brakhiasi dapat dilakukan secara lambat pada keadaan normal, yaitu pada kondisi beraktivitas sosial dalam kelompok, mencari makan atau perjalanan biasa. Gerakan dilakukan tanpa melontarkan tubuh. Kecepatan rata-rata dalam melakukan brakhiasi adalah 1 sampai dengan 10 m/dt. Gerakan ini dapat juga dilakukan secara cepat kecepatan mcncapai rata-rata 32 m/dt. Melompat (Jumping) Gerakan melompat ini didahului dengan mengayunkan tubuh ke arah bawah kemudian tangan dan kaki dipakai sehagai penopang dan pelontar tubuh kc arah atas. Gerakan melompat keatas ini biasanya didahului juga dengan gerakan lain seperti berayun (brakhiasi). Memanjat (Climbing) Gerakan ini dilakukan Owa Jawa dalam upaya berpindah ketempat yang lebih rendah atau lebih tinggi secara vertikal dalam pohon yang sama melalui cabang yang besar atau batang pohon dalam satu pohon. Berjalan (Walking) Gerakan ini dilakukan Owa Jawa untuk berpindah ke tempat yang relatif datar (horizontal) pada pohon dengan cabang atau batang yang besar. Gerakan berjalan dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan tangan (Quadrapedal) atau tanpa bantuan tangan (Bipedal). Fungsi tangan sebagai penyeimbang tubuh.

4. Aktivitas Istirahat Dalam rangkaian aktivitas hariannya. istirahat dilakukan diantara aktivitas makan, bergerak, maupun aktivitas sosialnya (istirahat pendek) karena memang waktu istirahat yang digunakan relatif singkat yang berkisar antara 15 menit sampai dengan 62 menit selama satu periode istirahat. Istirahat yang dilakukan diluar aktivitas hariannya dapat dikatakan sebagai istirahat panjang karena memakan waktu yang lama, dilakukan ketika hari mulai gelap sekitar pukul 16.54 sampai 17.12.

5. Aktivitas Sosial (Perilaku Sosial) Bentuk aktivitas sosial yang ditunjukkan oleh Owa Jawa secara individu dalam kelompok antara lain adalah berkutu-kutuan (grooming) yang biasanya dilakukan oleh individu jantan dewasa, betina dewasa dan muda; bersuara (vocalization), serta bermain yang biasanya dilakukan oleh individu muda dan bayi (Ladjat, 1995). Menurut De Vore dan Elmer (1987) bermain pada individu anak merupakan aktivitas yang sangat penting. Perilaku sosial yang terlihat antar kelompok Owa Jawa dapat berupa bersuara (vocalization) yang dilakukan dengan tujuan agar kelompok owa lain mengetahui teritori dari keIompok owa yang lain. Perilaku ini juga dapat terlihat untuk perilaku sosial dengan kelompok satwa lain yaitu pada kondisi dimana pada saat aktivitas makan terjadi, ada kelompok satwa lain seperti burung rangkong, lutung atau monyet ekor panjang, masuk kedalam teritori suatu kelompok Owa Jawa. Dapat dikatakan perilaku sosial yang terjadi antar kelompok Owa Jawa dan perilaku sosial yang terjadi antara kelompok Owa Jawa dengan kelompok satwa lainnya sangat berkaitan dengan teritori Owa Jawa dan aktivitas yang dilakukan oleh individu dalam kelompok tersebut.

Kondisi Habitat

1. Analisis Kondisi Vegetasi Dari analisis vegetasi yang dilakukan kemudian dihitung Indeks Nilai Penting (INP) untuk mengetahui komposisi dan kelimpahan jenis yang ada. Didapatkan pada jalur 0 (Resort Cibiuk) 5 jenis vegetasi pada tingkat pohon yang ada elidominasi dari pohon Kondang dengan INP sebe,ar 36,20, Kihiang (16,86), Kiamis (12,90), Kiganik (12,24), dan Cangearatan dengan INP sebesar 9,62. Sedangkan untuk 5 jenis vegetasi pada tingkat Tiang didominasi oleb Pulus, Kijahe, Kisegel, Cangcaratan dan Bisoro. Pada tingkat pancang Jalur 0 didominasi oleb jenis Songgom, Kijaha, Kilaja, Dahu dan Sulangkar dan Untuk jenis-jenis vegetasi pada tingkat semai atau liana didominasi oleb jenis Songgom, Kijaha, Kimerak, Hata dan Kigadel. Pada Jalur T (Resort Reuma Iengkol) 5 jenis vegetasi pada tingkat pobon yang ada didominasi dari pobon Lame dengan INP sebesar 35,93, Palahlar (32,66), Kiganik (30,80), Kikacang (20,40), dan Kipoleng dengan INP sebesar 19,75. Sedangkan untuk 5 jenis vegetasi pada tingkat Tiang didominasi oleb Buluh, Heueit, Peuris, Dahu dan Hampat. Pada tingkat paneang Ialur T didominasi oleb jenis Kimerak, Langkap, Rotan, Kakaduan dan Onyam dan Untuk jenis-jenis vegetasi pada tingkat semai atau liana didominasi oleh jenis Rotan, Kimerak, Kakaduan dan Kiendog.

2. Keanekaragaman Jenis Vegetasi Di ketahui pada jalur 0 (Resort Cibiuk) keanekaragaman jenis vegetasinya yang ada pada tingkat semai ditemukan sebanyak 45 jenis, pada tingkat pancang berbasil diidentifikasi sebanyak 56 jenis, untuk tingkat tiang sebanyak 34 jenis dan pada tingkat pobon ditemukan sebanyak 50 jenis yang tersebar diseluruh jalur pengamatan. Pada jalur 1 diketahui terdapat keanekaragaman jenis pada tingkat semai sebanyak 32 jenis, untuk tingkat pancang ditemukan 40 jenis, pada tingkat tiang terdapat 27 jenis dan pada tingkat pohon berhasil ditemukan 37 jenis pobon. Dari perbandingan yang ada pada masing-masing tingkat pertumbuhan yang ada pada jalur-jalur pengamatan, jelas sekali terlihat perbedaan keanekaragaman jenis yang ada dimana pada jalur 0 (Resort Cibiuk) memiliki keanekaragaman jenis yang lebih tinggi bila dibanelingkan dengan keanekaragarnan jenis yang ada pada jalur 1 (Resort Reuma jengkol). Bila dilihat dari keanekaragaman jenis tumbuhan yang ada pada kedua lokasi tersebut. Dapat dikatakan bahwa kondisi vegetasinya terutama tumbuhan pakannya masih dalam keadaan baik dimana banyak tumbuhan pakan yang mendominasi dengan INP berkisar diatas 10 %

notes:
ini merupakan ringkasan skripsi yang dilakukan penulis pada tahun 2001
source:
"http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/15881"