Rabu, 08 Mei 2013

Owa Jawa Hewan Yang Setia

Owa jawa (Hylobates moloch) adalah sejenis primata anggota suku Hylobatidae. Dengan populasi tersisa antara 1.000 – 2.000 ekor saja, kera ini adalah spesies owa yang paling langka di dunia. Owa jawa menyebar terbatas (endemik) di Jawa bagian barat. Owa jawa tidak memiliki ekor, dan tangannya relatif panjang dibandingkan dengan besar tubuhnya. Tangan yang panjang ini diperlukannya untuk berayun dan berpindah di antara dahan-dahan dan ranting di tajuk pohon yang tinggi, tempatnya beraktifitas sehari-hari. Warna tubuhnya keabu-abuan, dengan sisi atas kepala lebih gelap dan wajah kehitaman.

Kera ini hidup dalam kelompok-kelompok kecil semacam keluarga inti, terdiri dari pasangan hewan jantan dan betina, dengan satu atau dua anak-anaknya yang masih belum dewasa. Owa jawa merupakan pasangan yang setia, monogami. Rata-rata owa betina melahirkan sekali setiap tiga tahun, dengan masa mengandung selama 7 bulan. Anak-anaknya disusui hingga usia 18 bulan, dan terus bersama keluarganya sampai dewasa, yang dicapainya pada umur sekitar 8 tahun. Owa muda kemudian akan memisahkan diri dan mencari pasangannya sendiri.


Owa jawa adalah hewan diurnal dan arboreal, sepenuhnya hidup di atas tajuk pepohonan. Terutama memakan buah-buahan, daun dan bunga-bungaan, kelompok kecil owa jawa menjelajahi kanopi hutan dengan cara memanjat dan berayun dari satu pohon ke lain pohon dengan mengandalkan kelincahan dan kekuatan lengannya. Berat tubuhnya rata-rata mencapai 8 kg.
Kelompok ini akan berupaya mempertahankan teritorinya, biasanya luasnya mencapai 17 hektare, dari kehadiran kelompok lain. Pagi-pagi sekali, dan juga di waktu-waktu tertentu di siang dan sore hari, owa betina akan memperdengarkan suaranya untuk mengumumkan wilayah teritorial keluarganya. Dari suara yang bersahut-sahutan antar kelompok, dan terdengar hingga jarak yang jauh ini, para peneliti dapat memperkirakan jumlah kelompok owa yang ada, dan selanjutnya menduga jumlah individunya.

Spesies ini hanya didapati di bagian barat Pulau Jawa, yakni di hutan-hutan dataran rendah dan hutan pegunungan bawah. Penyebaran paling timur adalah di wilayah Gunung Slamet serta di jajaran Pegunungan Dieng sebelah barat di wilayah Pekalongan.

Populasi Owa Jawa Masih Banyak di Ujung Kulon

REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG -- Populasi owa jawa, salah satu hewan yang harus diprioritaskan pelestariannya, di kawasan Taman Nasional Ujung Kulong (TNUK) Pandeglang, Provinsi Banten, masih banyak.

"Dari hasil pantauan kita, populasi owa jawa masih banyak, dengan habitat utamanya di Gunung Honje, yang masih masuk dalam kawasan TNUK," kata Humas Balai Taman Nasional Ujung Kulon Pandeglang Indra di Pandeglang, Kamis (7/3).

Owa jawa, kata dia, binatang jenis primata dan merupakan hewan endemik TNUK yang oleh pemerintah dimasukkan menjadi salah satu dari 14 hewan yang harus diprioritasnya pelestariannya.

"Pemerintah menetapkan 14 jenis hewan yang harus diprioritaskan pelestariannya, dan tiga diantaranya hidup di kawasan TNUK, yakni badak jawa atau badak bercula satu, banteng dan owa jawa," katanya.

Indra menjelaskan masih banyaknya populasi owa jawa di TNUK karena ketersediaan pakannya cukup, juga aman dari gangguan yang mengancam keberadaannya, termasuk dari tangan jahil manusia.

"Keberadaan owa jawa juga bisa dijadikan indikasi dari kondisi kawasan. Kalau hewan itu masih banyak maka kawasan masih aman dari gangguan hutan seperti pembalakan liar, dan sebaliknya kalau binatang itu sedikit berarti kawasan sudah tidak aman lagi," katanya.

Saat ini, kata dia, populasi owa jawa di TNUK masih banyak, berarti bisa disimpulkan kawasan taman nasional yang merupakan hutan tropis terbesar di Pulau Jawa tersebut masih aman dari berbagai macam gangguan hutan.

Balai TNUK, kata dia, telah membentuk tim peduli satwa yang anggotanya dari petugas Balai TNUK dari masyarakat dengan tugas utama melakukan pengawasan terhadap populasi dan perilaku satwa di kawasan itu.

"Tim tersebut sudah kita latih untuk melakukan pengawasan terhadap satwa yang ada di TNUK, terutama badak jawa, banteng dan owa jawa," ujarnya menjelaskan.

OWA JAWA, Mereka Semakin Terancam !

diposting oleh yayasan Owa jawa Rabu, 22 Desember 2010 11:53

 Owa Jawa (Hylobates moloch) - Javan Silvery Gibbon, merupakan salah satu jenis primata endemik di Indonesia yang hanya tinggal di hutan-hutan pulau Jawa khususnya di Jawa bagian barat dan sebagian Jawa Tengah. Makanannya berupa buah, daun dan serangga. Satu keluarga owa jawa umumnya terdiri dari sepasang induk dan beberapa anak yang tinggal dalam teritori mereka. Nyanyian indah betina owa jawa di pagi hari masih terdengar diantara kabut hutan pegunungan di pulau Jawa. Sayangnya, nyanyian mereka akan hilang selamanya apabila tekanan terhadap kehidupan mereka di alam tidak pernah berhenti.
Dalam daftar satwa terancam (IUCN-species threatened red list), owa jawa termasuk kategori terancam punah (endangered species). Kehidupan mereka di alam semakin mengkhawatirkan karena kehilangan habitat alami hingga mencapai 96%. Beberapa hasil survei perkiraan populasi di alam, tersisa lebih kurang 4,000 individu yang berada di hutan-hutan konservasi dan terdapat populasi kecil yang terpisah dan terisolasi yang membuka peluang bagi mereka mengalami kepunahan. Ancaman kepunahan semakin tinggi dengan dengan adanya praktek perburuan dan perdagangan dimana lebih dari 100 individu owa jawa telah dijadikan sebagai satwa peliharaan (pet). Fakta inilah yang mendorong Yayasan Owa Jawa untuk melakukan tindakan nyata dalam upaya penyelamatan satwa ini dari kepunahan. Kini sebagian dari mereka yang pernah menjadi satwa peliharaan tersebut telah diselamatkan dan diupayakan untuk dapat kembali ke alam melalui program rehabilitasi di Javan Gibbon Center, yang merupakan salah satu program Yayasan Owa Jawa.

Untuk melakukan kegiatan ex-situ sebagai upaya konservasi terhadap owa jawa, perlu adanya beberapa kerjasama antar pihak yang memiliki perhatian akan kelestarian owa jawa. Program perencanaan dalam usaha konservasi owa jawa telah beberapa kali dilakukan dalam pertemuan-pertemuan para ahli primata tingkat nasional maupun international. Rangkaian berbagai pertemuan-pertemuan tersebut yang merupakan dasar atau cikal bakal terbentuknya Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa atau yang lebih dikenal sebagai Javan Gibbon Center (JGC).

Pada bulan Mei 1994 di Cisarua Bogor, berkumpul lebih dari 50 ahli primata dalam suatu lokakarya PHVA (Population and Habitat Viability Analysis) untuk owa jawa dan surili yang difasilitasi oleh  IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group. Lokakarya tersebut merupakan kerjasama antara para ahli primata Indonesia, baik dari kalangan pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga konservasi ex-situ, maupun lembaga international seperti  Fota Wildlife Park, Silvery Gibbon Project-Perth Zoo, Conservation International, European Endangered Species Program, American Zoo and Aquarium Association, and the London, Twycross, Paignton, Edinburgh, Duisburg, Minnesota and Milwaukee County Zoos  (Supriatna et al, 1994). Rekomendasi dari lokakarya tersebut antara lain perlu adanya studbook untuk owa jawa, persiapan manual penanganan owa jawa di ex-situ, pelatihan bagi lokal staf untuk kesehatan dan tehnik penanganan satwa, pengembangan populasi dalam penangkaran, dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap konservasi owa jawa dan habitatnya (Supriatna et al, 1994).

Menindaklanjuti hasil lokakarya PHVA tersebut, pada bulan Agustus tahun 1997  telah diadakan lokakarya untuk membahas khusus tentang penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa, yang hasilnya merupakan pengalaman-pengalaman dari para peneliti mengenai populasi, penyakit owa jawa, serta pengalaman dari berbagai pihak yang melakukan konservasi ex-situ bagi keluarga owa pada umumnya. Spesifik topik dalam diskusi meliputi kriteria pemilihan lokasi, prosedur karantina dan kebijakan dokter hewan, disain kandang, nutrisi, sumber populasi, rehabilitasi dan program pendidikan dan penelitian. Para ahli dalam pertemuan tersebut mendukung diadakannya pusat penyelamatan dan rehabilitasi untuk owa jawa sebagai upaya konservasi ex-situ (Supriatna dan Manullang, 1997). Selanjutnya upaya mewujudkan program penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa, juga diperkuat oleh para ahli primata didalam kongres IPS (International Primatological Society) ke 18 yang berlangsung pada tahun 2001 di Adelaide, Australia, yang kemudian melahirkan kerjasama antara Conservation International Indonesia dan Silvery Gibbon Project-Perth Zoo dalam program penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa di Indonesia.

Owa Jawa Berhasil Melahirkan di JGC

diposting oleh yayasan Owa jawa Rabu, 22 Desember 2010 11:47

 Pertama kalinya, pasangan owa Jawa (Hilobates moloch) yang di rehabilitasi di Lokasi The Javan Gibbon Centre, atau Pusat Rehabilitasi Owa Jawa, yang terletak di Bodogol, Taman Nagional Gunung Gede Pangrango, Bogor, melahirkan.

Jabang bayi owa yang ditunggu tersebut  lahir dengan selamat hari Rabu, 21 Juli 2010 pukul 4 dini hari.

Seperti diketahui, owa jawa merupakan satwa langka yang dilindungi dan mempunyai perilaku berpasangan setia seumur hidup (monogamy), dan tidak mudah memasangakan owa jawa di habitat bukan aslinya.

Bayi owa jawa yang baru lahir tersebut berasal dari pasangan owa jawa yang saat ini masih dalam proses rehabilitasi sebelum dilepasliarkan ke habitat alaminya. Pasangan owa jawa yang menjadi induk dari bayi  tersebut adalah diberi nama Jowo dan Bombom.  Kedua pasangan ini sebelum berada di JGC, mereka berasal dari Pusat Perawatan Satwa (PPS) Cikananga yang sebelumnya menjadi peliharaan masyarakat di Bandung.

Jowo berkelamin jantan diperkiran lahir pada tahun 2002 dan Bombon berkelamin betina dengan perkiraan lahir pada tahun 1998. Mereka berada di JGC sejak bulan April 2008. “Pada saat berada di JGC mereka belum menjadi pasangan, dan di JGC lah mereka dipertemukan melalui proses penjodohan,” ujar Anton Ario, Program Manager Conservation International yang juga bertugas mengawasi dan sebagai ahli primata owa Jawa di JGC.

Anton menjelaskan, kedua pasangan ini dijodohkan di kandang pada bulan Juni 2008, mereka resmi menjadi pasangan setelah diketahui saling memiliki kecocokan. Sejak itulah mereka menempati kandang pasangan di JGC. Selama berada dalam kandang pasangan, mereka terus menunjukkan peningkatan ikatan dalam berhubungan, hal tersebut ditandai dengan terjadinya kopulasi sehingga menghasilkan pembuahan.

Sejak bulan Januari 2010, diketahu Bombom tidak lagi mengalami menstruasi, dan setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter hewan JGC, Bombom dinyatakan bunting. Pengawasan terhadap Bombom terus ditingkatkan oleh staf JGC setelah mengetahui kebuntingan Bombom. 

“Perlu pengawasan mengingat owa Jawa termasuk satwa yang memiliki sensitifitas tinggi akan gangguan. Terhitung 7 bulan masa kehamilan, akhirnya terjadi Bombom melahirkan di pusat  rehabilitasi (JGC).” Hal ini tentu menggembirakan,   setelah terjadi dua kali kegagalan kelahiran oleh 2 individu betina lainnya di JGC yang mengalami keguguran.” Tambah Jatna Supriatna, ahli primata yang juga sebagai Vice President Conservation International.

JGC  bekerjasama dengan Yayasan Owa Jawa (Javan Gibbon Foundation),  Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Conservation International serta Margot Marsh Foundation, menyelenggarakan rehabilitasi dalam upaya mengembalikan owa Jawa yang di sita dari masyarakat, untuk dikembalikan ke alam.
Kini, satu keluarga owa Jawa telah terbentuk. Apabila bayi tersebut telah memasuki usia 1 tahun, kemungkinan besar keluarga baru tersebut akan dilepasliarkan untuk memulai kehidupan baru di habitat alami.

Habitat dan Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat

Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch Audebert 1797) merupakan salah satu jenis primata endemik yang dimiliki Indonesia, dengan wilayah penyebaran yang meliputi Jawa Barat dan Jawa Tengah.  Berdasarkan kategori IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) tahun 2000, Owa Jawa terancam punah dengan kategori kritis (critically endangered), artinya menghadapi resiko kepunahan sangat tinggi di alam.  Hal ini terjadi karena populasi Owa Jawa di alam mengalami tekanan akibat degradasi habitatnya (Eudey et al. 2000).
Tingkat keterancaman yang tinggi dari owa jawa di alam menyebabkan perlunya pengelolaan berdasarkan data yang lengkap terhadap habitat alami  dan populasi owa jawa yang ada. Habitat Owa Jawa merupakan kawasan hutan tropika dari dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian 0 – 1.600 m (Massicot 2001; CI Indonesia 2000).  Beberapa penelitian terdahulu (Kappeler 1984; Asquith et al. 1995; Nijman & Sozer 1995; Nijman & van Balen 1998; CI Indonesia 2000; Nijman 2004) telah mengidentifikasi beberapa kawasan hutan di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang merupakan habitat alami Owa Jawa, dimana sebagian besar di antaranya merupakan kawasan konservasi.  Salah satu habitat alami bagi Owa Jawa di Provinsi Jawa Barat adalah kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP).
Sebagai kawasan konservasi, TNGP merupakan habitat alami yang tepat dan aman bagi Owa Jawa mengingat kawasan ini mendapatkan perlindungan dan pengelolaan khusus sebagai taman nasional dan memiliki sumber daya yang memadai untuk mendukung populasi Owa Jawa yang ada.  Untuk itu, pengelolaan TNGP perlu dilakukan dengan cermat dimana keputusan manajemen diambil berdasarkan data dan informasi yang komperehensif, terkini dan akurat.  Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan populasi dan habitat Owa Jawa di TNGP.
Adapun tujuan  penelitian ini adalah untuk: (1) Menganalisis habitat Owa Jawa; (2) Mengkaji data dan informasi mengenai populasi Owa Jawa; (3) Mengkaji permasalahan habitat dan populasi yang berpengaruh terhadap keberadaan Owa Jawa di TNGP.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Propinsi Jawa Barat, yang meliputi 7 resort, yaitu: Resort Cisarua, Cimungkat, Bodogol, Situ Gunung, Selabintana, Gunung Putri, dan Cibodas. Pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan September 2007 sampai dengan Desember 2007.
Pengumpulan dan Analisis Data
Karakteristik Habitat
Analisis Vegetasi
Plot-plot penelitian ditempatkan pada beberapa resort yang mewakili seluruh wilayah pengelolaan yang ada serta dibagi berdasarkan zona pemanfaatan dan zona inti.  Pengumpulan data vegetasi di kawasan hutan TNGP dilakukan dengan menggunakan metode jalur berpetak (Soerianegara dan Indrawan 1998).
Pada lokasi penelitian diletakkan sebanyak 66 plot sampel, 33 pada zona inti dan 33 pada zona pemanfaatan. Pencatatan jenis vegetasi meliputi berbagai tingkat pertumbuhan: semai, pancang, tiang, pohon. Identifikasi dan analisa pohon pakan dan pohon tidur juga dilakukan di sepanjang jalur penelitian.
Selanjutnya, dari data tersebut dihitung Indeks Nilai Penting (INP), Keanekaragaman Jenis Vegetasi (H’), dan Kemerataan Jenis Vegetasi (J’).  INP untuk vegetasi tingkat pancang, tiang, dan pohon merupakan penjumlahan dari nilai-nilai kerapatan relatif (KR), dominasi relatif  (DR), dan frekuensi relatif (FR) atau INP = KR + FR + DR, sedangkan untuk vegetasi tingkat semai, INP = KR + FR.
Untuk mengukur keanekaragaman jenis vegetasi akan digunakan pendekatan indeks Keragaman Shannon-Wiener (Krebs 1978; Santosa 1995) dengan persamaan sebagai berikut: H’ = – ∑ Pi (ln Pi) ; dimana : H’ =  indeks Keragaman Shannon-Wiener, Pi =  proporsi jumlah individu ke-i (n) terhadap jumlah individu total (N), yaitu ni/N
Untuk mengukur tingkat kemerataan jenis tumbuhan pada seluruh petak contoh pengamatan akan digunakan pendekatan Indeks Kemerataan Pielou (1975) (Santosa, 1995) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: Dmax = ln S  dan J’ = H’ / Dmax ; dimana Dmax :  dominansi, S :  jumlah jenis, J’ :  nilai evenness (0-1), dan H’ :  indeks keragaman Shannon-Wiener
Karakteristik Populasi
Jalur Pengamatan Populasi
Pengamatan karakteristik populasi Owa Jawa dilakukan melalui survei dengan menggunakan metode jalur (line transect method) pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan sebelumnya. Penentuan lokasi pengamatan dilakukan berdasarkan informasi dari penelitian-penelitian sebelumnya serta informasi petugas Balai dan penduduk lokal, sehingga lokasi penelitian diharapkan mewakili seluruh habitat Owa Jawa di TNGP.
Jalur-jalur pengamatan ditempatkan di setiap lokasi secara acak dengan panjang jalur antara 2 – 3,5 km.  Lebar jalur pengamatan adalah 50 m ke arah kedua sisi jalur atau lebar total 100 m (0,1 km).
Distribusi Populasi
Distribusi populasi Owa Jawa di areal penelitian diperoleh dengan mengolah data perjumpaan yang diperoleh dengan menggunakan GPS receiver, kemudian dipetakan dengan menggunakan program ArcView GIS 3.3.,  Analisis data dilakukan secara deskriptif.
Kepadatan Populasi
Kepadatan populasi Owa Jawa ditentukan dengan menggunakan data jumlah individu dan kelompok Owa Jawa yang ditemukan pada jalur-jalur pengamatan dan dibagi dengan luas jalur pengamatan secara keseluruhan.  Adapun formulanya adalah sebagai berikut:  D= ∑ ind / Ltot, dimana D=Kepadatan (individu/km2), ∑ ind= Jumlah individu suatu jenis (individu), Ltot = Luas total jalur pengamatan (km2), Luas total plot pengamatan (areal penelitian) diperoleh dari: Ltot =       (P)(l)(ul), dimana Ltot =Luas total jalur pengamatan (km2),  P=Panjang jalur (km), l= Lebar jalur (km), u=Jumlah ulangan
Estimasi Populasi
Estimasi populasi Owa Jawa ditentukan dengan mengalikan angka kepadatan individu dan kelompok Owa Jawa yang ditemukan pada jalur-jalur pengamatan (line transect sampling) (Subcommittee on Conservation of Natural Population 1981) dengan luas habitat representative yang telah diperoleh sebelumnya oleh TNGP, yaitu 5.399 ha atau 53,99 km2.  Adapun formulasinya adalah sebagai berikut: P = D.LREP, dimana P=Estimasi populasi (individu), D=Kepadatan populasi (individu / km2), dan LREP=Luas habitat representatif ( 53,99 km2)
Komposisi Kelompok
Komposisi kelompok dirangkum berdasarkan data populasi yang diperoleh pada saat pengamatan populasi Owa Jawa di jalur-jalur pengamatan.  Data yang digunakan adalah jumlah total individu, jumlah jantan dan betina, serta pendugaan kelas umur satwa.  Analisis komposisi kelompok dilakukan secara deskriptif.
Tingkah Laku
Pengamatan dan pengumpulan data aktivitas Owa Jawa dilakukan dengan menggunakan metode scan sampling (Altman 1974) yaitu pencatatan tingkah laku setiap individu kelompok yang menjadi target pengamatan pada interval waktu 5 menit selama 4 jam pada pagi hari dan 4 jam pada sore hari.  Data tingkah laku individu dan kelompok Owa Jawa dianalisis secara deskriptif untuk menjelaskan fenomena yang ditemui selama penelitian dilakukan.
Permasalahan Habitat dan Populasi Owa Jawa di TNGP
Permasalahan habitat dan populasi Owa Jawa di TNGP yang ditemui atau diketahui, baik secara langsung (hasil pengamatan langsung) maupun secara tidak langsung (hasil wawancara dengan para pihak atau dari laporan tertulis) selama kegiatan penelitian dihimpun dan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Habitat
Komposisi Vegetasi
Pada lokasi penelitian di kawasan TNGP ditemukan 121 jenis vegetasi di zona inti dan 103 jenis vegetasi di zona pemanfaatan.  Adapun pada tingkat pohon ditemukan 61 jenis pohon di zona inti dan 59 jenis di zona pemanfaatan.  Jumlah jenis pohon yang lebih banyak ditemukan di zona inti daripada jumlah jenis pohon yang ditemukan di zona pemanfaatan menunjukkan bahwa zona inti di kawasan TNGP merupakan kawasan yang masih belum banyak mengalami gangguan akibat berbagai aktivitas manusia, sehingga jenis-jenis pohon di zona inti ini dapat terjaga kelestariannya.
Jenis pohon yang mendominasi zona inti dan memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi secara berturut-turut adalah sebagai berikut: Schima wallichii (41,88 %), Lithocarpus indutus (26,09 %), Castanopsis javanica (15,50 %), Elaeocarpus pierrei (13,14 %), dan Vernonia arborea (12,92 %).  Jenis pohon yang mendominasi zona pemanfaatan dan memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi secara berturut-turut adalah sebagai berikut: Castanopsis javanica (49,03 %), Schima wallichii (42,23 %), Agathis dammara (29,26 %), Altingia excelsa (16,76 %), Elaeocarpus pierrei (15,35 %).
Pohon di zona inti yang memiliki dominansi terbesar adalah Schima wallichii, yaitu sebesar 3,92 m2/ha dengan dominansi relatif sebesar 16,24 %, sedangkan jenis pohon di zona pemanfaatan yang memiliki dominansi terbesar adalah Castanopsis javanica, yaitu sebesar 6,94 m2/ha dengan dominansi relatif sebesar 22,48 %.
Diketahui ada lima jenis pohon pakan dan satu jenis pohon tidur yang mendominasi zona inti dengan INP tertinggi, yaitu Schima wallichii, Lithocarpus indutus, Castanopsis javanica, Elaeocarpus pierrei, dan Vernonia arborea.  Pada zona pemanfaatan, ada empat jenis pohon pakan dan satu jenis pohon tidur dengan INP tertinggi, yaitu Castanopsis javanica, Schima wallichii, Altingia excelsa dan Elaeocarpus pierrei (pohon pakan) serta Altingia excelsa yang merupakan pohon tidur Owa Jawa.  Dominansi pohon pakan dan pohon tidur Owa Jawa di zona inti dan di zona pemanfaatan mengindikasikan bahwa kondisi habitat Owa Jawa di kawasan TNGP masih baik.
Dilihat dari keanekaragaman jenis pohon yang terdapat di kawasan TNGP berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’), maka diketahui bahwa keanekaragaman jenis pohon pada zona inti (3,60), lebih tinggi dibandingkan zona pemanfaatan (3,29) (Tabel 1).  Semakin tinggi keanekaragaman jenis vegetasi pada suatu kawasan, maka semakin stabil pula kondisi vegetasi di kawasan tersebut.  Demikian pula sebaliknya, semakin rendah keanekaragaman jenis vegetasi pada suatu kawasan, maka semakin rentan pula kondisi vegetasi di kawasan tersebut.
Tabel 1.  Parameter Vegetasi Tingkat Pohon sebagai Habitat Owa Jawa di TNGP
Zona Parameter Nilai
Zona Inti Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
Indeks Kemerataan Jenis
61 3,60
0,88
Zona Pemanfaatan Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
Indeks Kemerataan Jenis
59 3,29
0,81
Indeks Kemerataan Jenis Pohon (J’) yang dimiliki oleh zona inti (0,88) lebih tinggi dibandingkan dengan zona pemanfaatan (0,81)(Tabel 1).  Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis pohon pada zona inti lebih merata penyebarannya dibandingkan dengan zona pemanfaatan.  Jenis pepohonan yang menyebar merata dalam suatu kawasan membuat kawasan tersebut lebih stabil sebagai habitat Owa Jawa, utamanya pada jenis-jenis yang merupakan pohon pakan dan pohon tidur.
Pohon Pakan dan Pohon Tidur Owa Jawa
Diketahui bahwa pada kawasan TNGP terdapat 44 jenis pohon pakan Owa Jawa yang merupakan anggota dari 24 Famili.  Bagian vegetasi yang dijadikan makanan Owa Jawa adalah daun muda, buah, dan bunga.  Pada zona inti TNGP terdapat 34 jenis pohon pakan sedangkan pada zona pemanfaatan terdapat 33 jenis.
Pada lokasi penelitian terdapat 17 jenis vegetasi yang merupakan tempat tidur Owa Jawa, yang tergolong ke dalam 7 familia.  Pada zona inti TNGP terdapat 14 jenis pohon tidur sedangkan pada zona pemanfaatan terdapat 12 jenis.
Permudaan Vegetasi
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa jumlah jenis vegetasi di zona inti pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang secara berturut-turut adalah 65 jenis, 82 jenis, dan 45 jenis.  Sedangkan jumlah jenis vegetasi di zona pemanfaatan pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang secara berturut-turut adalah 62 jenis, 63 jenis, dan 39 jenis.  Lebih banyaknya jumlah jenis vegetasi pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona inti apabila dibandingkan dengan jumlah jenis vegetasi pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona pemanfaatan, menunjukkan bahwa kondisi vegetasi di zona inti lebih stabil daripada kondisi vegetasi di zona pemanfaatan.  Hal tersebut dikarenakan lebih kecilnya tingkat gangguan terhadap vegetasi yang terdapat di zona inti daripada tingkat gangguan terhadap vegetasi yang terdapat di zona pemanfaatan.
Lebih stabilnya kondisi vegetasi yang terdapat di zona inti daripada kondisi vegetasi yang terdapat di zona pemanfaatan juga dapat terlihat dari nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona inti yang lebih besar apabila dibandingkan dengan nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona pemanfaatan.
Berdasarkan hasil penelitian juga dapat diketahui nilai indeks kemerataan jenis vegetasi pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang di zona inti secara berturut-turut adalah sebesar 0,89; 0,91; dan 0,93.  Sedangkan nilai indeks kemerataan jenis vegetasi pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang di zona pemanfaatan secara berturut-turut adalah sebesar 0,91; 0,92; dan 0,92.  Secara keseluruhan, nilai indeks kemerataan jenis vegetasi pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi baik di zona inti maupun di zona pemanfaatan cenderung tinggi.  Nilai indeks kemerataan jenis vegetasi yang cenderung tinggi ini mengindikasikan bahwa keseimbangan komunitas jenis di kawasan tersebut yang berfungsi sebagai habitat Owa Jawa cenderung seimbang dan stabil.
Berdasarkan hasil penelitian ini, Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa vegetasi sumber pakan dan tempat tidur Owa Jawa tersedia pada semua tingkat permudaan, hal tersebut menunjukan regenerasi pohon pakan dan pohon tidur yang cukup baik sehingga dapat menjamin pemenuhan kebutuhan hidup Owa Jawa di TNGP.
Karakteristik Populasi
Distribusi Populasi
Keberadaan Owa Jawa dapat diidentifikasi di seluruh lokasi penelitian, baik pada zona inti maupun zona pemanfaatan, kecuali pada resort Selabintana dan Gunung Putri.  Dari 18 jalur yang diamati, Owa Jawa dapat diidentifikasi pada 11 jalur sedangkan pada 7 jalur lainnya tidak teridentifikasi.  Tidak teridentifikasinya Owa Jawa pada beberapa jalur, utamanya  di wilayah Selabintana dan Gunung Putri, diduga disebabkan oleh berbagai hal seperti: (1) perambahan kawasan, (2) aktivitas manusia ataupun pengunjung yang meningkat serta (3) adanya perubahan wilayah jelajah dari kelompok yang sebelumnya ada.  Hasil pengamatan di lokasi menunjukkan bahwa distribusi Owa Jawa tersebar pada beberapa ketinggian yaitu mulai ketinggian 700 sampai 1.600 m dpl (Situ Gunung, Cimungkat, Bodogol, Cisarua, Cibodas).  Frekuensi tertinggi perjumpaan Owa Jawa adalah di ketinggian 700 – 806,4 m dpl pada wilayah Bodogol.
Kepadatan Populasi
Kepadatan populasi Owa jawa secara keseluruhan di lokasi penelitian adalah 6,43 individu/km2 dan 1,93 kelompok/km2.  Kepadatan tertinggi pada tingkat resor terdapat pada resor Bodogol, yaitu 17,08 individu/km2 dan 5,00 kelompok/km2.  Kepadatan Owa Jawa pada Zona Inti, untuk individu 7,14 individu/km2 dan untuk kelompok 2,30 kel/km2, lebih tinggi dibandingkan dengan Zona Pemanfaatan, untuk individu 5,69 individu/km2 dan untuk kelompok 1,54 kelompok/km2.
Estimasi Populasi
Berdasarkan hasil perhitungan kepadatan populasi Owa Jawa di TNGP secara keseluruhan (individu 6,43 individu/km2 dan kelompok 1,93 kelompok/km2), maka estimasi populasi Owa Jawa di TNGP adalah 347 individu dan 105 kelompok.
Ukuran dan Komposisi Kelompok
Ukuran kelompok Owa Jawa berada pada kisaran 2 – 5 individu/kelompok.    Kelompok berukuran 2 individu dan 4 individu mempunyai jumlah terbanyak (masing-masing 4 kelompok) dengan persentase 30,77 %.  Tidak ada kelompok berukuran lebih dari 5 individu yang ditemui selama penelitian.  Rata-rata ukuran kelompok di TNGP adalah 3,23 individu/kelompok secara keseluruhan, 2,88 individu/kelompok untuk zona Inti dan 3,80 individu/kelompok untuk zona Pemanfaatan.  Berdasarkan kelompok umur, induk jantan dan induk betina mempunyai persentase terbesar dibandingkan muda dan anak, masing-masing sebesar 30,95 % (atau 1,86 individu per lokasi).  Berdasarkan lokasi, persentase individu terbesar ada di Bodogol sebesar 47,62 %.  Ada 13 kelompok Owa Jawa yang ditemui pada 5 resor di TNGP.
Permasalahan Habitat dan Populasi Owa Jawa di TNGP
Beberapa permasalahan yang terjadi di dalam kawasan dan mengancam keberadaan habitat dan populasi Owa Jawa di TNGP diantaranya adalah : (1) Illegal Logging di dalam kawasan hutan TNGP ; (2) Perambahan kawasan hutan TNGP ; (3) Aktivitas pengunjung di dalam dan sekitar kawasan TNGP; (4) Perburuan liar di kawasan hutan TNGP; (5) Pengambilan kayu bakar oleh masyarakat sekitar; (6) Pengambilan hasil hutan bukan kayu dari dalam kawasan TNGP.
Rekomendasi Pengelolaan
Pengelolaan Owa Jawa mutlak dilakukan mengingat Owa Jawa merupakan salah satu jenis primata endemik yang sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungannya.  Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dalam pengelolaan Owa Jawa di TNGP dapat direkomendasikan tiga hal utama kegiatan pengelolaan yang dapat menjamin kelestarian habitat dan populasi Owa Jawa di TNGP, yaitu: (1) Pengelolaan kawasan TNGP, yang meliputi kegiatan restorasi kawasan yang terdegradasi dan terfragmentasi, restorasi kawasan yang bervegetasi sejenis agar dapat kembali pada kondisi aslinya, peningkatan pengamanan kawasan, pelaksanaan pemantauan rutin/monitoring terhadap populasi Owa Jawa; (2) Pengelolaan masyarakat sekitar TNGP yang dilakukan melalui pengembangan daerah penyangga (buffer zone) di luar kawasan TNGP dengan tipe penyangga hutan dan tipe penyangga ekonomi; dan (3) Pengelolaan pengunjung TNGP, yang meliputi kegiatan pengaturan pengunjung yang lebih ketat, pembinaan terhadap pengunjung mengenai tata cara beraktivitas yang ramah lingkungan di dalam kawasan, dan pengalihan jalur-jalur wisata yang berada pada daerah jelajah Owa Jawa ke lokasi lain.
Simpulan
  1. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) merupakan habitat yang sesuai bagi populasi Owa Jawa, karena hutan di kawasan tersebut memiliki tajuk yang relatif tertutup, tajuk pohon memiliki percabangan horizontal, dan ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur yang relatif memadai untuk menunjang keberadaan populasi Owa Jawa.
  2. Estimasi populasi Owa Jawa di TNGP adalah 347 individu .
  3. Pada umumnya, kepadatan populasi Owa Jawa di zona inti lebih tinggi daripada di zona pemanfaatan.  Lebih rendahnya kepadatan populasi Owa Jawa di zona pemanfaatan disebabkan oleh aktivitas manusia serta fragmentasi habitat.  Adapun kepadatan tertinggi populasi Owa Jawa dapat dijumpai di wilayah Bodogol.
  4. Keberadaan populasi Owa Jawa di TNGP tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas habitat, tetapi dipengaruhi pula oleh aktivitas manusia di dalamnya.
Saran
  1. Perlu adanya kajian terhadap lokasi -lokasi yang sebelumnya terdapat populasi Owa Jawa namun pada saat ini tidak ditemukan lagi populasi Owa Jawa tersebut (khususnya Resort Selabintana) agar dapat diketahui faktor-faktor penyebabnya, sehingga dapat digunakan untuk mengantisipasi hal tersebut di lokasi lainnya.
  2. Penelitian lanjutan tentang habitat preferensial Owa Jawa dan pola penggunaan ruang dan waktu bagi Owa Jawa perlu untuk segera dilakukan agar dapat menunjang pengelolaan Owa Jawa di kawasan konservasi, khususnya di kawasan TNGP.
  3. Perlu dilakukan pengamatan populasi Owa Jawa secara kontinyu (time series) dan perlu dilakukan penyusunan database populasi Owa Jawa, sehingga dapat dipantau perubahan populasi Owa Jawa yang terjadi.
  4. Perlu adanya komitmen dan kerjasama secara terpadu diantara stakeholders yang terkait dengan kegiatan pelestarian Owa Jawa agar kegiatan pelestarian Owa Jawa tersebut dapat direncanakan dan diimplementasikan dengan tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Altman J. 1974. Observational Study of Behavior : Sampling Methods. Illinois, USA : Alle Laboratory of Animal Behavior.
Asquith NM.  1995. Javan Gibbon Conservation: Why habitat protection is crucial. Tropical Biodiversity 3:63-65.
[CI Indonesia] Conservation International Indonesia. 2000. Javan gibbon website. http://www.conservation.or.id/javangibbon.
Eudey A, Members of the Primate Specialist Group.  2000. Hylobates moloch. In: IUCN 2006. 2006 IUCN Red List of Threatened Species. <www.iucnredlist.org>. Downloaded  30 August 2007.
[IUCN] World Conservation Union.  2000.  Red List: Criterias and Categories (ver. 2.3.).  Website : http://www.iucnredlist.orgDownloaded: Maret 2007.
Kappeler M. 1984. Diet and Feeding Behaviour of the Moloch gibbon. Diacu dalam : Preuschoft et al. (eds): Evolutionary and Behavioural Biology. Scotland : Edinburgh University Press.
Krebs J.C. 1978. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abudance. Harper and Row Publisher.
Massicot P. 2006. Animal info – Silvery gibbon. http://www.animalinfo.org/ species/primate/hylomolo.htm. Downloaded: 8 Juni 2007.
Nijman V, Sozer R. 1995. Recent observations of the Grizzled leaf monkey (Presbytis comata) and an extension of the range of the javan gibbon (Hylobates moloch) in Central Java. Tropical Biodiversity  3(1):45-48.
Nijman V, van Balen B.  1998. A faunal survey of Dieng Mountains, Central Java, Indonesia: Distribution and conservation of endemic primate taxa. Oryx 32:145.
Nijman V. 2004. Conservation of the Javan gibbon Hylobates moloch: population estimates, local extinctions, and conservation priorities. The Raffles Bulletin of Zoology 52(1):271-280.
Santosa Y. 1995. Konsep Ukuran Keanekaragaman Hayati di Hutan Tropika. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor : Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Subcommittee on Conservation of Natural Population.  1981. Techniques For the Study of Primate Population Ecology. Washington, DC: National Academic Press.