Owa jawa (Hylobates moloch) adalah sejenis primata anggota
suku Hylobatidae. Dengan populasi tersisa antara 1.000 – 2.000 ekor
saja, kera ini adalah spesies owa yang paling langka di dunia. Owa jawa
menyebar terbatas (endemik) di Jawa bagian barat. Owa jawa tidak
memiliki ekor, dan tangannya relatif panjang dibandingkan dengan besar
tubuhnya. Tangan yang panjang ini diperlukannya untuk berayun dan
berpindah di antara dahan-dahan dan ranting di tajuk pohon yang tinggi,
tempatnya beraktifitas sehari-hari. Warna tubuhnya keabu-abuan, dengan
sisi atas kepala lebih gelap dan wajah kehitaman.
Kera ini hidup
dalam kelompok-kelompok kecil semacam keluarga inti, terdiri dari
pasangan hewan jantan dan betina, dengan satu atau dua anak-anaknya yang
masih belum dewasa. Owa jawa merupakan pasangan yang setia, monogami.
Rata-rata owa betina melahirkan sekali setiap tiga tahun, dengan masa
mengandung selama 7 bulan. Anak-anaknya disusui hingga usia 18 bulan,
dan terus bersama keluarganya sampai dewasa, yang dicapainya pada umur
sekitar 8 tahun. Owa muda kemudian akan memisahkan diri dan mencari
pasangannya sendiri.
Owa jawa adalah hewan
diurnal dan arboreal, sepenuhnya hidup di atas tajuk pepohonan.
Terutama memakan buah-buahan, daun dan bunga-bungaan, kelompok kecil owa
jawa menjelajahi kanopi hutan dengan cara memanjat dan berayun dari
satu pohon ke lain pohon dengan mengandalkan kelincahan dan kekuatan
lengannya. Berat tubuhnya rata-rata mencapai 8 kg.
Kelompok ini akan
berupaya mempertahankan teritorinya, biasanya luasnya mencapai 17
hektare, dari kehadiran kelompok lain. Pagi-pagi sekali, dan juga di
waktu-waktu tertentu di siang dan sore hari, owa betina akan
memperdengarkan suaranya untuk mengumumkan wilayah teritorial
keluarganya. Dari suara yang bersahut-sahutan antar kelompok, dan
terdengar hingga jarak yang jauh ini, para peneliti dapat memperkirakan
jumlah kelompok owa yang ada, dan selanjutnya menduga jumlah
individunya.
Spesies ini hanya didapati di bagian barat Pulau
Jawa, yakni di hutan-hutan dataran rendah dan hutan pegunungan bawah.
Penyebaran paling timur adalah di wilayah Gunung Slamet serta di jajaran
Pegunungan Dieng sebelah barat di wilayah Pekalongan.
Rabu, 08 Mei 2013
Populasi Owa Jawa Masih Banyak di Ujung Kulon
REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG -- Populasi owa jawa, salah satu hewan yang
harus diprioritaskan pelestariannya, di kawasan Taman Nasional Ujung
Kulong (TNUK) Pandeglang, Provinsi Banten, masih banyak.
"Dari hasil pantauan kita, populasi owa jawa masih banyak, dengan habitat utamanya di Gunung Honje, yang masih masuk dalam kawasan TNUK," kata Humas Balai Taman Nasional Ujung Kulon Pandeglang Indra di Pandeglang, Kamis (7/3).
Owa jawa, kata dia, binatang jenis primata dan merupakan hewan endemik TNUK yang oleh pemerintah dimasukkan menjadi salah satu dari 14 hewan yang harus diprioritasnya pelestariannya.
"Pemerintah menetapkan 14 jenis hewan yang harus diprioritaskan pelestariannya, dan tiga diantaranya hidup di kawasan TNUK, yakni badak jawa atau badak bercula satu, banteng dan owa jawa," katanya.
Indra menjelaskan masih banyaknya populasi owa jawa di TNUK karena ketersediaan pakannya cukup, juga aman dari gangguan yang mengancam keberadaannya, termasuk dari tangan jahil manusia.
"Keberadaan owa jawa juga bisa dijadikan indikasi dari kondisi kawasan. Kalau hewan itu masih banyak maka kawasan masih aman dari gangguan hutan seperti pembalakan liar, dan sebaliknya kalau binatang itu sedikit berarti kawasan sudah tidak aman lagi," katanya.
Saat ini, kata dia, populasi owa jawa di TNUK masih banyak, berarti bisa disimpulkan kawasan taman nasional yang merupakan hutan tropis terbesar di Pulau Jawa tersebut masih aman dari berbagai macam gangguan hutan.
Balai TNUK, kata dia, telah membentuk tim peduli satwa yang anggotanya dari petugas Balai TNUK dari masyarakat dengan tugas utama melakukan pengawasan terhadap populasi dan perilaku satwa di kawasan itu.
"Tim tersebut sudah kita latih untuk melakukan pengawasan terhadap satwa yang ada di TNUK, terutama badak jawa, banteng dan owa jawa," ujarnya menjelaskan.
"Dari hasil pantauan kita, populasi owa jawa masih banyak, dengan habitat utamanya di Gunung Honje, yang masih masuk dalam kawasan TNUK," kata Humas Balai Taman Nasional Ujung Kulon Pandeglang Indra di Pandeglang, Kamis (7/3).
Owa jawa, kata dia, binatang jenis primata dan merupakan hewan endemik TNUK yang oleh pemerintah dimasukkan menjadi salah satu dari 14 hewan yang harus diprioritasnya pelestariannya.
"Pemerintah menetapkan 14 jenis hewan yang harus diprioritaskan pelestariannya, dan tiga diantaranya hidup di kawasan TNUK, yakni badak jawa atau badak bercula satu, banteng dan owa jawa," katanya.
Indra menjelaskan masih banyaknya populasi owa jawa di TNUK karena ketersediaan pakannya cukup, juga aman dari gangguan yang mengancam keberadaannya, termasuk dari tangan jahil manusia.
"Keberadaan owa jawa juga bisa dijadikan indikasi dari kondisi kawasan. Kalau hewan itu masih banyak maka kawasan masih aman dari gangguan hutan seperti pembalakan liar, dan sebaliknya kalau binatang itu sedikit berarti kawasan sudah tidak aman lagi," katanya.
Saat ini, kata dia, populasi owa jawa di TNUK masih banyak, berarti bisa disimpulkan kawasan taman nasional yang merupakan hutan tropis terbesar di Pulau Jawa tersebut masih aman dari berbagai macam gangguan hutan.
Balai TNUK, kata dia, telah membentuk tim peduli satwa yang anggotanya dari petugas Balai TNUK dari masyarakat dengan tugas utama melakukan pengawasan terhadap populasi dan perilaku satwa di kawasan itu.
"Tim tersebut sudah kita latih untuk melakukan pengawasan terhadap satwa yang ada di TNUK, terutama badak jawa, banteng dan owa jawa," ujarnya menjelaskan.
OWA JAWA, Mereka Semakin Terancam !
diposting oleh yayasan Owa jawa Rabu, 22 Desember 2010 11:53
Owa Jawa (Hylobates moloch) - Javan
Silvery Gibbon, merupakan salah satu jenis primata endemik di Indonesia
yang hanya tinggal di hutan-hutan pulau Jawa khususnya di Jawa bagian
barat dan sebagian Jawa Tengah. Makanannya berupa buah, daun dan
serangga. Satu keluarga owa jawa umumnya terdiri dari sepasang induk dan
beberapa anak yang tinggal dalam teritori mereka. Nyanyian indah betina
owa jawa di pagi hari masih terdengar diantara kabut hutan pegunungan
di pulau Jawa. Sayangnya, nyanyian mereka akan hilang selamanya apabila
tekanan terhadap kehidupan mereka di alam tidak pernah berhenti.
Dalam daftar satwa terancam
(IUCN-species threatened red list), owa jawa termasuk kategori terancam
punah (endangered species). Kehidupan mereka di alam semakin
mengkhawatirkan karena kehilangan habitat alami hingga mencapai 96%.
Beberapa hasil survei perkiraan populasi di alam, tersisa lebih kurang
4,000 individu yang berada di hutan-hutan konservasi dan terdapat
populasi kecil yang terpisah dan terisolasi yang membuka peluang bagi
mereka mengalami kepunahan. Ancaman kepunahan semakin tinggi dengan
dengan adanya praktek perburuan dan perdagangan dimana lebih dari 100
individu owa jawa telah dijadikan sebagai satwa peliharaan (pet). Fakta
inilah yang mendorong Yayasan Owa Jawa untuk melakukan tindakan nyata
dalam upaya penyelamatan satwa ini dari kepunahan. Kini sebagian dari
mereka yang pernah menjadi satwa peliharaan tersebut telah diselamatkan
dan diupayakan untuk dapat kembali ke alam melalui program rehabilitasi
di Javan Gibbon Center, yang merupakan salah satu program Yayasan Owa
Jawa.
Untuk melakukan kegiatan ex-situ sebagai upaya konservasi terhadap owa jawa, perlu adanya beberapa kerjasama antar pihak yang memiliki perhatian akan kelestarian owa jawa. Program perencanaan dalam usaha konservasi owa jawa telah beberapa kali dilakukan dalam pertemuan-pertemuan para ahli primata tingkat nasional maupun international. Rangkaian berbagai pertemuan-pertemuan tersebut yang merupakan dasar atau cikal bakal terbentuknya Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa atau yang lebih dikenal sebagai Javan Gibbon Center (JGC).
Pada bulan Mei 1994 di Cisarua Bogor, berkumpul lebih dari 50 ahli primata dalam suatu lokakarya PHVA (Population and Habitat Viability Analysis) untuk owa jawa dan surili yang difasilitasi oleh IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group. Lokakarya tersebut merupakan kerjasama antara para ahli primata Indonesia, baik dari kalangan pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga konservasi ex-situ, maupun lembaga international seperti Fota Wildlife Park, Silvery Gibbon Project-Perth Zoo, Conservation International, European Endangered Species Program, American Zoo and Aquarium Association, and the London, Twycross, Paignton, Edinburgh, Duisburg, Minnesota and Milwaukee County Zoos (Supriatna et al, 1994). Rekomendasi dari lokakarya tersebut antara lain perlu adanya studbook untuk owa jawa, persiapan manual penanganan owa jawa di ex-situ, pelatihan bagi lokal staf untuk kesehatan dan tehnik penanganan satwa, pengembangan populasi dalam penangkaran, dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap konservasi owa jawa dan habitatnya (Supriatna et al, 1994).
Menindaklanjuti hasil lokakarya PHVA tersebut, pada bulan Agustus tahun 1997 telah diadakan lokakarya untuk membahas khusus tentang penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa, yang hasilnya merupakan pengalaman-pengalaman dari para peneliti mengenai populasi, penyakit owa jawa, serta pengalaman dari berbagai pihak yang melakukan konservasi ex-situ bagi keluarga owa pada umumnya. Spesifik topik dalam diskusi meliputi kriteria pemilihan lokasi, prosedur karantina dan kebijakan dokter hewan, disain kandang, nutrisi, sumber populasi, rehabilitasi dan program pendidikan dan penelitian. Para ahli dalam pertemuan tersebut mendukung diadakannya pusat penyelamatan dan rehabilitasi untuk owa jawa sebagai upaya konservasi ex-situ (Supriatna dan Manullang, 1997). Selanjutnya upaya mewujudkan program penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa, juga diperkuat oleh para ahli primata didalam kongres IPS (International Primatological Society) ke 18 yang berlangsung pada tahun 2001 di Adelaide, Australia, yang kemudian melahirkan kerjasama antara Conservation International Indonesia dan Silvery Gibbon Project-Perth Zoo dalam program penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa di Indonesia.
Untuk melakukan kegiatan ex-situ sebagai upaya konservasi terhadap owa jawa, perlu adanya beberapa kerjasama antar pihak yang memiliki perhatian akan kelestarian owa jawa. Program perencanaan dalam usaha konservasi owa jawa telah beberapa kali dilakukan dalam pertemuan-pertemuan para ahli primata tingkat nasional maupun international. Rangkaian berbagai pertemuan-pertemuan tersebut yang merupakan dasar atau cikal bakal terbentuknya Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa atau yang lebih dikenal sebagai Javan Gibbon Center (JGC).
Pada bulan Mei 1994 di Cisarua Bogor, berkumpul lebih dari 50 ahli primata dalam suatu lokakarya PHVA (Population and Habitat Viability Analysis) untuk owa jawa dan surili yang difasilitasi oleh IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group. Lokakarya tersebut merupakan kerjasama antara para ahli primata Indonesia, baik dari kalangan pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga konservasi ex-situ, maupun lembaga international seperti Fota Wildlife Park, Silvery Gibbon Project-Perth Zoo, Conservation International, European Endangered Species Program, American Zoo and Aquarium Association, and the London, Twycross, Paignton, Edinburgh, Duisburg, Minnesota and Milwaukee County Zoos (Supriatna et al, 1994). Rekomendasi dari lokakarya tersebut antara lain perlu adanya studbook untuk owa jawa, persiapan manual penanganan owa jawa di ex-situ, pelatihan bagi lokal staf untuk kesehatan dan tehnik penanganan satwa, pengembangan populasi dalam penangkaran, dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap konservasi owa jawa dan habitatnya (Supriatna et al, 1994).
Menindaklanjuti hasil lokakarya PHVA tersebut, pada bulan Agustus tahun 1997 telah diadakan lokakarya untuk membahas khusus tentang penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa, yang hasilnya merupakan pengalaman-pengalaman dari para peneliti mengenai populasi, penyakit owa jawa, serta pengalaman dari berbagai pihak yang melakukan konservasi ex-situ bagi keluarga owa pada umumnya. Spesifik topik dalam diskusi meliputi kriteria pemilihan lokasi, prosedur karantina dan kebijakan dokter hewan, disain kandang, nutrisi, sumber populasi, rehabilitasi dan program pendidikan dan penelitian. Para ahli dalam pertemuan tersebut mendukung diadakannya pusat penyelamatan dan rehabilitasi untuk owa jawa sebagai upaya konservasi ex-situ (Supriatna dan Manullang, 1997). Selanjutnya upaya mewujudkan program penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa, juga diperkuat oleh para ahli primata didalam kongres IPS (International Primatological Society) ke 18 yang berlangsung pada tahun 2001 di Adelaide, Australia, yang kemudian melahirkan kerjasama antara Conservation International Indonesia dan Silvery Gibbon Project-Perth Zoo dalam program penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa di Indonesia.
Owa Jawa Berhasil Melahirkan di JGC
diposting oleh yayasan Owa jawa Rabu, 22 Desember 2010 11:47
Pertama kalinya, pasangan owa Jawa (Hilobates moloch) yang di rehabilitasi di Lokasi The Javan Gibbon Centre, atau Pusat Rehabilitasi Owa Jawa, yang terletak di Bodogol, Taman Nagional Gunung Gede Pangrango, Bogor, melahirkan.
Jabang bayi owa yang ditunggu tersebut lahir dengan selamat hari Rabu, 21 Juli 2010 pukul 4 dini hari.
Seperti diketahui, owa jawa merupakan satwa langka yang dilindungi dan mempunyai perilaku berpasangan setia seumur hidup (monogamy), dan tidak mudah memasangakan owa jawa di habitat bukan aslinya.
Bayi owa jawa yang baru lahir tersebut berasal dari pasangan owa jawa yang saat ini masih dalam proses rehabilitasi sebelum dilepasliarkan ke habitat alaminya. Pasangan owa jawa yang menjadi induk dari bayi tersebut adalah diberi nama Jowo dan Bombom. Kedua pasangan ini sebelum berada di JGC, mereka berasal dari Pusat Perawatan Satwa (PPS) Cikananga yang sebelumnya menjadi peliharaan masyarakat di Bandung.
Jowo berkelamin jantan diperkiran lahir pada tahun 2002 dan Bombon berkelamin betina dengan perkiraan lahir pada tahun 1998. Mereka berada di JGC sejak bulan April 2008. “Pada saat berada di JGC mereka belum menjadi pasangan, dan di JGC lah mereka dipertemukan melalui proses penjodohan,” ujar Anton Ario, Program Manager Conservation International yang juga bertugas mengawasi dan sebagai ahli primata owa Jawa di JGC.
Anton menjelaskan, kedua pasangan ini dijodohkan di kandang pada bulan Juni 2008, mereka resmi menjadi pasangan setelah diketahui saling memiliki kecocokan. Sejak itulah mereka menempati kandang pasangan di JGC. Selama berada dalam kandang pasangan, mereka terus menunjukkan peningkatan ikatan dalam berhubungan, hal tersebut ditandai dengan terjadinya kopulasi sehingga menghasilkan pembuahan.
Sejak bulan Januari 2010, diketahu Bombom tidak lagi mengalami menstruasi, dan setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter hewan JGC, Bombom dinyatakan bunting. Pengawasan terhadap Bombom terus ditingkatkan oleh staf JGC setelah mengetahui kebuntingan Bombom.
“Perlu pengawasan mengingat owa Jawa termasuk satwa yang memiliki sensitifitas tinggi akan gangguan. Terhitung 7 bulan masa kehamilan, akhirnya terjadi Bombom melahirkan di pusat rehabilitasi (JGC).” Hal ini tentu menggembirakan, setelah terjadi dua kali kegagalan kelahiran oleh 2 individu betina lainnya di JGC yang mengalami keguguran.” Tambah Jatna Supriatna, ahli primata yang juga sebagai Vice President Conservation International.
JGC bekerjasama dengan Yayasan Owa Jawa (Javan Gibbon Foundation), Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Conservation International serta Margot Marsh Foundation, menyelenggarakan rehabilitasi dalam upaya mengembalikan owa Jawa yang di sita dari masyarakat, untuk dikembalikan ke alam.
Kini, satu keluarga owa Jawa telah terbentuk. Apabila bayi tersebut telah memasuki usia 1 tahun, kemungkinan besar keluarga baru tersebut akan dilepasliarkan untuk memulai kehidupan baru di habitat alami.
Pertama kalinya, pasangan owa Jawa (Hilobates moloch) yang di rehabilitasi di Lokasi The Javan Gibbon Centre, atau Pusat Rehabilitasi Owa Jawa, yang terletak di Bodogol, Taman Nagional Gunung Gede Pangrango, Bogor, melahirkan.
Jabang bayi owa yang ditunggu tersebut lahir dengan selamat hari Rabu, 21 Juli 2010 pukul 4 dini hari.
Seperti diketahui, owa jawa merupakan satwa langka yang dilindungi dan mempunyai perilaku berpasangan setia seumur hidup (monogamy), dan tidak mudah memasangakan owa jawa di habitat bukan aslinya.
Bayi owa jawa yang baru lahir tersebut berasal dari pasangan owa jawa yang saat ini masih dalam proses rehabilitasi sebelum dilepasliarkan ke habitat alaminya. Pasangan owa jawa yang menjadi induk dari bayi tersebut adalah diberi nama Jowo dan Bombom. Kedua pasangan ini sebelum berada di JGC, mereka berasal dari Pusat Perawatan Satwa (PPS) Cikananga yang sebelumnya menjadi peliharaan masyarakat di Bandung.
Jowo berkelamin jantan diperkiran lahir pada tahun 2002 dan Bombon berkelamin betina dengan perkiraan lahir pada tahun 1998. Mereka berada di JGC sejak bulan April 2008. “Pada saat berada di JGC mereka belum menjadi pasangan, dan di JGC lah mereka dipertemukan melalui proses penjodohan,” ujar Anton Ario, Program Manager Conservation International yang juga bertugas mengawasi dan sebagai ahli primata owa Jawa di JGC.
Anton menjelaskan, kedua pasangan ini dijodohkan di kandang pada bulan Juni 2008, mereka resmi menjadi pasangan setelah diketahui saling memiliki kecocokan. Sejak itulah mereka menempati kandang pasangan di JGC. Selama berada dalam kandang pasangan, mereka terus menunjukkan peningkatan ikatan dalam berhubungan, hal tersebut ditandai dengan terjadinya kopulasi sehingga menghasilkan pembuahan.
Sejak bulan Januari 2010, diketahu Bombom tidak lagi mengalami menstruasi, dan setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter hewan JGC, Bombom dinyatakan bunting. Pengawasan terhadap Bombom terus ditingkatkan oleh staf JGC setelah mengetahui kebuntingan Bombom.
“Perlu pengawasan mengingat owa Jawa termasuk satwa yang memiliki sensitifitas tinggi akan gangguan. Terhitung 7 bulan masa kehamilan, akhirnya terjadi Bombom melahirkan di pusat rehabilitasi (JGC).” Hal ini tentu menggembirakan, setelah terjadi dua kali kegagalan kelahiran oleh 2 individu betina lainnya di JGC yang mengalami keguguran.” Tambah Jatna Supriatna, ahli primata yang juga sebagai Vice President Conservation International.
JGC bekerjasama dengan Yayasan Owa Jawa (Javan Gibbon Foundation), Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Conservation International serta Margot Marsh Foundation, menyelenggarakan rehabilitasi dalam upaya mengembalikan owa Jawa yang di sita dari masyarakat, untuk dikembalikan ke alam.
Kini, satu keluarga owa Jawa telah terbentuk. Apabila bayi tersebut telah memasuki usia 1 tahun, kemungkinan besar keluarga baru tersebut akan dilepasliarkan untuk memulai kehidupan baru di habitat alami.
Habitat dan Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat
Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates
moloch Audebert 1797) merupakan salah satu jenis primata endemik
yang dimiliki Indonesia, dengan wilayah penyebaran yang meliputi Jawa
Barat dan Jawa Tengah. Berdasarkan kategori IUCN (International
Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) tahun
2000, Owa Jawa terancam punah dengan kategori kritis (critically
endangered), artinya menghadapi resiko kepunahan sangat tinggi di
alam. Hal ini terjadi karena populasi Owa
Jawa di alam mengalami tekanan akibat degradasi habitatnya (Eudey et
al. 2000).
Tingkat keterancaman yang tinggi dari
owa jawa di alam menyebabkan perlunya pengelolaan berdasarkan data yang
lengkap terhadap habitat alami dan populasi owa jawa yang ada. Habitat
Owa Jawa merupakan kawasan hutan tropika dari dataran rendah hingga
pegunungan dengan ketinggian 0 – 1.600 m (Massicot 2001; CI Indonesia
2000). Beberapa penelitian terdahulu (Kappeler 1984; Asquith et al.
1995; Nijman & Sozer 1995; Nijman & van Balen 1998; CI
Indonesia 2000; Nijman 2004) telah mengidentifikasi beberapa kawasan
hutan di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang merupakan habitat alami Owa
Jawa, dimana sebagian besar di antaranya merupakan kawasan konservasi.
Salah satu habitat alami bagi Owa Jawa di Provinsi Jawa Barat adalah
kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP).
Sebagai kawasan konservasi, TNGP
merupakan habitat alami yang tepat dan aman bagi Owa Jawa mengingat
kawasan ini mendapatkan perlindungan dan pengelolaan khusus sebagai
taman nasional dan memiliki sumber daya yang memadai untuk mendukung
populasi Owa Jawa yang ada. Untuk itu, pengelolaan TNGP perlu dilakukan
dengan cermat dimana keputusan manajemen diambil berdasarkan data dan
informasi yang komperehensif, terkini dan akurat. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam penentuan
kebijakan pengelolaan populasi dan habitat Owa Jawa di TNGP.
Adapun tujuan penelitian ini adalah
untuk: (1) Menganalisis habitat Owa Jawa; (2) Mengkaji data dan
informasi mengenai populasi Owa Jawa; (3) Mengkaji permasalahan habitat
dan populasi yang berpengaruh terhadap keberadaan Owa Jawa di TNGP.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Propinsi Jawa Barat, yang meliputi
7 resort, yaitu: Resort Cisarua, Cimungkat, Bodogol, Situ Gunung,
Selabintana, Gunung Putri, dan Cibodas. Pelaksanaan penelitian dimulai
pada bulan September 2007 sampai dengan Desember 2007.
Pengumpulan dan Analisis Data
Karakteristik Habitat
Analisis Vegetasi
Plot-plot penelitian ditempatkan pada
beberapa resort yang mewakili seluruh wilayah pengelolaan yang ada serta
dibagi berdasarkan zona pemanfaatan dan zona inti. Pengumpulan data
vegetasi di kawasan hutan TNGP dilakukan dengan menggunakan metode jalur
berpetak (Soerianegara dan Indrawan 1998).
Pada lokasi penelitian diletakkan
sebanyak 66 plot sampel, 33 pada zona inti dan 33 pada zona pemanfaatan.
Pencatatan jenis vegetasi meliputi berbagai tingkat pertumbuhan: semai,
pancang, tiang, pohon. Identifikasi dan analisa pohon pakan dan pohon
tidur juga dilakukan di sepanjang jalur penelitian.
Selanjutnya, dari data tersebut dihitung
Indeks Nilai Penting (INP), Keanekaragaman Jenis Vegetasi (H’), dan
Kemerataan Jenis Vegetasi (J’). INP untuk vegetasi tingkat pancang,
tiang, dan pohon merupakan penjumlahan dari nilai-nilai kerapatan
relatif (KR), dominasi relatif (DR), dan frekuensi relatif (FR) atau
INP = KR + FR + DR, sedangkan untuk vegetasi tingkat semai, INP = KR +
FR.
Untuk mengukur keanekaragaman jenis
vegetasi akan digunakan pendekatan indeks Keragaman Shannon-Wiener
(Krebs 1978; Santosa 1995) dengan persamaan sebagai berikut: H’ = – ∑ Pi
(ln Pi) ; dimana : H’ = indeks Keragaman Shannon-Wiener, Pi
= proporsi jumlah individu ke-i (n) terhadap jumlah individu total
(N), yaitu ni/N
Untuk mengukur tingkat kemerataan jenis
tumbuhan pada seluruh petak contoh pengamatan akan digunakan pendekatan
Indeks Kemerataan Pielou (1975) (Santosa, 1995) dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut: Dmax = ln S dan J’ = H’ / Dmax
; dimana Dmax : dominansi, S : jumlah jenis, J’ :
nilai evenness (0-1), dan H’ : indeks keragaman
Shannon-Wiener
Karakteristik Populasi
Jalur Pengamatan Populasi
Pengamatan karakteristik populasi Owa
Jawa dilakukan melalui survei dengan menggunakan metode jalur (line
transect method) pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan
sebelumnya. Penentuan lokasi pengamatan dilakukan berdasarkan informasi
dari penelitian-penelitian sebelumnya serta informasi petugas Balai dan
penduduk lokal, sehingga lokasi penelitian diharapkan mewakili seluruh
habitat Owa Jawa di TNGP.
Jalur-jalur pengamatan ditempatkan di
setiap lokasi secara acak dengan panjang jalur antara 2 – 3,5 km. Lebar
jalur pengamatan adalah 50 m ke arah kedua sisi jalur atau lebar total
100 m (0,1 km).
Distribusi Populasi
Distribusi populasi Owa Jawa di areal
penelitian diperoleh dengan mengolah data perjumpaan yang diperoleh
dengan menggunakan GPS receiver, kemudian dipetakan dengan
menggunakan program ArcView GIS 3.3., Analisis data dilakukan
secara deskriptif.
Kepadatan Populasi
Kepadatan populasi Owa Jawa ditentukan
dengan menggunakan data jumlah individu dan kelompok Owa Jawa yang
ditemukan pada jalur-jalur pengamatan dan dibagi dengan luas jalur
pengamatan secara keseluruhan. Adapun formulanya adalah sebagai
berikut: D= ∑ ind / Ltot, dimana D=Kepadatan (individu/km2), ∑
ind= Jumlah individu suatu jenis (individu), Ltot =
Luas total jalur pengamatan (km2), Luas total plot pengamatan
(areal penelitian) diperoleh dari: Ltot = (P)(l)(ul),
dimana Ltot =Luas total jalur pengamatan (km2),
P=Panjang jalur (km), l= Lebar jalur (km), u=Jumlah ulangan
Estimasi Populasi
Estimasi populasi Owa Jawa ditentukan
dengan mengalikan angka kepadatan individu dan kelompok Owa Jawa yang
ditemukan pada jalur-jalur pengamatan (line transect sampling) (Subcommittee
on Conservation of Natural Population 1981) dengan luas habitat
representative yang telah diperoleh sebelumnya oleh TNGP, yaitu
5.399 ha atau 53,99 km2. Adapun formulasinya adalah sebagai
berikut: P = D.LREP, dimana P=Estimasi populasi
(individu), D=Kepadatan populasi (individu / km2), dan LREP=Luas
habitat representatif ( 53,99 km2)
Komposisi Kelompok
Komposisi kelompok dirangkum berdasarkan
data populasi yang diperoleh pada saat pengamatan populasi Owa Jawa di
jalur-jalur pengamatan. Data yang digunakan adalah jumlah total
individu, jumlah jantan dan betina, serta pendugaan kelas umur satwa.
Analisis komposisi kelompok dilakukan secara deskriptif.
Tingkah Laku
Pengamatan dan pengumpulan data
aktivitas Owa Jawa dilakukan dengan menggunakan metode scan sampling
(Altman 1974) yaitu pencatatan tingkah laku setiap individu kelompok
yang menjadi target pengamatan pada interval waktu 5 menit selama 4 jam
pada pagi hari dan 4 jam pada sore hari. Data tingkah laku individu dan
kelompok Owa Jawa dianalisis secara deskriptif untuk menjelaskan
fenomena yang ditemui selama penelitian dilakukan.
Permasalahan Habitat dan
Populasi Owa Jawa di TNGP
Permasalahan habitat dan populasi Owa
Jawa di TNGP yang ditemui atau diketahui, baik secara langsung (hasil
pengamatan langsung) maupun secara tidak langsung (hasil wawancara
dengan para pihak atau dari laporan tertulis) selama kegiatan penelitian
dihimpun dan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Habitat
Komposisi Vegetasi
Pada lokasi penelitian di kawasan TNGP
ditemukan 121 jenis vegetasi di zona inti dan 103 jenis vegetasi di zona
pemanfaatan. Adapun pada tingkat pohon ditemukan 61 jenis pohon di
zona inti dan 59 jenis di zona pemanfaatan. Jumlah jenis pohon yang
lebih banyak ditemukan di zona inti daripada jumlah jenis pohon yang
ditemukan di zona pemanfaatan menunjukkan bahwa zona inti di kawasan
TNGP merupakan kawasan yang masih belum banyak mengalami gangguan akibat
berbagai aktivitas manusia, sehingga jenis-jenis pohon di zona inti ini
dapat terjaga kelestariannya.
Jenis pohon yang mendominasi zona inti
dan memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi secara
berturut-turut adalah sebagai berikut: Schima wallichii (41,88
%), Lithocarpus indutus (26,09 %), Castanopsis javanica
(15,50 %), Elaeocarpus pierrei (13,14 %), dan Vernonia
arborea (12,92 %). Jenis pohon yang mendominasi zona pemanfaatan
dan memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi secara
berturut-turut adalah sebagai berikut: Castanopsis javanica
(49,03 %), Schima wallichii (42,23 %), Agathis dammara
(29,26 %), Altingia excelsa (16,76 %), Elaeocarpus pierrei
(15,35 %).
Pohon di zona inti yang memiliki
dominansi terbesar adalah Schima wallichii, yaitu sebesar 3,92 m2/ha
dengan dominansi relatif sebesar 16,24 %, sedangkan jenis pohon di zona
pemanfaatan yang memiliki dominansi terbesar adalah Castanopsis
javanica, yaitu sebesar 6,94 m2/ha dengan dominansi
relatif sebesar 22,48 %.
Diketahui ada lima jenis pohon pakan dan
satu jenis pohon tidur yang mendominasi zona inti dengan INP tertinggi,
yaitu Schima wallichii, Lithocarpus indutus, Castanopsis
javanica, Elaeocarpus pierrei, dan Vernonia arborea.
Pada zona pemanfaatan, ada empat jenis pohon pakan dan satu jenis pohon
tidur dengan INP tertinggi, yaitu Castanopsis javanica, Schima
wallichii, Altingia excelsa dan Elaeocarpus pierrei
(pohon pakan) serta Altingia excelsa yang merupakan
pohon tidur Owa Jawa. Dominansi pohon pakan dan pohon tidur Owa Jawa di
zona inti dan di zona pemanfaatan mengindikasikan bahwa kondisi habitat
Owa Jawa di kawasan TNGP masih baik.
Dilihat dari keanekaragaman jenis pohon
yang terdapat di kawasan TNGP berdasarkan Indeks Keanekaragaman
Shannon-Wiener (H’), maka diketahui bahwa keanekaragaman jenis pohon
pada zona inti (3,60), lebih tinggi dibandingkan zona pemanfaatan (3,29)
(Tabel 1). Semakin tinggi keanekaragaman jenis vegetasi pada suatu
kawasan, maka semakin stabil pula kondisi vegetasi di kawasan tersebut.
Demikian pula sebaliknya, semakin rendah keanekaragaman jenis vegetasi
pada suatu kawasan, maka semakin rentan pula kondisi vegetasi di kawasan
tersebut.
Tabel 1. Parameter Vegetasi Tingkat
Pohon sebagai Habitat Owa Jawa di TNGP
Zona | Parameter | Nilai |
Zona Inti | Jumlah jenis
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis |
61
3,60 0,88 |
Zona Pemanfaatan | Jumlah jenis
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis |
59
3,29 0,81 |
Indeks Kemerataan Jenis Pohon (J’) yang
dimiliki oleh zona inti (0,88) lebih tinggi dibandingkan dengan zona
pemanfaatan (0,81)(Tabel 1). Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis pohon
pada zona inti lebih merata penyebarannya dibandingkan dengan zona
pemanfaatan. Jenis pepohonan yang menyebar merata dalam suatu kawasan
membuat kawasan tersebut lebih stabil sebagai habitat Owa Jawa, utamanya
pada jenis-jenis yang merupakan pohon pakan dan pohon tidur.
Pohon Pakan dan Pohon Tidur Owa
Jawa
Diketahui bahwa pada kawasan TNGP
terdapat 44 jenis pohon pakan Owa Jawa yang merupakan anggota dari 24
Famili. Bagian vegetasi yang dijadikan makanan Owa Jawa adalah daun
muda, buah, dan bunga. Pada zona inti TNGP terdapat 34 jenis pohon
pakan sedangkan pada zona pemanfaatan terdapat 33 jenis.
Pada lokasi penelitian terdapat 17 jenis
vegetasi yang merupakan tempat tidur Owa Jawa, yang tergolong ke dalam 7
familia. Pada zona inti TNGP terdapat 14 jenis pohon tidur sedangkan
pada zona pemanfaatan terdapat 12 jenis.
Permudaan Vegetasi
Berdasarkan hasil penelitian dapat
diketahui bahwa jumlah jenis vegetasi di zona inti pada tingkat
pertumbuhan semai, pancang, dan tiang secara berturut-turut adalah 65
jenis, 82 jenis, dan 45 jenis. Sedangkan jumlah jenis vegetasi di zona
pemanfaatan pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang secara
berturut-turut adalah 62 jenis, 63 jenis, dan 39 jenis. Lebih banyaknya
jumlah jenis vegetasi pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona
inti apabila dibandingkan dengan jumlah jenis vegetasi pada semua
tingkat pertumbuhan vegetasi di zona pemanfaatan, menunjukkan bahwa
kondisi vegetasi di zona inti lebih stabil daripada kondisi vegetasi di
zona pemanfaatan. Hal tersebut dikarenakan lebih kecilnya tingkat
gangguan terhadap vegetasi yang terdapat di zona inti daripada tingkat
gangguan terhadap vegetasi yang terdapat di zona pemanfaatan.
Lebih stabilnya kondisi vegetasi yang
terdapat di zona inti daripada kondisi vegetasi yang terdapat di zona
pemanfaatan juga dapat terlihat dari nilai Indeks Keanekaragaman Jenis
Shannon-Wiener pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona inti yang
lebih besar apabila dibandingkan dengan nilai Indeks Keanekaragaman
Jenis Shannon-Wiener pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona
pemanfaatan.
Berdasarkan hasil penelitian juga dapat
diketahui nilai indeks kemerataan jenis vegetasi pada tingkat
pertumbuhan semai, pancang, dan tiang di zona inti secara berturut-turut
adalah sebesar 0,89; 0,91; dan 0,93. Sedangkan nilai indeks kemerataan
jenis vegetasi pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang di
zona pemanfaatan secara berturut-turut adalah sebesar 0,91; 0,92; dan
0,92. Secara keseluruhan, nilai indeks kemerataan jenis vegetasi pada
semua tingkat pertumbuhan vegetasi baik di zona inti maupun di zona
pemanfaatan cenderung tinggi. Nilai indeks kemerataan jenis vegetasi
yang cenderung tinggi ini mengindikasikan bahwa keseimbangan komunitas
jenis di kawasan tersebut yang berfungsi sebagai habitat Owa Jawa
cenderung seimbang dan stabil.
Berdasarkan hasil penelitian ini, Secara
keseluruhan dapat dilihat bahwa vegetasi sumber pakan dan tempat tidur
Owa Jawa tersedia pada semua tingkat permudaan, hal tersebut menunjukan
regenerasi pohon pakan dan pohon tidur yang cukup baik sehingga dapat
menjamin pemenuhan kebutuhan hidup Owa Jawa di TNGP.
Karakteristik Populasi
Distribusi Populasi
Keberadaan Owa Jawa dapat diidentifikasi
di seluruh lokasi penelitian, baik pada zona inti maupun zona
pemanfaatan, kecuali pada resort Selabintana dan Gunung Putri. Dari 18
jalur yang diamati, Owa Jawa dapat diidentifikasi pada 11 jalur
sedangkan pada 7 jalur lainnya tidak teridentifikasi. Tidak
teridentifikasinya Owa Jawa pada beberapa jalur, utamanya di wilayah
Selabintana dan Gunung Putri, diduga disebabkan oleh berbagai hal
seperti: (1) perambahan kawasan, (2) aktivitas manusia ataupun
pengunjung yang meningkat serta (3) adanya perubahan wilayah jelajah
dari kelompok yang sebelumnya ada. Hasil pengamatan di lokasi
menunjukkan bahwa distribusi Owa Jawa tersebar pada beberapa ketinggian
yaitu mulai ketinggian 700 sampai 1.600 m dpl (Situ Gunung, Cimungkat,
Bodogol, Cisarua, Cibodas). Frekuensi tertinggi perjumpaan Owa Jawa
adalah di ketinggian 700 – 806,4 m dpl pada wilayah Bodogol.
Kepadatan Populasi
Kepadatan populasi Owa jawa secara
keseluruhan di lokasi penelitian adalah 6,43 individu/km2 dan
1,93 kelompok/km2. Kepadatan tertinggi pada tingkat resor
terdapat pada resor Bodogol, yaitu 17,08 individu/km2 dan
5,00 kelompok/km2. Kepadatan Owa Jawa pada Zona Inti, untuk
individu 7,14 individu/km2 dan untuk kelompok 2,30 kel/km2,
lebih tinggi dibandingkan dengan Zona Pemanfaatan, untuk individu 5,69
individu/km2 dan untuk kelompok 1,54 kelompok/km2.
Estimasi Populasi
Berdasarkan hasil perhitungan kepadatan
populasi Owa Jawa di TNGP secara keseluruhan (individu 6,43 individu/km2
dan kelompok 1,93 kelompok/km2), maka estimasi populasi Owa Jawa di
TNGP adalah 347 individu dan 105 kelompok.
Ukuran dan Komposisi Kelompok
Ukuran kelompok Owa Jawa berada pada
kisaran 2 – 5 individu/kelompok. Kelompok berukuran 2 individu dan 4
individu mempunyai jumlah terbanyak (masing-masing 4 kelompok) dengan
persentase 30,77 %. Tidak ada kelompok berukuran lebih dari 5 individu
yang ditemui selama penelitian. Rata-rata ukuran kelompok di TNGP
adalah 3,23 individu/kelompok secara keseluruhan, 2,88 individu/kelompok
untuk zona Inti dan 3,80 individu/kelompok untuk zona Pemanfaatan.
Berdasarkan kelompok umur, induk jantan dan induk betina mempunyai
persentase terbesar dibandingkan muda dan anak, masing-masing sebesar
30,95 % (atau 1,86 individu per lokasi). Berdasarkan lokasi, persentase
individu terbesar ada di Bodogol sebesar 47,62 %. Ada 13 kelompok Owa
Jawa yang ditemui pada 5 resor di TNGP.
Permasalahan Habitat dan
Populasi Owa Jawa di TNGP
Beberapa permasalahan yang terjadi di
dalam kawasan dan mengancam keberadaan habitat dan populasi Owa Jawa di
TNGP diantaranya adalah : (1) Illegal Logging di dalam kawasan
hutan TNGP ; (2) Perambahan kawasan hutan TNGP ; (3) Aktivitas
pengunjung di dalam dan sekitar kawasan TNGP; (4) Perburuan liar di
kawasan hutan TNGP; (5) Pengambilan kayu bakar oleh masyarakat sekitar;
(6) Pengambilan hasil hutan bukan kayu dari dalam kawasan TNGP.
Rekomendasi Pengelolaan
Pengelolaan Owa Jawa mutlak dilakukan
mengingat Owa Jawa merupakan salah satu jenis primata endemik yang
sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungannya. Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dalam pengelolaan Owa Jawa
di TNGP dapat direkomendasikan tiga hal utama kegiatan pengelolaan yang
dapat menjamin kelestarian habitat dan populasi Owa Jawa di TNGP, yaitu:
(1) Pengelolaan kawasan TNGP, yang meliputi kegiatan restorasi kawasan
yang terdegradasi dan terfragmentasi, restorasi kawasan yang bervegetasi
sejenis agar dapat kembali pada kondisi aslinya, peningkatan pengamanan
kawasan, pelaksanaan pemantauan rutin/monitoring terhadap populasi Owa
Jawa; (2) Pengelolaan masyarakat sekitar TNGP yang dilakukan melalui
pengembangan daerah penyangga (buffer zone) di luar kawasan
TNGP dengan tipe penyangga hutan dan tipe penyangga ekonomi; dan (3)
Pengelolaan pengunjung TNGP, yang meliputi kegiatan pengaturan
pengunjung yang lebih ketat, pembinaan terhadap pengunjung mengenai tata
cara beraktivitas yang ramah lingkungan di dalam kawasan, dan
pengalihan jalur-jalur wisata yang berada pada daerah jelajah Owa Jawa
ke lokasi lain.
Simpulan
- Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) merupakan habitat yang sesuai bagi populasi Owa Jawa, karena hutan di kawasan tersebut memiliki tajuk yang relatif tertutup, tajuk pohon memiliki percabangan horizontal, dan ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur yang relatif memadai untuk menunjang keberadaan populasi Owa Jawa.
- Estimasi populasi Owa Jawa di TNGP adalah 347 individu .
- Pada umumnya, kepadatan populasi Owa Jawa di zona inti lebih tinggi daripada di zona pemanfaatan. Lebih rendahnya kepadatan populasi Owa Jawa di zona pemanfaatan disebabkan oleh aktivitas manusia serta fragmentasi habitat. Adapun kepadatan tertinggi populasi Owa Jawa dapat dijumpai di wilayah Bodogol.
- Keberadaan populasi Owa Jawa di TNGP tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas habitat, tetapi dipengaruhi pula oleh aktivitas manusia di dalamnya.
Saran
- Perlu adanya kajian terhadap lokasi -lokasi yang sebelumnya terdapat populasi Owa Jawa namun pada saat ini tidak ditemukan lagi populasi Owa Jawa tersebut (khususnya Resort Selabintana) agar dapat diketahui faktor-faktor penyebabnya, sehingga dapat digunakan untuk mengantisipasi hal tersebut di lokasi lainnya.
- Penelitian lanjutan tentang habitat preferensial Owa Jawa dan pola penggunaan ruang dan waktu bagi Owa Jawa perlu untuk segera dilakukan agar dapat menunjang pengelolaan Owa Jawa di kawasan konservasi, khususnya di kawasan TNGP.
- Perlu dilakukan pengamatan populasi Owa Jawa secara kontinyu (time series) dan perlu dilakukan penyusunan database populasi Owa Jawa, sehingga dapat dipantau perubahan populasi Owa Jawa yang terjadi.
- Perlu adanya komitmen dan kerjasama secara terpadu diantara stakeholders yang terkait dengan kegiatan pelestarian Owa Jawa agar kegiatan pelestarian Owa Jawa tersebut dapat direncanakan dan diimplementasikan dengan tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Altman J. 1974. Observational Study
of Behavior : Sampling Methods. Illinois, USA : Alle Laboratory of
Animal Behavior.
Asquith NM. 1995. Javan Gibbon
Conservation: Why habitat protection is crucial. Tropical
Biodiversity 3:63-65.
[CI Indonesia] Conservation
International Indonesia. 2000. Javan gibbon website. http://www.conservation.or.id/javangibbon.
Eudey A, Members of the Primate
Specialist Group. 2000. Hylobates moloch. In: IUCN 2006. 2006 IUCN Red
List of Threatened Species. <www.iucnredlist.org>.
Downloaded 30 August 2007.
[IUCN] World Conservation Union. 2000.
Red List: Criterias and Categories (ver. 2.3.). Website : http://www.iucnredlist.org. Downloaded:
Maret 2007.
Kappeler M. 1984. Diet and Feeding
Behaviour of the Moloch gibbon. Diacu dalam : Preuschoft et al. (eds):
Evolutionary and Behavioural Biology. Scotland : Edinburgh University
Press.
Krebs J.C. 1978. Ecology: The
Experimental Analysis of Distribution and Abudance. Harper and Row
Publisher.
Massicot P. 2006. Animal info – Silvery
gibbon. http://www.animalinfo.org/
species/primate/hylomolo.htm. Downloaded: 8 Juni 2007.
Nijman V, Sozer R. 1995. Recent
observations of the Grizzled leaf monkey (Presbytis comata) and
an extension of the range of the javan gibbon (Hylobates moloch)
in Central Java. Tropical Biodiversity 3(1):45-48.
Nijman V, van Balen B. 1998. A faunal
survey of Dieng Mountains, Central Java, Indonesia: Distribution and
conservation of endemic primate taxa. Oryx 32:145.
Nijman V. 2004. Conservation of the
Javan gibbon Hylobates moloch: population estimates, local
extinctions, and conservation priorities. The Raffles Bulletin of
Zoology 52(1):271-280.
Santosa Y. 1995. Konsep Ukuran
Keanekaragaman Hayati di Hutan Tropika. Jurusan Konservasi Sumberdaya
Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi
Hutan Indonesia. Bogor : Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas
Kehutanan IPB.
Subcommittee on Conservation of Natural
Population. 1981. Techniques For the Study of Primate Population
Ecology. Washington, DC: National Academic Press.
Langganan:
Postingan (Atom)