Owa jawa (Hylobates moloch) adalah sejenis primata anggota
suku Hylobatidae. Dengan populasi tersisa antara 1.000 – 2.000 ekor
saja, kera ini adalah spesies owa yang paling langka di dunia. Owa jawa
menyebar terbatas (endemik) di Jawa bagian barat. Owa jawa tidak
memiliki ekor, dan tangannya relatif panjang dibandingkan dengan besar
tubuhnya. Tangan yang panjang ini diperlukannya untuk berayun dan
berpindah di antara dahan-dahan dan ranting di tajuk pohon yang tinggi,
tempatnya beraktifitas sehari-hari. Warna tubuhnya keabu-abuan, dengan
sisi atas kepala lebih gelap dan wajah kehitaman.
Kera ini hidup
dalam kelompok-kelompok kecil semacam keluarga inti, terdiri dari
pasangan hewan jantan dan betina, dengan satu atau dua anak-anaknya yang
masih belum dewasa. Owa jawa merupakan pasangan yang setia, monogami.
Rata-rata owa betina melahirkan sekali setiap tiga tahun, dengan masa
mengandung selama 7 bulan. Anak-anaknya disusui hingga usia 18 bulan,
dan terus bersama keluarganya sampai dewasa, yang dicapainya pada umur
sekitar 8 tahun. Owa muda kemudian akan memisahkan diri dan mencari
pasangannya sendiri.
Owa jawa adalah hewan
diurnal dan arboreal, sepenuhnya hidup di atas tajuk pepohonan.
Terutama memakan buah-buahan, daun dan bunga-bungaan, kelompok kecil owa
jawa menjelajahi kanopi hutan dengan cara memanjat dan berayun dari
satu pohon ke lain pohon dengan mengandalkan kelincahan dan kekuatan
lengannya. Berat tubuhnya rata-rata mencapai 8 kg.
Kelompok ini akan
berupaya mempertahankan teritorinya, biasanya luasnya mencapai 17
hektare, dari kehadiran kelompok lain. Pagi-pagi sekali, dan juga di
waktu-waktu tertentu di siang dan sore hari, owa betina akan
memperdengarkan suaranya untuk mengumumkan wilayah teritorial
keluarganya. Dari suara yang bersahut-sahutan antar kelompok, dan
terdengar hingga jarak yang jauh ini, para peneliti dapat memperkirakan
jumlah kelompok owa yang ada, dan selanjutnya menduga jumlah
individunya.
Spesies ini hanya didapati di bagian barat Pulau
Jawa, yakni di hutan-hutan dataran rendah dan hutan pegunungan bawah.
Penyebaran paling timur adalah di wilayah Gunung Slamet serta di jajaran
Pegunungan Dieng sebelah barat di wilayah Pekalongan.
Rabu, 08 Mei 2013
Populasi Owa Jawa Masih Banyak di Ujung Kulon
REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG -- Populasi owa jawa, salah satu hewan yang
harus diprioritaskan pelestariannya, di kawasan Taman Nasional Ujung
Kulong (TNUK) Pandeglang, Provinsi Banten, masih banyak.
"Dari hasil pantauan kita, populasi owa jawa masih banyak, dengan habitat utamanya di Gunung Honje, yang masih masuk dalam kawasan TNUK," kata Humas Balai Taman Nasional Ujung Kulon Pandeglang Indra di Pandeglang, Kamis (7/3).
Owa jawa, kata dia, binatang jenis primata dan merupakan hewan endemik TNUK yang oleh pemerintah dimasukkan menjadi salah satu dari 14 hewan yang harus diprioritasnya pelestariannya.
"Pemerintah menetapkan 14 jenis hewan yang harus diprioritaskan pelestariannya, dan tiga diantaranya hidup di kawasan TNUK, yakni badak jawa atau badak bercula satu, banteng dan owa jawa," katanya.
Indra menjelaskan masih banyaknya populasi owa jawa di TNUK karena ketersediaan pakannya cukup, juga aman dari gangguan yang mengancam keberadaannya, termasuk dari tangan jahil manusia.
"Keberadaan owa jawa juga bisa dijadikan indikasi dari kondisi kawasan. Kalau hewan itu masih banyak maka kawasan masih aman dari gangguan hutan seperti pembalakan liar, dan sebaliknya kalau binatang itu sedikit berarti kawasan sudah tidak aman lagi," katanya.
Saat ini, kata dia, populasi owa jawa di TNUK masih banyak, berarti bisa disimpulkan kawasan taman nasional yang merupakan hutan tropis terbesar di Pulau Jawa tersebut masih aman dari berbagai macam gangguan hutan.
Balai TNUK, kata dia, telah membentuk tim peduli satwa yang anggotanya dari petugas Balai TNUK dari masyarakat dengan tugas utama melakukan pengawasan terhadap populasi dan perilaku satwa di kawasan itu.
"Tim tersebut sudah kita latih untuk melakukan pengawasan terhadap satwa yang ada di TNUK, terutama badak jawa, banteng dan owa jawa," ujarnya menjelaskan.
"Dari hasil pantauan kita, populasi owa jawa masih banyak, dengan habitat utamanya di Gunung Honje, yang masih masuk dalam kawasan TNUK," kata Humas Balai Taman Nasional Ujung Kulon Pandeglang Indra di Pandeglang, Kamis (7/3).
Owa jawa, kata dia, binatang jenis primata dan merupakan hewan endemik TNUK yang oleh pemerintah dimasukkan menjadi salah satu dari 14 hewan yang harus diprioritasnya pelestariannya.
"Pemerintah menetapkan 14 jenis hewan yang harus diprioritaskan pelestariannya, dan tiga diantaranya hidup di kawasan TNUK, yakni badak jawa atau badak bercula satu, banteng dan owa jawa," katanya.
Indra menjelaskan masih banyaknya populasi owa jawa di TNUK karena ketersediaan pakannya cukup, juga aman dari gangguan yang mengancam keberadaannya, termasuk dari tangan jahil manusia.
"Keberadaan owa jawa juga bisa dijadikan indikasi dari kondisi kawasan. Kalau hewan itu masih banyak maka kawasan masih aman dari gangguan hutan seperti pembalakan liar, dan sebaliknya kalau binatang itu sedikit berarti kawasan sudah tidak aman lagi," katanya.
Saat ini, kata dia, populasi owa jawa di TNUK masih banyak, berarti bisa disimpulkan kawasan taman nasional yang merupakan hutan tropis terbesar di Pulau Jawa tersebut masih aman dari berbagai macam gangguan hutan.
Balai TNUK, kata dia, telah membentuk tim peduli satwa yang anggotanya dari petugas Balai TNUK dari masyarakat dengan tugas utama melakukan pengawasan terhadap populasi dan perilaku satwa di kawasan itu.
"Tim tersebut sudah kita latih untuk melakukan pengawasan terhadap satwa yang ada di TNUK, terutama badak jawa, banteng dan owa jawa," ujarnya menjelaskan.
OWA JAWA, Mereka Semakin Terancam !
diposting oleh yayasan Owa jawa Rabu, 22 Desember 2010 11:53
Owa Jawa (Hylobates moloch) - Javan
Silvery Gibbon, merupakan salah satu jenis primata endemik di Indonesia
yang hanya tinggal di hutan-hutan pulau Jawa khususnya di Jawa bagian
barat dan sebagian Jawa Tengah. Makanannya berupa buah, daun dan
serangga. Satu keluarga owa jawa umumnya terdiri dari sepasang induk dan
beberapa anak yang tinggal dalam teritori mereka. Nyanyian indah betina
owa jawa di pagi hari masih terdengar diantara kabut hutan pegunungan
di pulau Jawa. Sayangnya, nyanyian mereka akan hilang selamanya apabila
tekanan terhadap kehidupan mereka di alam tidak pernah berhenti.
Dalam daftar satwa terancam
(IUCN-species threatened red list), owa jawa termasuk kategori terancam
punah (endangered species). Kehidupan mereka di alam semakin
mengkhawatirkan karena kehilangan habitat alami hingga mencapai 96%.
Beberapa hasil survei perkiraan populasi di alam, tersisa lebih kurang
4,000 individu yang berada di hutan-hutan konservasi dan terdapat
populasi kecil yang terpisah dan terisolasi yang membuka peluang bagi
mereka mengalami kepunahan. Ancaman kepunahan semakin tinggi dengan
dengan adanya praktek perburuan dan perdagangan dimana lebih dari 100
individu owa jawa telah dijadikan sebagai satwa peliharaan (pet). Fakta
inilah yang mendorong Yayasan Owa Jawa untuk melakukan tindakan nyata
dalam upaya penyelamatan satwa ini dari kepunahan. Kini sebagian dari
mereka yang pernah menjadi satwa peliharaan tersebut telah diselamatkan
dan diupayakan untuk dapat kembali ke alam melalui program rehabilitasi
di Javan Gibbon Center, yang merupakan salah satu program Yayasan Owa
Jawa.
Untuk melakukan kegiatan ex-situ sebagai upaya konservasi terhadap owa jawa, perlu adanya beberapa kerjasama antar pihak yang memiliki perhatian akan kelestarian owa jawa. Program perencanaan dalam usaha konservasi owa jawa telah beberapa kali dilakukan dalam pertemuan-pertemuan para ahli primata tingkat nasional maupun international. Rangkaian berbagai pertemuan-pertemuan tersebut yang merupakan dasar atau cikal bakal terbentuknya Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa atau yang lebih dikenal sebagai Javan Gibbon Center (JGC).
Pada bulan Mei 1994 di Cisarua Bogor, berkumpul lebih dari 50 ahli primata dalam suatu lokakarya PHVA (Population and Habitat Viability Analysis) untuk owa jawa dan surili yang difasilitasi oleh IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group. Lokakarya tersebut merupakan kerjasama antara para ahli primata Indonesia, baik dari kalangan pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga konservasi ex-situ, maupun lembaga international seperti Fota Wildlife Park, Silvery Gibbon Project-Perth Zoo, Conservation International, European Endangered Species Program, American Zoo and Aquarium Association, and the London, Twycross, Paignton, Edinburgh, Duisburg, Minnesota and Milwaukee County Zoos (Supriatna et al, 1994). Rekomendasi dari lokakarya tersebut antara lain perlu adanya studbook untuk owa jawa, persiapan manual penanganan owa jawa di ex-situ, pelatihan bagi lokal staf untuk kesehatan dan tehnik penanganan satwa, pengembangan populasi dalam penangkaran, dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap konservasi owa jawa dan habitatnya (Supriatna et al, 1994).
Menindaklanjuti hasil lokakarya PHVA tersebut, pada bulan Agustus tahun 1997 telah diadakan lokakarya untuk membahas khusus tentang penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa, yang hasilnya merupakan pengalaman-pengalaman dari para peneliti mengenai populasi, penyakit owa jawa, serta pengalaman dari berbagai pihak yang melakukan konservasi ex-situ bagi keluarga owa pada umumnya. Spesifik topik dalam diskusi meliputi kriteria pemilihan lokasi, prosedur karantina dan kebijakan dokter hewan, disain kandang, nutrisi, sumber populasi, rehabilitasi dan program pendidikan dan penelitian. Para ahli dalam pertemuan tersebut mendukung diadakannya pusat penyelamatan dan rehabilitasi untuk owa jawa sebagai upaya konservasi ex-situ (Supriatna dan Manullang, 1997). Selanjutnya upaya mewujudkan program penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa, juga diperkuat oleh para ahli primata didalam kongres IPS (International Primatological Society) ke 18 yang berlangsung pada tahun 2001 di Adelaide, Australia, yang kemudian melahirkan kerjasama antara Conservation International Indonesia dan Silvery Gibbon Project-Perth Zoo dalam program penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa di Indonesia.
Untuk melakukan kegiatan ex-situ sebagai upaya konservasi terhadap owa jawa, perlu adanya beberapa kerjasama antar pihak yang memiliki perhatian akan kelestarian owa jawa. Program perencanaan dalam usaha konservasi owa jawa telah beberapa kali dilakukan dalam pertemuan-pertemuan para ahli primata tingkat nasional maupun international. Rangkaian berbagai pertemuan-pertemuan tersebut yang merupakan dasar atau cikal bakal terbentuknya Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa atau yang lebih dikenal sebagai Javan Gibbon Center (JGC).
Pada bulan Mei 1994 di Cisarua Bogor, berkumpul lebih dari 50 ahli primata dalam suatu lokakarya PHVA (Population and Habitat Viability Analysis) untuk owa jawa dan surili yang difasilitasi oleh IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group. Lokakarya tersebut merupakan kerjasama antara para ahli primata Indonesia, baik dari kalangan pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga konservasi ex-situ, maupun lembaga international seperti Fota Wildlife Park, Silvery Gibbon Project-Perth Zoo, Conservation International, European Endangered Species Program, American Zoo and Aquarium Association, and the London, Twycross, Paignton, Edinburgh, Duisburg, Minnesota and Milwaukee County Zoos (Supriatna et al, 1994). Rekomendasi dari lokakarya tersebut antara lain perlu adanya studbook untuk owa jawa, persiapan manual penanganan owa jawa di ex-situ, pelatihan bagi lokal staf untuk kesehatan dan tehnik penanganan satwa, pengembangan populasi dalam penangkaran, dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap konservasi owa jawa dan habitatnya (Supriatna et al, 1994).
Menindaklanjuti hasil lokakarya PHVA tersebut, pada bulan Agustus tahun 1997 telah diadakan lokakarya untuk membahas khusus tentang penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa, yang hasilnya merupakan pengalaman-pengalaman dari para peneliti mengenai populasi, penyakit owa jawa, serta pengalaman dari berbagai pihak yang melakukan konservasi ex-situ bagi keluarga owa pada umumnya. Spesifik topik dalam diskusi meliputi kriteria pemilihan lokasi, prosedur karantina dan kebijakan dokter hewan, disain kandang, nutrisi, sumber populasi, rehabilitasi dan program pendidikan dan penelitian. Para ahli dalam pertemuan tersebut mendukung diadakannya pusat penyelamatan dan rehabilitasi untuk owa jawa sebagai upaya konservasi ex-situ (Supriatna dan Manullang, 1997). Selanjutnya upaya mewujudkan program penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa, juga diperkuat oleh para ahli primata didalam kongres IPS (International Primatological Society) ke 18 yang berlangsung pada tahun 2001 di Adelaide, Australia, yang kemudian melahirkan kerjasama antara Conservation International Indonesia dan Silvery Gibbon Project-Perth Zoo dalam program penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa di Indonesia.
Owa Jawa Berhasil Melahirkan di JGC
diposting oleh yayasan Owa jawa Rabu, 22 Desember 2010 11:47
Pertama kalinya, pasangan owa Jawa (Hilobates moloch) yang di rehabilitasi di Lokasi The Javan Gibbon Centre, atau Pusat Rehabilitasi Owa Jawa, yang terletak di Bodogol, Taman Nagional Gunung Gede Pangrango, Bogor, melahirkan.
Jabang bayi owa yang ditunggu tersebut lahir dengan selamat hari Rabu, 21 Juli 2010 pukul 4 dini hari.
Seperti diketahui, owa jawa merupakan satwa langka yang dilindungi dan mempunyai perilaku berpasangan setia seumur hidup (monogamy), dan tidak mudah memasangakan owa jawa di habitat bukan aslinya.
Bayi owa jawa yang baru lahir tersebut berasal dari pasangan owa jawa yang saat ini masih dalam proses rehabilitasi sebelum dilepasliarkan ke habitat alaminya. Pasangan owa jawa yang menjadi induk dari bayi tersebut adalah diberi nama Jowo dan Bombom. Kedua pasangan ini sebelum berada di JGC, mereka berasal dari Pusat Perawatan Satwa (PPS) Cikananga yang sebelumnya menjadi peliharaan masyarakat di Bandung.
Jowo berkelamin jantan diperkiran lahir pada tahun 2002 dan Bombon berkelamin betina dengan perkiraan lahir pada tahun 1998. Mereka berada di JGC sejak bulan April 2008. “Pada saat berada di JGC mereka belum menjadi pasangan, dan di JGC lah mereka dipertemukan melalui proses penjodohan,” ujar Anton Ario, Program Manager Conservation International yang juga bertugas mengawasi dan sebagai ahli primata owa Jawa di JGC.
Anton menjelaskan, kedua pasangan ini dijodohkan di kandang pada bulan Juni 2008, mereka resmi menjadi pasangan setelah diketahui saling memiliki kecocokan. Sejak itulah mereka menempati kandang pasangan di JGC. Selama berada dalam kandang pasangan, mereka terus menunjukkan peningkatan ikatan dalam berhubungan, hal tersebut ditandai dengan terjadinya kopulasi sehingga menghasilkan pembuahan.
Sejak bulan Januari 2010, diketahu Bombom tidak lagi mengalami menstruasi, dan setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter hewan JGC, Bombom dinyatakan bunting. Pengawasan terhadap Bombom terus ditingkatkan oleh staf JGC setelah mengetahui kebuntingan Bombom.
“Perlu pengawasan mengingat owa Jawa termasuk satwa yang memiliki sensitifitas tinggi akan gangguan. Terhitung 7 bulan masa kehamilan, akhirnya terjadi Bombom melahirkan di pusat rehabilitasi (JGC).” Hal ini tentu menggembirakan, setelah terjadi dua kali kegagalan kelahiran oleh 2 individu betina lainnya di JGC yang mengalami keguguran.” Tambah Jatna Supriatna, ahli primata yang juga sebagai Vice President Conservation International.
JGC bekerjasama dengan Yayasan Owa Jawa (Javan Gibbon Foundation), Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Conservation International serta Margot Marsh Foundation, menyelenggarakan rehabilitasi dalam upaya mengembalikan owa Jawa yang di sita dari masyarakat, untuk dikembalikan ke alam.
Kini, satu keluarga owa Jawa telah terbentuk. Apabila bayi tersebut telah memasuki usia 1 tahun, kemungkinan besar keluarga baru tersebut akan dilepasliarkan untuk memulai kehidupan baru di habitat alami.
Pertama kalinya, pasangan owa Jawa (Hilobates moloch) yang di rehabilitasi di Lokasi The Javan Gibbon Centre, atau Pusat Rehabilitasi Owa Jawa, yang terletak di Bodogol, Taman Nagional Gunung Gede Pangrango, Bogor, melahirkan.
Jabang bayi owa yang ditunggu tersebut lahir dengan selamat hari Rabu, 21 Juli 2010 pukul 4 dini hari.
Seperti diketahui, owa jawa merupakan satwa langka yang dilindungi dan mempunyai perilaku berpasangan setia seumur hidup (monogamy), dan tidak mudah memasangakan owa jawa di habitat bukan aslinya.
Bayi owa jawa yang baru lahir tersebut berasal dari pasangan owa jawa yang saat ini masih dalam proses rehabilitasi sebelum dilepasliarkan ke habitat alaminya. Pasangan owa jawa yang menjadi induk dari bayi tersebut adalah diberi nama Jowo dan Bombom. Kedua pasangan ini sebelum berada di JGC, mereka berasal dari Pusat Perawatan Satwa (PPS) Cikananga yang sebelumnya menjadi peliharaan masyarakat di Bandung.
Jowo berkelamin jantan diperkiran lahir pada tahun 2002 dan Bombon berkelamin betina dengan perkiraan lahir pada tahun 1998. Mereka berada di JGC sejak bulan April 2008. “Pada saat berada di JGC mereka belum menjadi pasangan, dan di JGC lah mereka dipertemukan melalui proses penjodohan,” ujar Anton Ario, Program Manager Conservation International yang juga bertugas mengawasi dan sebagai ahli primata owa Jawa di JGC.
Anton menjelaskan, kedua pasangan ini dijodohkan di kandang pada bulan Juni 2008, mereka resmi menjadi pasangan setelah diketahui saling memiliki kecocokan. Sejak itulah mereka menempati kandang pasangan di JGC. Selama berada dalam kandang pasangan, mereka terus menunjukkan peningkatan ikatan dalam berhubungan, hal tersebut ditandai dengan terjadinya kopulasi sehingga menghasilkan pembuahan.
Sejak bulan Januari 2010, diketahu Bombom tidak lagi mengalami menstruasi, dan setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter hewan JGC, Bombom dinyatakan bunting. Pengawasan terhadap Bombom terus ditingkatkan oleh staf JGC setelah mengetahui kebuntingan Bombom.
“Perlu pengawasan mengingat owa Jawa termasuk satwa yang memiliki sensitifitas tinggi akan gangguan. Terhitung 7 bulan masa kehamilan, akhirnya terjadi Bombom melahirkan di pusat rehabilitasi (JGC).” Hal ini tentu menggembirakan, setelah terjadi dua kali kegagalan kelahiran oleh 2 individu betina lainnya di JGC yang mengalami keguguran.” Tambah Jatna Supriatna, ahli primata yang juga sebagai Vice President Conservation International.
JGC bekerjasama dengan Yayasan Owa Jawa (Javan Gibbon Foundation), Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Conservation International serta Margot Marsh Foundation, menyelenggarakan rehabilitasi dalam upaya mengembalikan owa Jawa yang di sita dari masyarakat, untuk dikembalikan ke alam.
Kini, satu keluarga owa Jawa telah terbentuk. Apabila bayi tersebut telah memasuki usia 1 tahun, kemungkinan besar keluarga baru tersebut akan dilepasliarkan untuk memulai kehidupan baru di habitat alami.
Habitat dan Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat
Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates
moloch Audebert 1797) merupakan salah satu jenis primata endemik
yang dimiliki Indonesia, dengan wilayah penyebaran yang meliputi Jawa
Barat dan Jawa Tengah. Berdasarkan kategori IUCN (International
Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) tahun
2000, Owa Jawa terancam punah dengan kategori kritis (critically
endangered), artinya menghadapi resiko kepunahan sangat tinggi di
alam. Hal ini terjadi karena populasi Owa
Jawa di alam mengalami tekanan akibat degradasi habitatnya (Eudey et
al. 2000).
Tingkat keterancaman yang tinggi dari
owa jawa di alam menyebabkan perlunya pengelolaan berdasarkan data yang
lengkap terhadap habitat alami dan populasi owa jawa yang ada. Habitat
Owa Jawa merupakan kawasan hutan tropika dari dataran rendah hingga
pegunungan dengan ketinggian 0 – 1.600 m (Massicot 2001; CI Indonesia
2000). Beberapa penelitian terdahulu (Kappeler 1984; Asquith et al.
1995; Nijman & Sozer 1995; Nijman & van Balen 1998; CI
Indonesia 2000; Nijman 2004) telah mengidentifikasi beberapa kawasan
hutan di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang merupakan habitat alami Owa
Jawa, dimana sebagian besar di antaranya merupakan kawasan konservasi.
Salah satu habitat alami bagi Owa Jawa di Provinsi Jawa Barat adalah
kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP).
Sebagai kawasan konservasi, TNGP
merupakan habitat alami yang tepat dan aman bagi Owa Jawa mengingat
kawasan ini mendapatkan perlindungan dan pengelolaan khusus sebagai
taman nasional dan memiliki sumber daya yang memadai untuk mendukung
populasi Owa Jawa yang ada. Untuk itu, pengelolaan TNGP perlu dilakukan
dengan cermat dimana keputusan manajemen diambil berdasarkan data dan
informasi yang komperehensif, terkini dan akurat. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam penentuan
kebijakan pengelolaan populasi dan habitat Owa Jawa di TNGP.
Adapun tujuan penelitian ini adalah
untuk: (1) Menganalisis habitat Owa Jawa; (2) Mengkaji data dan
informasi mengenai populasi Owa Jawa; (3) Mengkaji permasalahan habitat
dan populasi yang berpengaruh terhadap keberadaan Owa Jawa di TNGP.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Propinsi Jawa Barat, yang meliputi
7 resort, yaitu: Resort Cisarua, Cimungkat, Bodogol, Situ Gunung,
Selabintana, Gunung Putri, dan Cibodas. Pelaksanaan penelitian dimulai
pada bulan September 2007 sampai dengan Desember 2007.
Pengumpulan dan Analisis Data
Karakteristik Habitat
Analisis Vegetasi
Plot-plot penelitian ditempatkan pada
beberapa resort yang mewakili seluruh wilayah pengelolaan yang ada serta
dibagi berdasarkan zona pemanfaatan dan zona inti. Pengumpulan data
vegetasi di kawasan hutan TNGP dilakukan dengan menggunakan metode jalur
berpetak (Soerianegara dan Indrawan 1998).
Pada lokasi penelitian diletakkan
sebanyak 66 plot sampel, 33 pada zona inti dan 33 pada zona pemanfaatan.
Pencatatan jenis vegetasi meliputi berbagai tingkat pertumbuhan: semai,
pancang, tiang, pohon. Identifikasi dan analisa pohon pakan dan pohon
tidur juga dilakukan di sepanjang jalur penelitian.
Selanjutnya, dari data tersebut dihitung
Indeks Nilai Penting (INP), Keanekaragaman Jenis Vegetasi (H’), dan
Kemerataan Jenis Vegetasi (J’). INP untuk vegetasi tingkat pancang,
tiang, dan pohon merupakan penjumlahan dari nilai-nilai kerapatan
relatif (KR), dominasi relatif (DR), dan frekuensi relatif (FR) atau
INP = KR + FR + DR, sedangkan untuk vegetasi tingkat semai, INP = KR +
FR.
Untuk mengukur keanekaragaman jenis
vegetasi akan digunakan pendekatan indeks Keragaman Shannon-Wiener
(Krebs 1978; Santosa 1995) dengan persamaan sebagai berikut: H’ = – ∑ Pi
(ln Pi) ; dimana : H’ = indeks Keragaman Shannon-Wiener, Pi
= proporsi jumlah individu ke-i (n) terhadap jumlah individu total
(N), yaitu ni/N
Untuk mengukur tingkat kemerataan jenis
tumbuhan pada seluruh petak contoh pengamatan akan digunakan pendekatan
Indeks Kemerataan Pielou (1975) (Santosa, 1995) dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut: Dmax = ln S dan J’ = H’ / Dmax
; dimana Dmax : dominansi, S : jumlah jenis, J’ :
nilai evenness (0-1), dan H’ : indeks keragaman
Shannon-Wiener
Karakteristik Populasi
Jalur Pengamatan Populasi
Pengamatan karakteristik populasi Owa
Jawa dilakukan melalui survei dengan menggunakan metode jalur (line
transect method) pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan
sebelumnya. Penentuan lokasi pengamatan dilakukan berdasarkan informasi
dari penelitian-penelitian sebelumnya serta informasi petugas Balai dan
penduduk lokal, sehingga lokasi penelitian diharapkan mewakili seluruh
habitat Owa Jawa di TNGP.
Jalur-jalur pengamatan ditempatkan di
setiap lokasi secara acak dengan panjang jalur antara 2 – 3,5 km. Lebar
jalur pengamatan adalah 50 m ke arah kedua sisi jalur atau lebar total
100 m (0,1 km).
Distribusi Populasi
Distribusi populasi Owa Jawa di areal
penelitian diperoleh dengan mengolah data perjumpaan yang diperoleh
dengan menggunakan GPS receiver, kemudian dipetakan dengan
menggunakan program ArcView GIS 3.3., Analisis data dilakukan
secara deskriptif.
Kepadatan Populasi
Kepadatan populasi Owa Jawa ditentukan
dengan menggunakan data jumlah individu dan kelompok Owa Jawa yang
ditemukan pada jalur-jalur pengamatan dan dibagi dengan luas jalur
pengamatan secara keseluruhan. Adapun formulanya adalah sebagai
berikut: D= ∑ ind / Ltot, dimana D=Kepadatan (individu/km2), ∑
ind= Jumlah individu suatu jenis (individu), Ltot =
Luas total jalur pengamatan (km2), Luas total plot pengamatan
(areal penelitian) diperoleh dari: Ltot = (P)(l)(ul),
dimana Ltot =Luas total jalur pengamatan (km2),
P=Panjang jalur (km), l= Lebar jalur (km), u=Jumlah ulangan
Estimasi Populasi
Estimasi populasi Owa Jawa ditentukan
dengan mengalikan angka kepadatan individu dan kelompok Owa Jawa yang
ditemukan pada jalur-jalur pengamatan (line transect sampling) (Subcommittee
on Conservation of Natural Population 1981) dengan luas habitat
representative yang telah diperoleh sebelumnya oleh TNGP, yaitu
5.399 ha atau 53,99 km2. Adapun formulasinya adalah sebagai
berikut: P = D.LREP, dimana P=Estimasi populasi
(individu), D=Kepadatan populasi (individu / km2), dan LREP=Luas
habitat representatif ( 53,99 km2)
Komposisi Kelompok
Komposisi kelompok dirangkum berdasarkan
data populasi yang diperoleh pada saat pengamatan populasi Owa Jawa di
jalur-jalur pengamatan. Data yang digunakan adalah jumlah total
individu, jumlah jantan dan betina, serta pendugaan kelas umur satwa.
Analisis komposisi kelompok dilakukan secara deskriptif.
Tingkah Laku
Pengamatan dan pengumpulan data
aktivitas Owa Jawa dilakukan dengan menggunakan metode scan sampling
(Altman 1974) yaitu pencatatan tingkah laku setiap individu kelompok
yang menjadi target pengamatan pada interval waktu 5 menit selama 4 jam
pada pagi hari dan 4 jam pada sore hari. Data tingkah laku individu dan
kelompok Owa Jawa dianalisis secara deskriptif untuk menjelaskan
fenomena yang ditemui selama penelitian dilakukan.
Permasalahan Habitat dan
Populasi Owa Jawa di TNGP
Permasalahan habitat dan populasi Owa
Jawa di TNGP yang ditemui atau diketahui, baik secara langsung (hasil
pengamatan langsung) maupun secara tidak langsung (hasil wawancara
dengan para pihak atau dari laporan tertulis) selama kegiatan penelitian
dihimpun dan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Habitat
Komposisi Vegetasi
Pada lokasi penelitian di kawasan TNGP
ditemukan 121 jenis vegetasi di zona inti dan 103 jenis vegetasi di zona
pemanfaatan. Adapun pada tingkat pohon ditemukan 61 jenis pohon di
zona inti dan 59 jenis di zona pemanfaatan. Jumlah jenis pohon yang
lebih banyak ditemukan di zona inti daripada jumlah jenis pohon yang
ditemukan di zona pemanfaatan menunjukkan bahwa zona inti di kawasan
TNGP merupakan kawasan yang masih belum banyak mengalami gangguan akibat
berbagai aktivitas manusia, sehingga jenis-jenis pohon di zona inti ini
dapat terjaga kelestariannya.
Jenis pohon yang mendominasi zona inti
dan memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi secara
berturut-turut adalah sebagai berikut: Schima wallichii (41,88
%), Lithocarpus indutus (26,09 %), Castanopsis javanica
(15,50 %), Elaeocarpus pierrei (13,14 %), dan Vernonia
arborea (12,92 %). Jenis pohon yang mendominasi zona pemanfaatan
dan memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi secara
berturut-turut adalah sebagai berikut: Castanopsis javanica
(49,03 %), Schima wallichii (42,23 %), Agathis dammara
(29,26 %), Altingia excelsa (16,76 %), Elaeocarpus pierrei
(15,35 %).
Pohon di zona inti yang memiliki
dominansi terbesar adalah Schima wallichii, yaitu sebesar 3,92 m2/ha
dengan dominansi relatif sebesar 16,24 %, sedangkan jenis pohon di zona
pemanfaatan yang memiliki dominansi terbesar adalah Castanopsis
javanica, yaitu sebesar 6,94 m2/ha dengan dominansi
relatif sebesar 22,48 %.
Diketahui ada lima jenis pohon pakan dan
satu jenis pohon tidur yang mendominasi zona inti dengan INP tertinggi,
yaitu Schima wallichii, Lithocarpus indutus, Castanopsis
javanica, Elaeocarpus pierrei, dan Vernonia arborea.
Pada zona pemanfaatan, ada empat jenis pohon pakan dan satu jenis pohon
tidur dengan INP tertinggi, yaitu Castanopsis javanica, Schima
wallichii, Altingia excelsa dan Elaeocarpus pierrei
(pohon pakan) serta Altingia excelsa yang merupakan
pohon tidur Owa Jawa. Dominansi pohon pakan dan pohon tidur Owa Jawa di
zona inti dan di zona pemanfaatan mengindikasikan bahwa kondisi habitat
Owa Jawa di kawasan TNGP masih baik.
Dilihat dari keanekaragaman jenis pohon
yang terdapat di kawasan TNGP berdasarkan Indeks Keanekaragaman
Shannon-Wiener (H’), maka diketahui bahwa keanekaragaman jenis pohon
pada zona inti (3,60), lebih tinggi dibandingkan zona pemanfaatan (3,29)
(Tabel 1). Semakin tinggi keanekaragaman jenis vegetasi pada suatu
kawasan, maka semakin stabil pula kondisi vegetasi di kawasan tersebut.
Demikian pula sebaliknya, semakin rendah keanekaragaman jenis vegetasi
pada suatu kawasan, maka semakin rentan pula kondisi vegetasi di kawasan
tersebut.
Tabel 1. Parameter Vegetasi Tingkat
Pohon sebagai Habitat Owa Jawa di TNGP
Zona | Parameter | Nilai |
Zona Inti | Jumlah jenis
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis |
61
3,60 0,88 |
Zona Pemanfaatan | Jumlah jenis
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis |
59
3,29 0,81 |
Indeks Kemerataan Jenis Pohon (J’) yang
dimiliki oleh zona inti (0,88) lebih tinggi dibandingkan dengan zona
pemanfaatan (0,81)(Tabel 1). Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis pohon
pada zona inti lebih merata penyebarannya dibandingkan dengan zona
pemanfaatan. Jenis pepohonan yang menyebar merata dalam suatu kawasan
membuat kawasan tersebut lebih stabil sebagai habitat Owa Jawa, utamanya
pada jenis-jenis yang merupakan pohon pakan dan pohon tidur.
Pohon Pakan dan Pohon Tidur Owa
Jawa
Diketahui bahwa pada kawasan TNGP
terdapat 44 jenis pohon pakan Owa Jawa yang merupakan anggota dari 24
Famili. Bagian vegetasi yang dijadikan makanan Owa Jawa adalah daun
muda, buah, dan bunga. Pada zona inti TNGP terdapat 34 jenis pohon
pakan sedangkan pada zona pemanfaatan terdapat 33 jenis.
Pada lokasi penelitian terdapat 17 jenis
vegetasi yang merupakan tempat tidur Owa Jawa, yang tergolong ke dalam 7
familia. Pada zona inti TNGP terdapat 14 jenis pohon tidur sedangkan
pada zona pemanfaatan terdapat 12 jenis.
Permudaan Vegetasi
Berdasarkan hasil penelitian dapat
diketahui bahwa jumlah jenis vegetasi di zona inti pada tingkat
pertumbuhan semai, pancang, dan tiang secara berturut-turut adalah 65
jenis, 82 jenis, dan 45 jenis. Sedangkan jumlah jenis vegetasi di zona
pemanfaatan pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang secara
berturut-turut adalah 62 jenis, 63 jenis, dan 39 jenis. Lebih banyaknya
jumlah jenis vegetasi pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona
inti apabila dibandingkan dengan jumlah jenis vegetasi pada semua
tingkat pertumbuhan vegetasi di zona pemanfaatan, menunjukkan bahwa
kondisi vegetasi di zona inti lebih stabil daripada kondisi vegetasi di
zona pemanfaatan. Hal tersebut dikarenakan lebih kecilnya tingkat
gangguan terhadap vegetasi yang terdapat di zona inti daripada tingkat
gangguan terhadap vegetasi yang terdapat di zona pemanfaatan.
Lebih stabilnya kondisi vegetasi yang
terdapat di zona inti daripada kondisi vegetasi yang terdapat di zona
pemanfaatan juga dapat terlihat dari nilai Indeks Keanekaragaman Jenis
Shannon-Wiener pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona inti yang
lebih besar apabila dibandingkan dengan nilai Indeks Keanekaragaman
Jenis Shannon-Wiener pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona
pemanfaatan.
Berdasarkan hasil penelitian juga dapat
diketahui nilai indeks kemerataan jenis vegetasi pada tingkat
pertumbuhan semai, pancang, dan tiang di zona inti secara berturut-turut
adalah sebesar 0,89; 0,91; dan 0,93. Sedangkan nilai indeks kemerataan
jenis vegetasi pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang di
zona pemanfaatan secara berturut-turut adalah sebesar 0,91; 0,92; dan
0,92. Secara keseluruhan, nilai indeks kemerataan jenis vegetasi pada
semua tingkat pertumbuhan vegetasi baik di zona inti maupun di zona
pemanfaatan cenderung tinggi. Nilai indeks kemerataan jenis vegetasi
yang cenderung tinggi ini mengindikasikan bahwa keseimbangan komunitas
jenis di kawasan tersebut yang berfungsi sebagai habitat Owa Jawa
cenderung seimbang dan stabil.
Berdasarkan hasil penelitian ini, Secara
keseluruhan dapat dilihat bahwa vegetasi sumber pakan dan tempat tidur
Owa Jawa tersedia pada semua tingkat permudaan, hal tersebut menunjukan
regenerasi pohon pakan dan pohon tidur yang cukup baik sehingga dapat
menjamin pemenuhan kebutuhan hidup Owa Jawa di TNGP.
Karakteristik Populasi
Distribusi Populasi
Keberadaan Owa Jawa dapat diidentifikasi
di seluruh lokasi penelitian, baik pada zona inti maupun zona
pemanfaatan, kecuali pada resort Selabintana dan Gunung Putri. Dari 18
jalur yang diamati, Owa Jawa dapat diidentifikasi pada 11 jalur
sedangkan pada 7 jalur lainnya tidak teridentifikasi. Tidak
teridentifikasinya Owa Jawa pada beberapa jalur, utamanya di wilayah
Selabintana dan Gunung Putri, diduga disebabkan oleh berbagai hal
seperti: (1) perambahan kawasan, (2) aktivitas manusia ataupun
pengunjung yang meningkat serta (3) adanya perubahan wilayah jelajah
dari kelompok yang sebelumnya ada. Hasil pengamatan di lokasi
menunjukkan bahwa distribusi Owa Jawa tersebar pada beberapa ketinggian
yaitu mulai ketinggian 700 sampai 1.600 m dpl (Situ Gunung, Cimungkat,
Bodogol, Cisarua, Cibodas). Frekuensi tertinggi perjumpaan Owa Jawa
adalah di ketinggian 700 – 806,4 m dpl pada wilayah Bodogol.
Kepadatan Populasi
Kepadatan populasi Owa jawa secara
keseluruhan di lokasi penelitian adalah 6,43 individu/km2 dan
1,93 kelompok/km2. Kepadatan tertinggi pada tingkat resor
terdapat pada resor Bodogol, yaitu 17,08 individu/km2 dan
5,00 kelompok/km2. Kepadatan Owa Jawa pada Zona Inti, untuk
individu 7,14 individu/km2 dan untuk kelompok 2,30 kel/km2,
lebih tinggi dibandingkan dengan Zona Pemanfaatan, untuk individu 5,69
individu/km2 dan untuk kelompok 1,54 kelompok/km2.
Estimasi Populasi
Berdasarkan hasil perhitungan kepadatan
populasi Owa Jawa di TNGP secara keseluruhan (individu 6,43 individu/km2
dan kelompok 1,93 kelompok/km2), maka estimasi populasi Owa Jawa di
TNGP adalah 347 individu dan 105 kelompok.
Ukuran dan Komposisi Kelompok
Ukuran kelompok Owa Jawa berada pada
kisaran 2 – 5 individu/kelompok. Kelompok berukuran 2 individu dan 4
individu mempunyai jumlah terbanyak (masing-masing 4 kelompok) dengan
persentase 30,77 %. Tidak ada kelompok berukuran lebih dari 5 individu
yang ditemui selama penelitian. Rata-rata ukuran kelompok di TNGP
adalah 3,23 individu/kelompok secara keseluruhan, 2,88 individu/kelompok
untuk zona Inti dan 3,80 individu/kelompok untuk zona Pemanfaatan.
Berdasarkan kelompok umur, induk jantan dan induk betina mempunyai
persentase terbesar dibandingkan muda dan anak, masing-masing sebesar
30,95 % (atau 1,86 individu per lokasi). Berdasarkan lokasi, persentase
individu terbesar ada di Bodogol sebesar 47,62 %. Ada 13 kelompok Owa
Jawa yang ditemui pada 5 resor di TNGP.
Permasalahan Habitat dan
Populasi Owa Jawa di TNGP
Beberapa permasalahan yang terjadi di
dalam kawasan dan mengancam keberadaan habitat dan populasi Owa Jawa di
TNGP diantaranya adalah : (1) Illegal Logging di dalam kawasan
hutan TNGP ; (2) Perambahan kawasan hutan TNGP ; (3) Aktivitas
pengunjung di dalam dan sekitar kawasan TNGP; (4) Perburuan liar di
kawasan hutan TNGP; (5) Pengambilan kayu bakar oleh masyarakat sekitar;
(6) Pengambilan hasil hutan bukan kayu dari dalam kawasan TNGP.
Rekomendasi Pengelolaan
Pengelolaan Owa Jawa mutlak dilakukan
mengingat Owa Jawa merupakan salah satu jenis primata endemik yang
sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungannya. Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dalam pengelolaan Owa Jawa
di TNGP dapat direkomendasikan tiga hal utama kegiatan pengelolaan yang
dapat menjamin kelestarian habitat dan populasi Owa Jawa di TNGP, yaitu:
(1) Pengelolaan kawasan TNGP, yang meliputi kegiatan restorasi kawasan
yang terdegradasi dan terfragmentasi, restorasi kawasan yang bervegetasi
sejenis agar dapat kembali pada kondisi aslinya, peningkatan pengamanan
kawasan, pelaksanaan pemantauan rutin/monitoring terhadap populasi Owa
Jawa; (2) Pengelolaan masyarakat sekitar TNGP yang dilakukan melalui
pengembangan daerah penyangga (buffer zone) di luar kawasan
TNGP dengan tipe penyangga hutan dan tipe penyangga ekonomi; dan (3)
Pengelolaan pengunjung TNGP, yang meliputi kegiatan pengaturan
pengunjung yang lebih ketat, pembinaan terhadap pengunjung mengenai tata
cara beraktivitas yang ramah lingkungan di dalam kawasan, dan
pengalihan jalur-jalur wisata yang berada pada daerah jelajah Owa Jawa
ke lokasi lain.
Simpulan
- Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) merupakan habitat yang sesuai bagi populasi Owa Jawa, karena hutan di kawasan tersebut memiliki tajuk yang relatif tertutup, tajuk pohon memiliki percabangan horizontal, dan ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur yang relatif memadai untuk menunjang keberadaan populasi Owa Jawa.
- Estimasi populasi Owa Jawa di TNGP adalah 347 individu .
- Pada umumnya, kepadatan populasi Owa Jawa di zona inti lebih tinggi daripada di zona pemanfaatan. Lebih rendahnya kepadatan populasi Owa Jawa di zona pemanfaatan disebabkan oleh aktivitas manusia serta fragmentasi habitat. Adapun kepadatan tertinggi populasi Owa Jawa dapat dijumpai di wilayah Bodogol.
- Keberadaan populasi Owa Jawa di TNGP tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas habitat, tetapi dipengaruhi pula oleh aktivitas manusia di dalamnya.
Saran
- Perlu adanya kajian terhadap lokasi -lokasi yang sebelumnya terdapat populasi Owa Jawa namun pada saat ini tidak ditemukan lagi populasi Owa Jawa tersebut (khususnya Resort Selabintana) agar dapat diketahui faktor-faktor penyebabnya, sehingga dapat digunakan untuk mengantisipasi hal tersebut di lokasi lainnya.
- Penelitian lanjutan tentang habitat preferensial Owa Jawa dan pola penggunaan ruang dan waktu bagi Owa Jawa perlu untuk segera dilakukan agar dapat menunjang pengelolaan Owa Jawa di kawasan konservasi, khususnya di kawasan TNGP.
- Perlu dilakukan pengamatan populasi Owa Jawa secara kontinyu (time series) dan perlu dilakukan penyusunan database populasi Owa Jawa, sehingga dapat dipantau perubahan populasi Owa Jawa yang terjadi.
- Perlu adanya komitmen dan kerjasama secara terpadu diantara stakeholders yang terkait dengan kegiatan pelestarian Owa Jawa agar kegiatan pelestarian Owa Jawa tersebut dapat direncanakan dan diimplementasikan dengan tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Altman J. 1974. Observational Study
of Behavior : Sampling Methods. Illinois, USA : Alle Laboratory of
Animal Behavior.
Asquith NM. 1995. Javan Gibbon
Conservation: Why habitat protection is crucial. Tropical
Biodiversity 3:63-65.
[CI Indonesia] Conservation
International Indonesia. 2000. Javan gibbon website. http://www.conservation.or.id/javangibbon.
Eudey A, Members of the Primate
Specialist Group. 2000. Hylobates moloch. In: IUCN 2006. 2006 IUCN Red
List of Threatened Species. <www.iucnredlist.org>.
Downloaded 30 August 2007.
[IUCN] World Conservation Union. 2000.
Red List: Criterias and Categories (ver. 2.3.). Website : http://www.iucnredlist.org. Downloaded:
Maret 2007.
Kappeler M. 1984. Diet and Feeding
Behaviour of the Moloch gibbon. Diacu dalam : Preuschoft et al. (eds):
Evolutionary and Behavioural Biology. Scotland : Edinburgh University
Press.
Krebs J.C. 1978. Ecology: The
Experimental Analysis of Distribution and Abudance. Harper and Row
Publisher.
Massicot P. 2006. Animal info – Silvery
gibbon. http://www.animalinfo.org/
species/primate/hylomolo.htm. Downloaded: 8 Juni 2007.
Nijman V, Sozer R. 1995. Recent
observations of the Grizzled leaf monkey (Presbytis comata) and
an extension of the range of the javan gibbon (Hylobates moloch)
in Central Java. Tropical Biodiversity 3(1):45-48.
Nijman V, van Balen B. 1998. A faunal
survey of Dieng Mountains, Central Java, Indonesia: Distribution and
conservation of endemic primate taxa. Oryx 32:145.
Nijman V. 2004. Conservation of the
Javan gibbon Hylobates moloch: population estimates, local
extinctions, and conservation priorities. The Raffles Bulletin of
Zoology 52(1):271-280.
Santosa Y. 1995. Konsep Ukuran
Keanekaragaman Hayati di Hutan Tropika. Jurusan Konservasi Sumberdaya
Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi
Hutan Indonesia. Bogor : Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas
Kehutanan IPB.
Subcommittee on Conservation of Natural
Population. 1981. Techniques For the Study of Primate Population
Ecology. Washington, DC: National Academic Press.
Minggu, 21 April 2013
Ekologi Hewan UTS
SOAL
1.
Konsep
waktu-suhu yang berlaku pada hewan
poikilotermik sangat berguna aplikasinya dalam pengendalian hama
pertanian, khususnya dari golongan
serangga. Jelaskan arti konsep waktu secara singkat, dan berikan contoh
ulasannya terkait dengan kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di
Probolinggo Tahun 2010.
2.
Jelaskan
pemanfaatan konsep kelimpahan,
intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan dalam
kaitannya dengan penetapan hewan langka!
3.
Jelaskan
aplikasi konsep interaksi populasi, khususnya parasitisme dan parasitoidisme,
dalam pengendalian biologis. Berikan contohnya!
4.
Nilai sikap dan karakter apa yang harus ditumbuhkan
pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan? Berikan contoh
riilnya!
5.
Uraikan
satu contoh pemanfaatan indikator hewan untuk monitoring kondisi lingkungan
secara mendetail, mulai dari jenis, prinsip dan praktik pemanfaatannya!
6.
Apakah
manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas konservasi? Berikan salah
satu contoh hewan langka, lakukan kajian tentang relungnya. (dalam satu kelas,
hewan yang dikaji tidak boleh sama)!
JAWABAN
- Suhu
merupakan salah satu faktor lingkungan yang dominan mempengaruhi kehidupan
hewan. Suhu lingkungan memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada hewan.
Adanya variasi suhu lingkungan memiliki peranan potensial dalam menentukan
proses kehidupan, penyebaran serta kelimpahan populasi hewan. Dari sudut pandang ekologi, suhu
lingkungan sangat penting terutama bagi hewan poikiloterm untuk aktivitas
dan pengaruh terhadap laju perkembangannya. Sehingga, hewan poikiloterm
memerlukan kombinasi faktor suhu lingkungan dan faktor waktu untuk
pertumbuhannya (Ainul, 2013). Hewan poikiloterm tidak dapat tumbuh dan
berkembang jika suhu lingkungannya berada diatas atau dibawah batas
ambangnya, karena suhu
tubuh menentukan kerja enzim enzim yang membantu metabolisme di dalam
tubuh hewan tersebut. Dalam suatu kisaran suhu tertentu, antara laju
perkembangan dengan suhu lingkungan terdapat hubungan linier. Hewan-hewan poikiloterm
memiliki lama waktu perkembangan yang berbeda-beda. Dengan kata lain,
pernyataan berapa lamanya waktu perkembangan selalu perlu disertai dengan
pernyataan pada suhu berapa berlangsungnya proses perkembangan itu, karena
pada hewan poikiloterm, waktu (berlangsungnya proses perkembangan)
merupakan fungsi dari suhu lingkungan, maka kombinasi waktu-suhu yang
seringkali dinamakan waktu fisiologis itu mempunyai arti penting. Contoh:
Apabila diketahui, misalnya suhu ambang terjadinya perkembangan pada
sejenis belalang adalah 16oC dan pada suhu 20oC
(yaitu 4oC di atas suhu ambang) lamanya waktu yang diperlukan
untuk menetas hanya 17,5 hari, maka pada suhu 30oC (yaitu 14oC
di atas suhu ambang) lama waktu yang diperlukan untuk perkembangan telur
dari jenis belalang untuk menetas adalah 5 hari (Yayuk, 2012). Aplikasi konsep waktu–suhu sangat berguna untuk pengendalian hama
pertanian karena waktu-suhu penting artinya untuk memahami hubungan antara
waktu dengan dinamika populasi hewan poikiloterm. Dengan mengetahui konsep
waktu-suhu maka dapat mengetahui atau memprediksi kapan akan terjadi
peledakan populasi.
Peledakan populasi itu sendiri dapat terjadi jika suatu spesies dimasukkan
ke dalam suatu daerah yang baru, dimana terdapat sumber-sumber yang belum
dieksploitir oleh manusia dan tidak ada interaksi negatif (misalnya
predator, parasit), dimana sebenarnya predator dan parasit memainkan
peranan dalam menahan peledakan populasi dan memang menekan laju
pertumbuhan populasi. Konsep
waktu suhu pada pertanian digunakan untuk pengendalian hama dengan mempercepat atau menghambat laju perkembangannya. Pengendalian tersebut dapat dilakukan
pengendalian mekanis dan fisik. Pengendalian fisik adalah tindakan
pengendalian yang dilakukan dengan menggunakan suhu tinggi atau suhu
rendah. Teknik pengendalian ini bertujuan mengurangi
populasi hama dengan cara mengganggu fisiologi serangga atau mengubah
lingkungan menjadi kurang sesuai bagi hama. Peledakan populasi serangga
dalam jumlah besar yang terjadinya hampir tiap tahun pada waktu yang
berbeda beda, merupakan suatu fenomena alam. Kejadian tersebut bila
ditelaah lebih lanjut akan terlihat bahwa terjadinya peledakan populasi
itu berdasarkan pada jumlah hari derajat yang sama di atas suhu ambang
perkembangan jenis serangga tersebut. Dengan menggunakan konsep waktu-suhu
yang diwujudkan dalam bentuk jumlah hari-derajat, maka fenomena alam
akibat proses perkembangan seperti peledakan populasi dapat diramalkan
kapan akan terjadi. Dengan mengetahui jumlah hari-derajat perkembangan
suatu jenis serangga hama, maka akan dapat ditentukan lebih tepat, kapan
waktu dan teknik pemberantasan hama tersebut, karena memberantas telur
atau pupa berbeda dengan memberantas hewan dewasanya. Salah satu contoh peledakan populasi
serangga yaitu pada kasus ulat
bulu yang menyerbu tanaman mangga di Probolinggo Tahun 2010. berdasarkan
jurnal ulat bulu tanaman mangga
di probolinggo diidentifikasi bahwa jenis ulat
bulu yang menyerang tanaman mangga di probolinggo lebih dari satu jenis,
tetapi semuanya tergolong ke dalam famili lymantriidae ordo lepidoptera
genus lymantria adalah salah satu hama utama tanaman mangga di asia
tenggara dan india. Keakuratan
informasi tentang jenis ulat bulu yang menyerang tanaman mangga sangat
penting dalam pengambilan keputusan untuk menetapkan cara pengendalian
yang tepat (yuliantoro, 2012). Pada waktu tertentu aktivitas serangga tinggi, akan
tetapi pada suhu yang lain akan berkurang (menurun). Pada umunya kisaran
suhu yang efektif adalah suhu minimum 150C, suhu optimum 250C
dan suhu maksimum 450C. Pada suhu yang optimum kemampuan
serangga untuk melahirkan keturunan besar dan kematian (mortalitas)
sebelum batas umur akan sedikit. Kasus meledaknya ulat bulu di probolinggo
terlihat bahwa peledakan tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh suhu. Jika
dikaitkan dengan konsep waktu-suhu, maka dapat terlihat bahwa pada suhu
optimum saja ulat akan berkembang biak dengan jumlah yang besar apalagi
jika suhu semakin tinggi hingga berada dibawah ambang batas maksimum, Dapat
dibayangkan bahwa ulat tersebut berkembang biak akan lebih besar lagi dan melebihi
suhu optimumnya. Semakin bertambahnya suhu tersebut, maka perkembangbiakan
ulat bulu semakin besar pula sampai tidak terkontrol dan terjadilah
peledakan populasi. Bertambahnya suhu tersebut dapat terlihat karena curah
hujan di Probolinggo saat itu sedang
tinggi. Menurut Gubernur Jatim, H Soekarwo (2011),
menyatakan bahwa adanya fenomena ulat bulu di Probolinggo itu lebih karena
factor cuaca. Artinya, curah hujan yang selama ini cukup tinggi membuat
daun di sekitar pohon mangga membusuk dan menyebabkan munculnya organisme
baru, seperti larva dan ulat. Sehingga, pihaknya memerintahkan
penanganannya pada Dinas Pertanian Jatim untuk mengambil langkah
pencegahan agar wabah tak terus berkembang. Oleh karena itu, dengan
memanfaatkan konsep waktu-suhu maka dapat diprediksi kapan akan terjadi
peledakan populasi ulat bulu seperti kasus di Probolinggo di waktu yang
berbeda dengan melihat kisaran waktu dan suhu lingkungan ulat bulu
tersebut.
- Kerapatan
populasi merupakan ukuran populasi dalam hubungannya dengan satuan ruang,
biasanya dinyatakan dengan banyaknya individu atau biomasa populasi
persatuan luas atau volume yang disebut
dengan kelimpahan populasi (Vivi, 2012). Tinggi rendahnya jumlah individu populasi
suatu spesies hewan menunjukkan besar kecilnya ukuran populasi atau
tingkat kelimpahan populasi itu. Area suatu populasi tidak dapat
ditentukan batasannya secara pasti, sehingga kelimpahan (ukuran) populasi
pun tidak mungkin dapat ditentukan.
Kelimpahan populasi suatu spesies mengandung dua aspek yang berbeda, yaitu
aspek intensitas dan aspek prevalensi. Intensitas menunjukkan aspek tinggi
rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies, sedangkan prevalensi
menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam
konteks daerah yang lebih luas. Suatu spesies hewan yang prevalensinya
tinggi (=prevalen) dapat lebih sering dijumpai dan spesies yang
prevalensinya rendah, yang daerah penyebarannya terbatas (terlokalisasi)
hanya ditemui di tempat tertentu. Dispersi merupakan merupakan pola
penjarakan antar individu dalam perbatasan populasi. Dispersi memiliki
beberapa pola penjarakan yaitu random, bergerombol dan seragam. Pola
dispersi bergerombol yaitu individu-individu hidup mengelompok dalam
topok. Pola disperse seragam atau uniform yaitu pola berjarak sama
diakibatkan dari interaksi langsung antara individu-individu dalam
populasi. Pola dispersi acak yaitu penjarakan yang tidak bisa diprediksi,
posisi setiap individu tidak bergantung pada individu lain. Frekunditas
adalah laju reproduksi aktual suatu organisme atau populasi yang diukur
berdasarkan jumlah gamet, biji, ataupun propagula aseksual. Dalam bidang
demografi, frekunditas adalah kapasitas reproduksi potensial suatu
individu ataupun populasi. Frekunditas berada dibawah kontrol genetik
maupun lingkungan dan merupakan ukuran utama kebugaran biologi suatu
spesies. Kelulushidupan hewan adalah perbandingan antara jumlah individu
yang hidup pada akhir percobaan dengan jumlah individu yang hidup pada
awal percobaan. Kelulushidupan juga merupakan peluang hidup dalam suatu
saat tertentu. Faktor yang mempengaruhinya adalah biotik (kompetitor,
parasit, umur, kepadatan populasi, dan kemampuan adaptasi) dan abiotik
(sifat fisika dan sifat kimia dari lingkungan). Pemanfaatan konsep
kelimpahan, intensitas dan prevalensi, dispersi, frekunditas, dan
kelulushidupan pada hewan langka dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
kelimpahan hewan tersebut, intensitas dan prevalensinya, sehingga dapat diketahui
pola-pola dispersi atau perjarakan hewan langka tersebut berkaitan dengan
frekunditas (reproduksi) hewan langka dalam suatu populasi.
- Dalam
suatu populasi terjadi beberapa interaksi antar spesies yang hidup
bersama, baik interaksi yang terjadi bersifat positif ataupun negative.
Antar spesies yang hidup dalam suatu komunitas memiliki rasa saling
membutuhkan satu sama lain dan juga hidup saling melengkapi sehingga
sangat memungkinkan banyak interaksi-interaksi yang terjadi diantara mereka. Parasitisme merupakan
salah satu bentuk interaksi antar spesies dalam suatu populasi.
Parasitisme adalah hubungan antar spesies yang salah satu spesiesnya
dirugikan oleh individu dari spesies lain. Interaksi ini bersifat negative
karena merugikan salah satu dari kedua spesies. Umumnya parasitisme terjadi karena keperluan nutrisi dan bersifat
spesifik. Ukuran parasit biasanya lebih kecil dari inangnya. Terjadinya
parasitisme memerlukan kontak secara fisik maupun metabolik serta waktu
kontak yang relatif lama. Contohnya adalah bakteri Bdellovibrio yang
memparasit bakteri E. coli. Aplikasi konsep interaksi ini memiliki
peranan untuk pengendalian biologis. Menurut Odum (1993), parasit-parasit
ini memiliki peranan didalam menahan serangga herbivore pada kepadatan
yang rendah, tetapi mereka dapat tidak efektif apabila populasi inang
meledak atau “lolos” dari kendali yang tergantung pada kepadatan. Dengan
memanfaatkan beberapa bakteri untuk pengendalian, sehingga bentuk
interaksi ini dapat dijadikan sebagai bentuk pengendalian biologis. Parasitoidisme
merupakan bentuk interaksi yang bersifat negative seperti interaksi
parasitisme. Parasitoid
adalah sekelompok insect yang dikelompokkan dengan dasar perilaku bertelur
betina dewasa dan pola perkembangan larva selanjutnya. Terutama untuk
insect dari ordo Hymenoptera, dan juga meliputi banyak Diptera. Mereka
hidup bebas pada waktu dewasa, tetapi betinanya bertelur di dalam, pada
atau dekat insect lain. Larva parasitoid berkembang di dalam (atau jarang
pada) individu inang yang masih tingkat pre-dewasa. Pada awalnya hanya
sedikit kerusakan yang tampak ditimbulkan terhadap inangnya, tetapi
akhirnya hampir dapat mengkonsumsi seluruh inangnya dan dengan demikian
makan dapat membunuh inang tersebut sebelum atau sesudah stadium kepompong
(pupa). Jadi parasitoid dewasa, bukan inang dewasa yang akan muncul dari
kepompong. Sering hanya satu parasitoid yang berkembang dari tiap inang,
tetapi pada beberapa kejadian beberapa individu hidup bersama dalam satu
inang. Jelasnya parasitoid hidup bersama akrab dengan individu inang
tunggal (seperti pada parasit), mereka tidak menyebabkan kematian segera
atas inang seperti pada parasite (Rani, 2011). Parasitoidisme juga
memiliki peranan dalam pengendalian hama secara biologis karena
parasitoid-parasitoid ini berperan sebagai musuh alami, contohnya kasus
ulat bulu di Probolinggo juga terkait dengan bentuk interaksi
parasitoidisme. Beberapa peneliti kasus tersebut menyatakan bahwa
peledakan ulat bulu tersebut juga karena kurangnya musuh alami ulat
seperti parasitoid-parasitoid dan pemangsa lainnya.
- Nilai sikap dan karakter yang harus ditumbuhkan
pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan yaitu sikap tanggung jawab dan karakter mencintai dan menyayangi
hewan sehingga nantinya nilai dan karakter tersebut dapat mengajarkan
siswa untuk memiliki rasa ingin melestarikan dan melindungi hewan-hewan
langka yang terancam punah dari ancaman-ancaman berupa perburuan liar oleh
manusia. Selain itu, dengan menumbuhkan rasa tanggung jawab pada diri
siswa, rasa itu akan mengajarkan siswa untuk melestarikan hewan-hewan yang
memiliki peranan untuk simbiosis dengan tumbuhan yang nantinya hasil
simbiosis tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia dari ulah manusia yang
mengakibatkan buruknya kondisi hewan-hewan saat ini. Perburuan manusia terhadap
hewan-hewan yang memiliki fungsi dan peran untuk bersimbiosis dengan
tumbuhan akan berdampak negative juga terhadap manusia yang nantinya
nutrisi dan pemanfaatan dari hasil simbiosis tersebut tidak lagi ada jika
hewannya diburu. Sehingga, dengan ditanamkannya sikap dan karakter
tersebut sejak dini maka siswa dan siswi dapat mencegah dan mengendalikan
manusia untuk tidak berburu hewan demi kepentingan pribadi dan merusak
populasi hewan yang dapat berdampak terhadap kepunahan hewan tersebut.
- Salah satu contoh hewan yang dapat dimanfaatkan
sebagai bioindikator untuk monitoring
kondisi lingkungan adalah lintah (Hirudo
medicinalis). Secara umum istilah biomonitoring
dipakai sebagai alat/cara yang penting dan merupakan metode baru untuk
menilai suatu dampak pencemaran lingkungan (Fadhil, 2010). Istilah yang
lebih spesifik adalah monitoring biologi (Biological Monitoring). Di dalam
praktek penggunaan monitoring biologi (MB) adalah untuk memonitor populasi
yang terpapar oleh bahan polutan di tempat kerja maupun di lingkungan. Salah satu cara yang digunakan untuk memantau perubahan yang terjadi
di dalam suatu ekosistem adalah pemanfaatan bioindikator. Bioindikator
ekologis adalah mahluk yang diamati penampakannya untuk dipakai sebagai
petunjuk tentang keadaan kondisi lingkungan dan sumber daya pada
habitatnya. Bioindikator yang dapat digunakan untuk memantau keadaan
polusi di suatu tempat sebaiknya memenuhi kriteria, yaitu (1) organisme
yang dijadikan sebagai bioindikator memiliki kisaran toleransi yang sempit
terhadap perubahan lingkungan, (2) organisme yang dijadikan
sebagai bioindikator memiliki kebiasaan hidup menetap di suatu tempat atau
pemencarannya terbatas, (3) organisme yang dijadikan sebagai bioindikator
mudah dilakukan pengambilan sampel dan merupakan organisme yang umum
dijumpai di lokasi pengamatan, (4) akumulasi dari polutan tidak
mengakibatkan kematian pada organisme yang dijadikan sebagai
bioindikator, (5) organisme yang dijadikan sebagai bioindikator lebih
disukai yang berumur panjang, sehingga dapat diperoleh individu contoh
dari berbagai stadium atau dari berbagai tingkatan umur. Dengan kriteria tersebut, salah
satu biota yang dapat digunakan sebagai parameter biologi (bioindikator)
dalam menentukan kondisi suatu perairan adalah hewan makrozoobentos
(lintah). Sebagai organisme yang hidup di perairan, hewan makrozoobentos
sangat peka terhadap perubahan kualitas air tempat hidupnya sehingga akan
berpengaruh terhadap komposisi dan kelimpahannya. Hal ini tergantung pada
toleransinya terhadap perubahan lingkungan, sehingga organisme ini sering
dipakai sebagai bioindikator tingkat pencemaran suatu perairan. Makroinvertebrata
khususnya lintah lebih banyak dipakai dalam pemantauan kualitas air karena
memenuhi beberapa kriteria, antara lain: (1) sifat hidupnya yang relatif
menetap/tidak berpindah-pindah, meskipun kualitas air tidak mengalami
perubahan, (2) dapat dijumpai pada beberapa zona habitat akuatik, dengan
berbagai kondisi kualitas air, (3) masa hidupnya cukup lama, sehingga
keberadaannya memungkinkan untuk merekam kualitas lingkungan di sekitarnya,
(4) terdiri atas beberapa jenis yang memberi respon berbeda terhadap
kualitas air, (5) relatif lebih mudah untuk dikenali dibandingkan dengan
jenis mikroorganisme, (6) mudah dalam pengumpulan/pengambilannya, karena
hanya dibuthkan alat yang sederhana yang dapat dibuat sendiri. Sebagai
organisme dasar perairan, lintah (Hirudo medicinalis) mempunyai
habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian,
perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat
mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Hal ini baik digunakan
sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena lintah selalu mengadakan
kontak langsung dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Kelompok
hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor
lingkungan dari waktu ke waktu karena Lintah (Hirudo medicinalis)
terus menerus terdedah oleh air yang kualitasnya berubah-ubah. Oleh karena
itu, lintah merupakan contoh hewan bioindikator untuk monitoring kondisi
lingkungan perairan.
- Manfaat mempelajarai relung untuk aktivitas
konservasi yaitu dengan mengetahui relungnya maka dapat diketahui pula
relung sebagai fungsi komunitasnya yang meliputi keragaman makanan dan
musuhnya, kondisi fisik lingkungannya, dan relung aktivitasnya. Manfaat
mempelajari relung juga penting untuk digunakan sebagai dasar acuan
memahami dan mengatasi masalah kondisi dan sumberdaya yang membatasi atau
secara potensial membatasi suatu populasi hewan (Sukarsono, 2012). Manfaat
relung untuk konservasi yaitu dapat melindungi dan melestarikan
hewan-hewan langka yang terancam statusnya, baik pelestarian in-situ maupun ex-situ. Salah satu hewan langka yaitu burung elang jawa.
Elang jawa merupakan salah satu jenis burung pemangsa endemic yang
penyebarannya terbatas pada hutan alam di Pulau Jawa. Jenis ini termasuk
dalam kategori satwa langka yang terancam punah dan termasuk dalam daftar
satwa yang dilindungi. Hasil yang telah diperoleh dalam penelitian
terdahulu, adalah berupa data awal tentang kawasan Muria yang meliputi
keanekaragaman jenis burung dan tumbuhan. Tim peneliti mengidentifikasi 68
jenis burung, yang salah satu diantaranya adalah Elang Jawa (Spizaetus
Bartelsi). Burung yang dikenal sebagai burung Garuda itu, menjadi
endemik Jawa dan dilindungi dari ancaman kepunahan (Muria, 2005). Berbagai aktivitas manusia telah mengganggu keberlangsungan hidup
elang jawa terutama terhadapa kelestarian habitatnya yang telah
terfragmentasi. Sebagai pemangsa puncak dalam rantai makanan, maka
kehidupan elang jawa sangat tergantung pada tropic di level bawahnya.
Dengan melihat kenyataan semakin terbatasnya habitat maka perlu dipelajari
kemampuan daya dukung habitat melalui pendekatan terhadap potensi pakan
elang jawa. Walaupun ada tumpang tindih antara elang hitam dan elang jawa
dalam penggunaan sumberdaya ruang dan waktu tetapi setiap jenis elang
tersebut mempunyai relung (niche) dan prefrensi terhadap jenis mangsa yang
berbeda. Pola aktivitas elang jawa dalam berburu mangsa berbeda dengan
elang-elang yang lain yaitu waktu perburuan mangsa elang jawa adalah
diantara jam 07.30-16.00 WIB. Mangsa terbesar elang jawa adalah mamalia
kecil dari jenis tupai/bajing (Utami, 2002).
DAFTAR
PUSTAKA
·
Baliadi,
Yuliantoro, dkk. 2012. Ulat Bulu Tanaman Mangga Di Probolinggo:
Identifikasi, Sebaran, Tingkat Serangan, Pemicu, Dan Cara Pengendalian (jurnal online), Jurnal Litbang Pertanian, 31(2), http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3312125.pdf
. Diakses 16 April 2012
·
Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim. 2011. Kementan
Teliti Penyebab Wabah Ulat Bulu di Probolinggo (online) http://www.jatimprov.go.id Diakses 17 April 2013
·
Fadhil. 2010. Biomonitoring
Dan Biomarker Lingkungan (online) http://fadhilhayat.wordpress.com/2010/12/23/biomonitoring-biomarker-lingkungan/
Diakses 16 April 2013
·
Kurniasih, Rani. 2011. Pemangsaan, Herbivora, Parasitoidisme Dan Parasitisme (online) file:///D:/blog/pemangsaan-herbivora-parasitoidisme-dan.html
Diakses 16 April 2013
·
Muria. 2005. Kawasan Colo Belum Digarap Serius
(online) http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/08/mur08.htm Diakses 16 April 2013
(online) http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/08/mur08.htm Diakses 16 April 2013
·
Prihatnawati, Yayuk. 2012. Aplikasi Konsep Waktu –
Suhu Pada Hewan Poikiloterm Dalam Pengendalian Hama Pertanian (makalah online) Diakses 16 April 2013
·
Odum,
Eugene P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi
(Edisi ketiga). Yogyakarta:Gadjah Mada University Press
·
Sukarsono.
2012. Ekologi Hewan. Malang: UMM
Press
·
Utami, Beta Dwi. 2002. Kajian
Potensi Pakan Elang Jawa Di Gunung Salak (Skripsi online), Jurusan
Konservasi sumberdaya Hutan Fakultas kehutanan Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/16398/E02bdu_abstract.pdf?sequence=1
Diakses 16 April 2013
·
Yaqin, Mustafa Ainul. 2013. Aplikasi
Konsep Waktu Suhu Pada Hewan Poikiloterm Dalam Pengendalian Hama Pertanian (online)
http://ainulbio.wordpress.com/2013/03/09/aplikasi-konsep-waktu-suhu-pada-hewan-poikiloterm-dalam-pengendalian-hama-pertanian/?blogsub=confirming#subscribe-blog
Diakses 16 April 2013
·
Vivi. 2012. Menaksir
Kelimpahan Populasi
(online) http://dhevhy4ever.blogspot.com/2012/05/menaksir-kelimpahan-populasi-dengan.html
Diakses 17 April 2013
Selasa, 09 April 2013
Studi Populasi dan Perilaku Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) di Taman Nasional Ujung Kulon
Owa Jawa telah ditetapkan sebagai salah satu satwa yang dilindungi berdasarkan Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar Nomor 266 tahun 1931, yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolomal Belanda (Dit. PPA, 1978), SK Mentan No. 541 Kpts/Um/1972 dan Peraturan Pemerintab RI No.7 tabun 1999, disebutkan semua jenis primata Famili Hylobatidae, termasuk Owa Jawa merupakan satwa yang dilindungi. Dalam Red Data Book The international Union for The Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), Owa Jawa termasuk dalam kategori endangered species atau genting yaitu jenis-jenis satwa yang terancam kepunahan dan tidak akan dapat bertahan tanpa upaya perlindungan yang ketat untuk menyelamatkan kelangsungan hidupnya. Selain itu, Owa Jawa dicantumkan dalam Appendix I yang diterbitkan oIeh The Convention on International Trade for Endangered Species of Flora and Fauna (CITES).
Kondisi populasi dan Perilaku Owa Jawa di Resort Cibiuk dan Reuma Jengkol Sub Seksi Taman Jaya Taman Nasional Ujung Kulon.
Jumlah dan Kondisi Populasi Owa Jawa Pengamatan dan pengambilan data dengan menggunakan kombinasi metode Line Transect dan Triangle Count yang dilakukan pada dua jalur pengamatan dimana digunakan ulangan masing-masing pada Jalur 0 (Resort Cibiuk) sebanyak 7 kali ulangan dan pada Jalur 1 (Resort Reuma Jengkol) dilakukan ulangan sebanyak 8 kali.
Dari hasil penghitungan didapatkan bahwa jumlah populasi Owa Jawa pada jalur 0 berjumlah rata-rata 4 individu (3,82 individu hasil perhitungan) pada tiap kelompoknya dengan kepadatannya 3 (2,9) grup/km2 sehingga didapatkan perkiraan jumlah indidunya sebanyak 11 (11,08) individu yang menempati tiap km-nya. Sedangkan pada jalur 1 yang merupakan Resort Reuma Jengkol memiliki kelimpahan rata-rata 3 (2,75) individu pada tiap-tiap kelompoknya dongan kepadatan 3 (2,67) grup/km2 dan pada tiap-tiap km2nya ditempati oleh 7 (7,34) individu.
Perilaku Owa Jawa
1. Aktivitas Bersuara, aktivitas bersuara pada Owa Jawa merupakan aktivitas awal dan utama yang membedakannya dengan jenis primata lainnya, biasanya aktivitas bersuara ini dilakukan oIeh Owa Jawa dengan tujuan yang berbeda-beda dilihat kapan, dimana dan mengapa ak'tivitas bersuara ini bisa terjadi. Suara pada Pagi Hari (Morning calI) dilakukan umumnya.pada waktu pagi hari setelah Owa Jawa melakukan istirahat panjangnya. Dilakukan pada pohon tidur atau pada pohon yang terletak tidak jauh dari pohon tidurnya oleh individu betina dewasa. Suara Tanda Bahaya (Alarm CalI) yang terjadi pada suatu kondisi dimana suatu kelompok Owa Jawa berada dalam keadaan bahaya karena ada predator, meIindWlgi daerah tcritorinya. adanya kompetitor. Suara yang dihasilkan pada keadaan alarm call ini berbeda dengan suara yang keluar pada morning call dimana intensitas dan frekwensinya tidak teratur cenderung rapat dan tinggi, perbedaan antara suara panjang dan suara pendek tidak terlalu terlihat. Suara Pada Kondisi Tertentu (Conditional Call) dalarn kondisi lain ada waktu dimana suatu individu Owa Jawa mengeluarkan suara tanpa alasan tertentu, suara yang dihasilkan pada conditional call ini bervariasi kadang teratur kadang tidak teratur, dilakukan oleh owa muda. Waktu terjadinya conditional call ini tidak tentu kadang terjadi diluar aktivitas hariannya.
2. Aktivitas Makan, dapat dilakukan oleh kelompok Owa Jawa di tempat pohon tidurnya dan di pohon pakan lainnya. Aktivitas makan yang diIakukan pada tempat pohon tidumya dikarenakan sumber pakan pada pohon tersebut masih terdapat secara melimpah sehingga kelompok tersebut tidak perlu berpindah ke pohon lainnya. Jenis makanan yang dimakan pada suatu pohon pakan oleh owa antara lain terdiri dari: daun muda atau pucuk daun, biji, buah, bunga serta beberapa jenis serangga kecil ataupun burung-burung kecil.
3. Aktivitas Bergerak Dalam melakukan pergerakan, Owa Jawa menggunakan lokomotor yang ada pada tubuhnya dengan beberapa cara, antara lain: Bergantung/ Berayun (Brakhiasi) Brakhiasi dapat dilakukan secara lambat pada keadaan normal, yaitu pada kondisi beraktivitas sosial dalam kelompok, mencari makan atau perjalanan biasa. Gerakan dilakukan tanpa melontarkan tubuh. Kecepatan rata-rata dalam melakukan brakhiasi adalah 1 sampai dengan 10 m/dt. Gerakan ini dapat juga dilakukan secara cepat kecepatan mcncapai rata-rata 32 m/dt. Melompat (Jumping) Gerakan melompat ini didahului dengan mengayunkan tubuh ke arah bawah kemudian tangan dan kaki dipakai sehagai penopang dan pelontar tubuh kc arah atas. Gerakan melompat keatas ini biasanya didahului juga dengan gerakan lain seperti berayun (brakhiasi). Memanjat (Climbing) Gerakan ini dilakukan Owa Jawa dalam upaya berpindah ketempat yang lebih rendah atau lebih tinggi secara vertikal dalam pohon yang sama melalui cabang yang besar atau batang pohon dalam satu pohon. Berjalan (Walking) Gerakan ini dilakukan Owa Jawa untuk berpindah ke tempat yang relatif datar (horizontal) pada pohon dengan cabang atau batang yang besar. Gerakan berjalan dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan tangan (Quadrapedal) atau tanpa bantuan tangan (Bipedal). Fungsi tangan sebagai penyeimbang tubuh.
4. Aktivitas Istirahat Dalam rangkaian aktivitas hariannya. istirahat dilakukan diantara aktivitas makan, bergerak, maupun aktivitas sosialnya (istirahat pendek) karena memang waktu istirahat yang digunakan relatif singkat yang berkisar antara 15 menit sampai dengan 62 menit selama satu periode istirahat. Istirahat yang dilakukan diluar aktivitas hariannya dapat dikatakan sebagai istirahat panjang karena memakan waktu yang lama, dilakukan ketika hari mulai gelap sekitar pukul 16.54 sampai 17.12.
5. Aktivitas Sosial (Perilaku Sosial) Bentuk aktivitas sosial yang ditunjukkan oleh Owa Jawa secara individu dalam kelompok antara lain adalah berkutu-kutuan (grooming) yang biasanya dilakukan oleh individu jantan dewasa, betina dewasa dan muda; bersuara (vocalization), serta bermain yang biasanya dilakukan oleh individu muda dan bayi (Ladjat, 1995). Menurut De Vore dan Elmer (1987) bermain pada individu anak merupakan aktivitas yang sangat penting. Perilaku sosial yang terlihat antar kelompok Owa Jawa dapat berupa bersuara (vocalization) yang dilakukan dengan tujuan agar kelompok owa lain mengetahui teritori dari keIompok owa yang lain. Perilaku ini juga dapat terlihat untuk perilaku sosial dengan kelompok satwa lain yaitu pada kondisi dimana pada saat aktivitas makan terjadi, ada kelompok satwa lain seperti burung rangkong, lutung atau monyet ekor panjang, masuk kedalam teritori suatu kelompok Owa Jawa. Dapat dikatakan perilaku sosial yang terjadi antar kelompok Owa Jawa dan perilaku sosial yang terjadi antara kelompok Owa Jawa dengan kelompok satwa lainnya sangat berkaitan dengan teritori Owa Jawa dan aktivitas yang dilakukan oleh individu dalam kelompok tersebut.
Kondisi Habitat
1. Analisis Kondisi Vegetasi Dari analisis vegetasi yang dilakukan kemudian dihitung Indeks Nilai Penting (INP) untuk mengetahui komposisi dan kelimpahan jenis yang ada. Didapatkan pada jalur 0 (Resort Cibiuk) 5 jenis vegetasi pada tingkat pohon yang ada elidominasi dari pohon Kondang dengan INP sebe,ar 36,20, Kihiang (16,86), Kiamis (12,90), Kiganik (12,24), dan Cangearatan dengan INP sebesar 9,62. Sedangkan untuk 5 jenis vegetasi pada tingkat Tiang didominasi oleb Pulus, Kijahe, Kisegel, Cangcaratan dan Bisoro. Pada tingkat pancang Jalur 0 didominasi oleb jenis Songgom, Kijaha, Kilaja, Dahu dan Sulangkar dan Untuk jenis-jenis vegetasi pada tingkat semai atau liana didominasi oleb jenis Songgom, Kijaha, Kimerak, Hata dan Kigadel. Pada Jalur T (Resort Reuma Iengkol) 5 jenis vegetasi pada tingkat pobon yang ada didominasi dari pobon Lame dengan INP sebesar 35,93, Palahlar (32,66), Kiganik (30,80), Kikacang (20,40), dan Kipoleng dengan INP sebesar 19,75. Sedangkan untuk 5 jenis vegetasi pada tingkat Tiang didominasi oleb Buluh, Heueit, Peuris, Dahu dan Hampat. Pada tingkat paneang Ialur T didominasi oleb jenis Kimerak, Langkap, Rotan, Kakaduan dan Onyam dan Untuk jenis-jenis vegetasi pada tingkat semai atau liana didominasi oleh jenis Rotan, Kimerak, Kakaduan dan Kiendog.
2. Keanekaragaman Jenis Vegetasi Di ketahui pada jalur 0 (Resort Cibiuk) keanekaragaman jenis vegetasinya yang ada pada tingkat semai ditemukan sebanyak 45 jenis, pada tingkat pancang berbasil diidentifikasi sebanyak 56 jenis, untuk tingkat tiang sebanyak 34 jenis dan pada tingkat pobon ditemukan sebanyak 50 jenis yang tersebar diseluruh jalur pengamatan. Pada jalur 1 diketahui terdapat keanekaragaman jenis pada tingkat semai sebanyak 32 jenis, untuk tingkat pancang ditemukan 40 jenis, pada tingkat tiang terdapat 27 jenis dan pada tingkat pohon berhasil ditemukan 37 jenis pobon. Dari perbandingan yang ada pada masing-masing tingkat pertumbuhan yang ada pada jalur-jalur pengamatan, jelas sekali terlihat perbedaan keanekaragaman jenis yang ada dimana pada jalur 0 (Resort Cibiuk) memiliki keanekaragaman jenis yang lebih tinggi bila dibanelingkan dengan keanekaragarnan jenis yang ada pada jalur 1 (Resort Reuma jengkol). Bila dilihat dari keanekaragaman jenis tumbuhan yang ada pada kedua lokasi tersebut. Dapat dikatakan bahwa kondisi vegetasinya terutama tumbuhan pakannya masih dalam keadaan baik dimana banyak tumbuhan pakan yang mendominasi dengan INP berkisar diatas 10 %
notes:
ini merupakan ringkasan skripsi yang dilakukan penulis pada tahun 2001
source:
"http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/15881"
Kamis, 04 April 2013
Sekilas Tentang Owa Jawa
Owa Jawa (Hylobates moloch) merupakan primata yang berukuran
kecil dengan panjang tubuh hanya sekitar 80 cm. Tubuhnya lebih kecil,
langsing, dan seksi dibandingkan dengan kera lainnya yang cenderung
gendut. Pada bagian tubuh Owa Jawa ditutupi dengan bulu yang berwarna
abu-abu keperakan sedangkan pada bagian muka berkulit hitam pekat. Owa
jawa tidak mempunyai ekor.
Owa Jawa (Hylobates moloch)
termasuk jenis kera pohon sejati (arboreal monkey) karena
hampir sepanjang hidupnya primata ini tidak pernah turun dari atas
pohon. Uniknya, meski dikenal sebagai raja pohon, Owa Jawa justru
termasuk kera yang berjalan dengan tegak alias tidak menggunakan keempat
tangan dan kakinya, melainkan mengandalkan kedua kakinya untuk
berjalan.
Owa Jawa termasuk satwa yag beraktifitas
di siang hari. Mulai aktif pada pagi hari sekitar pukul 05.00 dan
mencapai puncaknya antara pukul 08.30-12.00. Aktifitasnya akan mulai
lagi sekitar pukul 14.30-17.30 sampai menemukan pohon yang dapat
digunakan sebagai tidur. Salah satu kebiasaan khas Owa Jawa adalah
mengeluarkan nyanyian (suara-suara khas) pada pagi hari ketika memulai
aktifitasnya.
Makanan Owa Jawa meliputi buah-buahan,
dedaunan, dan terkadang makan serangga sebagai tambahan protein. Owa
jawa dalam mencari makan selalu berpindah-pindah secara berkelompok
menjelajah dari satu pohon ke pohon lainnya dalam daerah teritorialnya.
Primata langka dan terancam kepunahan ini dalam kehidupannya bersifat
monogami, yaitu hanya mempunyai satu pasangan semasa hidupnya.
Minggu, 10 Maret 2013
Taksonomi & Morfologi Owa jawa
Klasifikasi ilmiah Owa Jawa menurut Napier dan Napier (1967) dalam Putri (2009) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Primata
Superfamili : Hominoidea
Famili : Hylobatidae
Genus : Hylobates
Spesies : Hylobates moloch (AUTODEBERT, 1798)
Menurut Grzimek (1972) H.moloch adalah jenis kera tidak berekor dan mempunyai kepala yang kecil dan bulat, memiliki hidung serta rahang kecil dan pendek yang tidak menonjol, otak relatif kecil, badannya ramping, serta rambut yang tebal. Supriatna dan Wahyono (2000) menyatakan bahwa tubuh Owa jawa ditutupi rambut yang berwarna kecoklatan sampai keperakan atau kelabu. Bagian atas kepalanya berwarna hitam, muka seluruhnya berwarna hitam dengan alis berwarna abu-abu yang menyerupai warna keseluruhan tubuh. Beberapa diantaranya memiliki rambut lebih gelap pada bagian dada. Pada beberapa individu, dagu berwarna gelap. Anak yang baru lahir umumnya berwarna lebih cerah. Warna rambut jantan dan betina sedikit berbeda, khususnya pada tingkatan umur.
Menurut Supriatna dan Wahyono (2000) berat tubuh jantan berrkisar antara 4-8 kg, sedangkan betina antara 4-7 kg. panjang tubuh jantan dan betina dewasa berkisar antara 75-80 cm, memiliki lengan yang panjang dan tubuh yang ramping. Owa jawa memiliki lengan depan yang relative lebih panjang dibandingkan kedua kakinya (Napier dan Napier 1967 dalam Putri 2009). Owa jawa memiliki gigi seri kecil dan sedikit ke depan, sehingga memudahkan untuk menggigit dan memotong makanan. Gigi taring panjang dan berbentuk seperti pedang berfungsi untuk menggigit dan mengupas makanan. Gigi geraham atas dan bawah berfungsi untuk mengunyah makanan (Napier dan Napier 1967). Fleagle (1988) dalam Berliana (2009) menyatakan bahwa owa jawa memiliki kantung tenggorokan di bawah dagunya untuk membantu memperkuat suara.
Langganan:
Postingan (Atom)